76 tahun rri saya mau cerita tentang radio republik indonesia

76 Tahun RRI, Saya Mau Cerita tentang Radio Ini

Saya cerita tentang radio. Radio yang adalah teman terbaikmu ketika sedang patah hati dan matamu bengkak sehingga tak bisa mengakses youtube. Radio akan tetap ada.


10 September 2021

Selamat ulang tahun ke-76 RRI. Radio Republik Indonesia.

Radio Republik Indonesia atau RRI membantu saya mengenal Ellyas Pical, Ribut Waidi, Butir-Butir Pasir di Laut, dan hal-hal yang memaksa saya membuat gambar di kepala ketika kecil. Mereka menyiarkan pertandingan tinju, sepak bola, dan drama radio ke kami punya rumah. Radio Philips warna oranye dengan tenaga empat baterai adalah teman yang hebat sekali. Hook kiri Eli, kenakalan Ribut di lapangan hijau, puluhan episode yang hebat dari Butir-Butir Pasir di Laut datang dalam bentuk suara.

Butir-Butir Pasir di Laut adalah sandiwara radio yang ditayangkan RRI dalam rentang waktu yang sangat panjang. Pertama kali disiarkan pada 22 Februari 1972, sandiwara radio ini berlangsung dalam 5.700 episode hingga tahun 90-an. Saya mengikutinya ratusan episodenya dan menggambar pantai, tarian ombak, langit mendung dan halilintar dengan asyik sebab RRI melakukannya dengan baik hanya dengan suara.

Generasi sekarang barangkali agak sulit membayangkannya. Generasi sekarang yang saya maksudkan adalah angkatan yang tidak pernah mendengar siaran langsung sepak bola via radio. Di masa serba streaming dengan lebih dari sepuluh kamera beroperasi dalam satu pertandingan, angkatan ini tidak perlu berat-berat berpikir bagaimana ekspresi para pemain Jerman ketika keok lawan Inggris di Euro yang baru saja berlalu (tetapi ingatan tentang Inggris yang spektakuler tapi gagal di detik terakhir masih membekas hiks…). Gambar bergerak memudahkan segalanya, Sambas tak ada lagi dalam cerita.

Siapa Sambas? Nama lengkapnya Sambas Mangundikarta. Seorang yang penting sekali bagi masa kecil kami yang jauh dari televisi. Sambas dikenal sebagai komentator dan reporter acara olahraga, terutama pertandingan sepak bola dan bulu tangkis. Tirto.id menulis  Sambas adalah tipe pembicara publik yang langka. Suaranya kadang datar, kadang melengking, kadang diselipkan guyonan ringan. Meski tak hiperbolis, Sambas mampu mengobarkan emosi para pemirsa, terutama penonton sepak bola dan bulu tangkis. Terakhir kali suaranya yang “menenangkan kalbu” didengar pemirsa adalah di kejuaraan sepak bola Piala Eropa 1996. Generasi sekarang tidak tahu bagaimana rasanya ‘melihat’ gol dan perayaan para pemain atas gol itu dari ‘penjelasan’ seorang penyiar. Tanpa gambar. Saya melakukannya ketika kecil dan turut melonjak kegirangan. See?

BACA JUGA
Sembahyang Rosario di Manggarai (Bagian 1): Peserta Terbanyak Perempuan dan Anak-Anak

Ah… Cerita tentang radio. Masa itu memang sudah dulu sekali. Radio, ketika itu, tidak hanya sebagai sarana hiburan tetapi juga penanda ekonomi bagi orang Manggarai. Pernah tahun PEKOSAMARAGA? Itu indikator kesejahteraan masyarakat Manggarai dan radio ada di dalamnya. Radio yang berisi RRI, BBC, ABC, dan RPD Ruteng, sumber suara yang membantu kami menggambar lanskap di kepala.

Baca juga: Orang Manggarai Harus Tahu Pekosamaraga

Theatre of mind. Begitu radio dijelaskan dan RRI melakukannya pada masa kecil saya.

Angkasawan–saya tidak tahu apakah masih digunakan sekarang, sebutan untuk penyiar RRI–adalah hal lain yang begitu imajinatif; seseorang bicara padamu dari angkasa masa kecilmu. Wah! Pengalaman mendengar RRI (juga ABC, BBC, dan RPD) di gelombang SW (Short Wave) menolong saya lebih adaptif ketika masuk ke dunia FM, menjadi penyiar.

Ya, saya pernah siaran. Di Malang di Radio MAS FM dan di Ruteng di Radio Lumen 2003 dan RSPD Suara Manggarai. Saya senang melakukannya, menolong orang yang harus tetap bekerja tetapi juga harus mendengar cerita, berita, dan lagu. Saya menggarap iklan-iklan radio dengan basis pengalaman mendengar RRI ketika kecil; bagaimana menjelaskan sesuatu ketika yang kau punya hanya suara. Seperti pengalamanmu mendengar dongeng dan mulai menggambar di kepala, bukan?

Baca juga: Sejarah Hari Dongeng Sedunia, Manfaat dan Cara Memilih Dongeng untuk Anak

RRI sekarang berusia 76 tahun. Sebagaimana nasib radio pada umumnya, RRI juga pernah diramalkan akan segera bernapas kembang kempis sebab new media sedang begitu pesat tumbuhnya. Koran-koran mati. Televisi mulai susah hidup. Apakah radio akan pingsan? No, mameeen. Selama orang-orang masih bergerak, radio masih akan tetap ada. Satu-satunya media massa yang dapat kau nikmati sembari melakukan pekerjaanmu yang lain. Kau tidak bisa menonton televisi sambil menyetir, baca koran ketika mandi, mengakses youtube ketika air matamu sedang mengalir deras karena patah hati. Iya to? Radio ada di situasi itu dan situasi-situasi lainnya yang mirip. Kau membutuhkannya bahkan ketika kau hidup di zaman yang telah selesai milenial.

BACA JUGA
Surat Gembala Uskup Ruteng Menyongsong Pemilu 14 Februari 2024

Begitulah!

Sekarang, setelah tidak di call box lagi, menyaksikan RRI berkembang baik dan tidak ‘matikutu’ di hadapan teknologi informasi ini membuat saya senang: cerita tentang radio ini tidak pernah selesai. Sebagian masa kecil saya tetap selamat dan (semoga) terwariskan ke anak-anak saya–menggambar dunia hanya dengan mendengar suara. Selamat ulang tahun, RRI. Sekali di udara, tetap di udara!

.

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *