Menjadi Batu Akik

Ada paling tidak dua hal paling populer di Indonesia yang dikenal sebagai monkey business. Yang pertama adalah tumbuhan bernama gelombang cinta, dan yang lain adalah batuk akik. 

menjadi batu akik
Belajar Menjadi

Menjadi Batu Akik

Tulisan ini barangkali akan lebih fokus ke soal batuk akik. Tetapi sebelum sampai ke sana, saya ingin bicara dulu tentang bisnis monyet. Tentu saja bukan jual beli monyet tetapi monkey business. Halaaah… bolak-balik kita ya? 
Monkey business adalah kisah tentang penipuan, scam, bisnis yang kotor dan direncanakan dengan baik. Secara singkat dapat diceritakan begini.

Di sebuah kampung ada banyak monyet. Seseorang datang dan bilang bahwa dia siap membeli monyet seharga limapuluh ribu rupiah. Orang-orang ramai menangkap monyet lalu menjual kepadanya. 

Jumlah monyet berkurang, dihembuskan isu bahwa harga monyet naik menjadi seratus ribu rupiah. Orang-orang bersemangat. Lalu membeli lagi monyet yang telah mereka jual, dengan harga delapan puluh ribu. Berharap bisa menjualnya seratus ribu rupiah di tempat lain. Ternyata tidak ada yang membeli. Monyet dilepas lagi ke hutan karena tidak banyak berguna. 
Baca juga: Mengapa Kita Harus Bicara?

Nah, monkey business itu begitu. Bisa diartikan sebagai strategi bisnis yang bertujuan untuk merugikan orang lain dengan cara meningkatkan keuntungan bagi diri sendiri walaupun dengan penipuan.

Tetapi sekali lagi, tulisan ini tidak bertujuan membahas monkey business. Kebetulan saja saya ingin membahas tentang batu, dan batu akik pernah begitu populer di berbagai penjuru negeri sebelum kita sadar bahwa itu adalah bisnis monyet. Kita agak kurang banyak membaca barangkali.
Sudahlah. Mari kita ke bahasan tentang batu saja.
Setelah sekian lama berpikir bahwa saya ada–mengikuti alur berpikir Cogito Ergo Sum, saya lalu beranjak meragukan diri. Aneh, padahal telah dari zaman baheula Descrates mengenalkan Dubium Methodicum, kesangsian metodis: bahwa dengan sangsi kita bisa mempertanyakan sesuatu yang telah sekian lama dianggap benar; termasuk ya, itu tadi: bahwa telah sekian lama berpikir bahwa saya ada. 
Begitulah. Saya ragu apakah selama ini saya ‘ada’? Pertanyaan lainnya adalah: “Apakah telah cukup banyak yang menyadari bahwa kita ada?” 
Reaksi orang lain di sekitar kita adalah penjelasan tentang siapa kita. Ketika kau pergi dan serentak ada yang merasa kehilangan, itu sesungguhnya adalah penjelasan bahwa selama ini kau telah ada.
Waktu kecil, saya bersedih lama sekali ketika anjing kami bernama Happy, mati. Maka simpulan sederhana untuk peristiwa tersebut adalah bahwa sebelum kematiannya, Happy “ada” dan memberi arti. Ya, ‘ada’ saja tentu tidak cukup.

BACA JUGA
Naskah Drama Musikal "Ombeng" (Babak Empat)
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Adalah wajar bahwa kepada kita masing-masing dititipkan tugas tidak semata-mata ‘ada’, tetapi ada dan memberi arti. Dalam kasus Happy misalnya, sungguh tak diragukan lagi bahwa selain ‘ada’, dia telah memberi arti; dapat dibuktikan dengan keadaan saya menangis tersedu-sedu saat dia mati. 

Mengapa harus demikian? Psikolog asal Amerika, Abraham Harold Maslow (1980—1970) mencetuskan teori yang kemudian dikenal sebagai Maslow’s Hierarchy of Needs atau hirarki kebutuhan menurut Maslow. 
Dalam teori itu Maslow menjelaskan bahwa salah satu kebutuhan utama manusia adalah aktualisasi diri. Ini merupakan kebutuhan tertinggi (yang kelima) dalam hierarki Maslow setelah: Fisiologis; Rasa aman dan perlindungan (fisik dan psikologis); Rasa cinta; dan Harga diri dan perasaan dihargai oleh orang lain serta pengakuan dari orang lain. 
Baca juga: Suara di Titik Nol

Aktualisasi diri adalah kebutuhan untuk berkontribusi pada orang lain atau lingkungan serta mencapai potensi diri sepenuhnya. Dalam penjelasan paling sederhana mungkin dapatlah saya membuat simpulan bahwa keberadaan seseorang sangatlah ditentukan oleh apakah dia telah ’memberikan’ sesuatu kepada orang lain/lingkungannya atau tidak. 

Masih dalam kerangka berpikir tadi saya menduga, dengan menjadi pribadi yang “aktual” maka kita dengan mudah mendapatkan empat kebutuhan lainnya. Tentu saja terbuka peluang membaca teori ini dengan banyak sudut pandang, termasuk dengan membuatnya dibaca bolak-balik.

Saya membacanya: dengan telah lama menjadi aktual atau dalam bahasa paragraf sebelumnya saya sebut ‘ada’, kita tidak akan repot-repot bikin pengumuman, radiogram atau teriak-teriak bahwa kita ada, ketika pada saat-saat tertentu kita memerlukan semacam pengakuan. Pengakuan akan datang sendiri, iya to

Mari sejenak melihat di sekitar kita. Melihat saja mungkin tidak cukup. Mari mengamati; melihat dengan sungguh. Apa dan siapa saja yang ada di sekitar kita. Yang kita amati adalah mereka dan kita sendiri. Apa dan siapa mereka? Apa dan siapa kita? 
Apakah itu LSM, komunitas, partai, atau pribadi, pemerintah, bukankah sebenarnya kita baru berarti kalau kehadiran kita dirasakan?

Saya pikir kita semua pernah melihat dan mengenal banyak orang atau lembaga, justru dari penjelasan mereka yang berapi-api tentang diri mereka sendiri. Kadang saya juga begitu. Kita dikenal karena jago promosi diri dan bukan karena telah bermanfaat bagi orang lain. 

Melakukan promosi dengan segenap kemampuan tentulah sangat penting artinya untuk mendongkrak popularitas. Tetapi kalau kita misalnya hanya dikenal setelah dipromosi berapi-api, rasa-rasanya kok ada yang salah.

BACA JUGA
Tuhan Menambal Ban Saya

Pola promosi seperti itu akan dengan mudah dipatahkan oleh artikulasi sederhana, seperti: “Emang dulu ke mana/ngapain?”; karena masyarakat kekinian senang mengutak-atik rekam jejak meski tak benar-benar paham apa maksud term itu.

Bantahan untuk pertanyaan seperti itu mungkin akan berbunyi: “Kan dulu gak pernah dapat kesempatan!” Juga akan dengan mudah dipatahkan: “Kesempatan itu diperoleh sebagai hadiah atau diraih dengan perjuangan?” Nah, lho. Daripada terlampau sibuk memikirkan hal-hal ini, paling manis adalah melaksanakan apa yang benar-benar kita sukai dan karenanya menjadi berarti untuk orang lain. Cie cieee…  
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tulisan ini sesungguhnya adalah sebuah upaya tulis-ulang atas tulisan lama yang saya beri judul “Apakah ada Batu Kalau Kita Tidak Terantuk?” Saya menjawab pertanyaan saya sendiri. Jawabannya: Tidak! Sejago-jagonya batu itu berdiri kokoh, dia bukan apa-apa kalau tidak berhubungan dengan kita; berkontribusi. Dia baru dihargai kalau mampu menjadi batu penjuru, batu bata atau batu akik. 

Nah, soal batu akik kemudian ternyata bagian dari konspirasi besar bernama monkey business itu soal lain. Bahwa sekarang dia hanya ditumpuk di sudut ruang karena tidak berguna, minimal pada suatu masa dia pernah membuat sekian banyak orang menjadi begitu percaya diri bahkan mengeluarkan miliaran rupiah agar batu akik itu ada di jari manis. Di suatu masa kita pernah menjadi batu akik. Itu saja semoga cukup.
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores

Bagikan ke:

2 Comments

  1. Kela, benar bahwa manusia bukan saja” berada ” tetapi “mengada” alias mem-per-ada, atau dalam istilah Kela tadi menjadi ada. Manusia mengada, ketika ia mengaktualisasikan potensi di dalam dirinya. Maka mengada adalah sebuah pergerakan dari yang potensi kepada yang aktuil. Tentang si Happy, dia kemudian dianggap ada ketika ia sudah mati. Maka, sesuatu ada ketika dia tiada. Atau ada Ada karena Tiada. Atau ada Tiada karena ada Ada. ps: Apakah keTiadaan Si Happy terjadi secara sukarela, sakit atau diRWkan, itu masih mengundang tanya. ha ha ha.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *