Nah, saudara-saudari terkasih, karena itulah kami begitu gembira. Selama ini rasanya tak banyak yang benar-benar merasa betapa pentingnya mempertahankan oksigen. Kita bernapas saja tanpa berpikir dari mana datangnya oksigen itu? Pokoknya, oksigen itu pasti tersedia di alam ini. Itu saja yang kita pikirkan, bukan? Tentang bagaimana membuatnya tetap berlimpah ruah dalam bentuk yang jernih, siapa peduli?
Semua sibuk mencari uang. Toh segalanya akan dapat dibeli. Iya, kan? Untunglah beberapa orang menyadarkan kami bahwa hutan di dunia ini sudah sangat berkurang jumlahnya. Harus segera membuat hutan baru di mana-mana. Di Ruteng kami memilih menanam bambu. Itu!
Betul. Ini catatan lanjutan tentang menanam bambu di Ruteng. Karena ini lanjutan maka idealnya, sodara-sodari sudah membaca catatan sebelumnya. Tetapi kalau belum, sesungguhnya catatan ini tetap dapat dinikmati sebagai dirinya sendiri, cie cieee…
Perjalanan panjang mencintai bambu sesungguhnya telah saya ceritakan sebelumnya. Tetapi menceritakannya sepertinya bukan soal, terutama karena yang menjadi bahan cerita adalah sesuatu yang baik dan menyenangkan. Bukankah kebaikan memiliki banyak mulut?
Dari Billy David yang akan ke Ruteng dan berniat melakukan sosialisasi tentang bambu; sebuah bagian kerja pelayanan (CSR) sebuah perusahaan, ke Tomy Hikmat ke Andrew Winokan di Yayasan Tunas Jaya (di sana ada Mama Maria Moe, Jefrin Haryanto dan Jelly Jehaut) yang kemudian menjadi penyelenggara
Workshop Bambu di Ruteng.
Baca juga: Narasi Tubuh dalam Ronggeng Dukuh Paruk
Saat itu, Abah Jatnika datang dan memberi pelatihan tentang pengolahan bambu. Semua yang hadir memulai proses dengan mendengar filosofi bambu, lalu berujung pada praktek membuat kursi dan bangunan dari bambu. Berhasil. Ya, workshop tersebut berhasil.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Selain karena kami akhirnya melihat kursi bambu yang seksi dan rumah bambu mungil yang menyenangkan, juga selayaknyalah disebut berhasil karena telah membuat kami mencintai bambu; melihat bambu dengan cara lain dan bersepakat untuk memulai bukti cinta itu dengan melakukan konservasi.
Tulisan ini tentu saja jauh dari usaha menyampaikan penjelasan rinci tentang manfaat bambu. Yang sebenar-benarnya ingin saya bagi adalah bagaimana setiap rekaman informasi tentang bambu yang kami peroleh telah mampu membuat begitu banyak orang setuju dan bersama-sama ke Ulu Wae Ces Ruteng pada hari Minggu, 10 Mei 2015.
Sebelumnya kawan-kawan yang biasa duduk dan mendapat kopi gratis di kantin Teras de Lucas bersepakat mencari bibit. Hampir semua bergerak tetapi saya harus menyebut beberapa nama yang begitu keras berjuang dari kebun ke kebun, kecamatan ke kecamatan. Teddy Nahas, Arka Dewa, Andrew Winokan, Tomy Hikmat ada di kelompok ini.
Tetapi kami belum cukup percaya diri tampaknya. Rasa cinta perlu rasanya ditebalkan. Demikianlah kami meminta Dr. Ino Sutam, Pr, seorang Imam dan budayawan Manggarai untuk menebalkannya. Maka sebuah diskusi budaya digelar malam-malam di salah satu ruang kelas STKIP St. Paulus Ruteng.
Mengapa STKIP? Karena Dr. Ino Sutam adalah dosen di lembaga pendidikan itu dan telah beberapa kali kami melaksanakan diskusi budaya di sana.
Kali ini, tema diskusinya adalah “Bambu dalam Perspektif Budaya Manggarai”. Kami lalu tahu tentang lampek lima (upacara kelahiran pemotongan tali pusar dengan pisau dari bilah bambu), kami lalu tahu tentang eme wakak betong asa, manga wake’n nipu tae, kami lalu tahu tentang bahwa bambu dan orang Manggarai adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Pengetahuan yang mungkin
sederhana, tetapi penting!
Rasa cinta lalu menjadi lebih tebal dari semula. Usai diskusi, ada konsolidasi tentang rencana menanam bambu di Ulu Wae Ces, mata air sumber kehidupan orang Ruteng dan sekitarnya. Mapala STKIP Ruteng mau terlibat. Beberapa komunitas di luar itu juga akhirnya menyatakan ketertarikannya setelah melihat undangan terbuka di facebook.
Sehingga, ketika pada hari itu (Minggu, 10 Mei 2015) di jejaring sosial kalian melihat banyak foto yang berlatar belakang hutan dan orang-orang menenteng bibit bambu, itu kami. Ya, kami menanam bambu di Ruteng.
Saya bahkan didaulat menjadi reporter dadakan, sesuatu yang mendadak sehingga saya tak sempat pakai bedak padahal reporter-reporter yang di tivi itu biasanya akan marah meledak kalau tidak ditabur bedak hihihihi.
Kami adalah BANKit, Tunas Jaya, Komunitas Pencinta Ruteng, Orang Muda Katolik, Mapala STKIP, Bank Sampah Tuluk Rop, pegiat lingkungan, dan banyak jenis kepala, ada juga tim ekspedisi NKRI ketika itu, dengan satu kesepakatan: konservasi itu penting dan melakukannya dengan bambu akan membuatnya menjadi begitu mudah.
Berharap adalah yang pertama, bahwa alam menerima cinta kami dan menyuburkan tunas-tunas bambu seperti angin mewartakan benih-benih cinta bambu kepada setiap hati. “Yang kita lakukan hari ini sangat kecil, tetap bukankah langkah kecil adalah awal dari setiap perjalanan?” begitu kata kak Andrew Winokan.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Mewartakan adalah yang kedua, bahwa virus cinta bambu tidak baik menjadi milik kelompok kecil. Bahwa melakukan adalah yang terpenting buat sebagian orang, tetapi melakukan tanpa mengetahui mungkin akan membuat perlakuan kita menjadi salah.
Maka saya menulis postingan ini. Maka beberapa kawan jurnalis menulis berita tentang kegiatan tersebut. Karena seharusnya memang kita menjadi daging setelah sabda.
Baca juga: Ketika Badai BerlaluMelaksanakan di tempat lain adalah yang ketiga, bahwa di Ulu Wae Ces Ruteng adalah langkah pertama dan di kebun kita masing-masing adalah langkah berikutnya. Saya bertemu Bapa Man, bapakoe saya yang selama ini mengurus kebun kecil saya di Rawuk. Kepadanya saya minta untuk menanam bambu di ujung kebun dekat ngalor (kali). Dia setuju. Saya suka.
Tiga langkah mungkin tak cukup. Demi napas generasi-generasi berikutnya, butuh lebih banyak langkah lain. Itu tugas siapa? Tugas kita bersama mungkin. Atau?
Ah… kelak ketika langit memberi restu tunas-tunas bambu menjadi dewasa, kepada anak-anak yang bernafas kami akan bercerita tentang manusia berutang pada bambu; rumah produksi yang baik untuk oksigen.
Catatan ini tentu saja tidak mewakili siapapun sehingga ketika dibaca dan beberapa peran anda mungkin tak sempat disebutkan, jangan marah-marah. Ini hanya catatan personal. Saya bahkan tidak banyak mengambil peran pada kegiatan yang saya ceritakan di sini. Saya terlibat di ujung dan hanya selintas.
Saya berutang cerita ini pada semua yang telah saya sebut maupun tidak sempat saya tuliskan namanya di catatan tentang menanam bambu di Ruteng Flores ini. Terima kasih kepada mereka yang menanam bambu di Ruteng. Terima kasih 1000.