Tuhan Menambal Ban Saya

Tuhan adalah yang tidak pernah berhenti bertugas. Untunglah, dalam iman, saya meyakini bahwa Dia tidak bekerja sendiri. Karena itu bukan hal yang aneh jika pada suatu hari Tuhan menambal ban sepeda motor saya. 

tuhan menambal ban saya
Ruteng, Manggarai | Foto: Armin Bell

Tuhan Menambal Ban Saya

Ketika menulis judul ini, saya membayangkan beberapa orang akan tersinggung. Ya. Orang-orang itu. Mereka yang begitu sensitif kalau berurusan dengan Ketuhanan. Jangan-jangan judul tulisan ini akan dianggap penistaan. Cie cieee… sensitif ni yeee. Haissss… sudahlah. Biasa saja ka. Sesekali membaca itu baik. Biar agar cerdas. Banyak yang bilang begitu.
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan bertanya: Berapa besar peluang anda mengalami nasib tak mengenakkan tiap hari? Tak bisa dihitung dengan tepat tentu saja. Sehari sekali mungkin, atau seminggu tak pernah juga bisa saja terjadi, atau setiap menit dalam satu jam juga sangat mungkin. Bad luck, demikian orang membahasakan kondisi ini. 
Reaksi kita atas soal seperti itu biasanya juga tak terduga. Beberapa bisa kalem, yang lain mendadak ekstrim, sementara orang tak bergerak karena bingung, yang lain terus memacu sepeda motornya sambil menyebut nama Tuhan berharap mendapat pertolongan. Orang terakhir adalah saya. Saya sedang dalam perjalanan dari Labuan Bajo Manggarai Barat menuju Ruteng Manggarai Flores. 
Menaksir waktu tempuh harus lebih cepat dari biasanya karena malam hari harus siaran, sepeda motor dipacu dengan kecepatan yang kadang membuat saya sendiri terengah. Seperti terlampau cepat, tetapi juga tak punya niat untuk menurunkan angka di spidometer. 
Baca juga: Kera Sahabat Ikan

Menikung ke kanan memang agak ragu, tetapi tikungan kiri saya manfaatkan maksimal. Dan… wussssh… sepeda motor saya oleng ketika tengah menikmati sensasi lutut kiri hampir menyentuh aspal. Serentak saya berteriak, “Mamaaa… mati saya!” Saya akan mati di lingkungan yang jauh dari rumah kami di Ruteng. 

Tetapi saya tak jadi mati. Tangan kanan serentak menurunkan gas, kaki nge-rem dengan hati-hati dan Puji Tuhan kondisi darurat itu berangsur pulih. Sepersekian detik terlambat melakukan refleks yang baik, siapa yang tahu keesokan harinya cerita tentang saya mungkin akan berakhir di halaman depan koran lokal: Penyiar RSPD Manggarai Tewas Menggenaskan
Ah… Tuhan sangat baik, Al is well, saya tak jadi mendarat dan mati di jurang. Agak sedikit keluar badan jalan, tetapi motor berhasil dihentikan dengan sempurna meski detak jantung saya meningkat cepat juga dengan sangat sempurna. Motor diparkir, diperiksa, diketahui: ban depan gembos dengan indahnya.

BACA JUGA
Kisah Pater Roosmalen Bagian 1: Di Tengah Perang

Oh… sempurnalah bad day ini berlangsung karena saya berada tak jelas berapa mil jaraknya dari bengkel tambal ban terdekat. Ruteng masih jauh, jam terus berlari cepat, sendiri di tengah entah di mana, di wilayah kecamatan Lembor. 

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

“Tuhan, bantu saya!” keluh saya dari hati terdalam. Keputusan diambil, perjalanan dilanjutkan, menunggang sepeda motor agak ke belakang biar ban depan tidak tertimpa berat maksimal. Setelah mengeluh menyebut nama Tuhan, saya lanjutkan dengan berdoa. Doa Salam Maria. Meminta Bunda mendoakan saya. Beberapa sepeda motor melintas tak menoleh, saya mulai berpikir untuk menangis. Tapi tidak. Tangisan hanya menambah rusaknya hari. 

Al is well… Siapa menduga bahwa sebelum doa itu selesai, seorang pengendara sepeda motor, dia tukang ojek lengkap dengan atribut seorang penumpang di boncengannya berhenti. Saya ikut berhenti.
Peca ban, Kae?” tanyanya dalam dialek setempat. Saya mengangguk.
“Ban depan!” menjawab pasrah sembari berpikir ragu, apa yang bisa dia bantu? 
Dan o la la… sang penumpang dimintanya turun dengan penjelasan perjalanan mereka tertunda sejenak, dia bergerak cekat, membuka jok motornya mengambil ini dan itu, dan taraaaaa…. Dialah Tuhanku senja itu.

Baca juga: Mencari Angga

Tukang Ojek merangkap tukang tambal ban keliling. Ayolah… seberapa sering anda bertemu tukang tambal ban keliling? Satu dan sekianpuluh ribu kemungkinan saya pikir. Dan saya bertemu itu dalam kemungkinan (atau kesulitan?) pertama. 

Butuh waktu 15 menit baginya menyelesaikan pekerjaan hebatnya itu. Satu tambalan sempurna untuk ban depan dan saya berhak memacu sepeda motor saya menuju Ruteng. Dia menetapkan harga dua kali lipat dari harga tambal ban di bengkel langganan saya, tetapi apa peduliku? Itu harga yang wajar untuk pelayanan maksimal di tengah entah di mana. 
Mereka melanjutkan perjalanan ke arah berlawanan, dan saya berbisik pada Tuhan, “Terima kasih untuk hari yang luar biasa ini, terima kasih telah menambal ban saya, terima kasih membiarkan saya hidup, ampuni kami jika selama ini kurang peduli!” 
Ah… Tuhan ada di mana-mana, pun di tempat yang jauh dari bengkel. Hari itu, Tuhan menambal ban saya. Di hari lain, Dia sedang menyelamatkan seorang anak dari kematian akibat tersedak biskuit, juga seorang politisi dari jeruji penjara, juga di Vatican, tempat seseorang bernama Franco menjadi mafia turisme. Saya percaya, Dia tidak pernah beristirahat juga ketika tulisan ini selesai anda baca. Jangan lupa bersyukur.

Salam 
Armin Bell
Ruteng, Flores
Ps: Tulisan ini pernah disiarkan di Buletin Katedral Ruteng. Versi yang dibaca saat ini telah mengalami beberapa perubahan.
BACA JUGA
FF100K Karina - Kompromi
Bagikan ke:

9 Comments

  1. Tuhan tahu, beberapa meter dari tpt ban itu ditambal, ite tidak kan sabar lagi, pengen cepat sampai, krn jam siaran segera tiba. Kalau Tuhan tak segera bantu, ceritanya mungkin akan lain, dan…halaman depan harian lokal kan terisi wajah penyiar RSPD yg remuk! Karena itu Tuhan takkan menguji ite lebih dari batas kesabaran dite. Proficiat, krn keesokan harinya saya melihat wajah orang lain di halaman depan harian lokal kita…

  2. Keren kae, Bahkan disaat yg Kita anggap mustahil Tuhan datang dengan pertolongan tepat pada waktunya. Berarti lain Kali harus lebih hati-hati kae…Ini kenapa saya sangat suka dengan “Tak perlu berdoa dengan suara keras Dan menangis kuat-kuat, karena Tuhan mendengar doa tulus Dari dalam hati”

  3. Terima kasih Chika. Asalkan dilakukan dengan 'kepasrahan' penuh, semua doa pasti terjawab. Soal waktu itu hal lain. Kadang beberapa permohonan harus dipanjatkan berulang kali, tetapi itu bukan alasan untuk berhenti berdoa 🙂 Apa kabar?

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *