Kisah Pater Roosmalen Bagian 2: Menuju Timur

Pada bagian pertama diceritakan tentang masa kecil Pater Yan van Roosmalen, SVD, dan masa-masa sulit ketika beliau menjadi seminaris di tengah kecamuk perang. Bagian ini akan berisi catatan perjalanannya ke tanah misi.

kisah pater roosmalen bagian 2 menuju timur
Pater Yan van Roosmalen

Kisah ini ditulis oleh Dosen STKIP St. Paulus Ruteng, Dr. Fransiska Widyawati, M.Hum dengan judul “Sekali Flores Tetap Flores”*). Diunggah dalam tiga bagian bersambung di RanaLino, yakni cerita masa kecil hingga menjadi imam: Di Tengah Perang; catatan perjalanan ke Indonesia: Menuju Timur; dan kisah pengabdiannya di Manggarai: Menjadi Guru. Saya berterima kasih kepada penulis yang mengizinkan pemuatan kembali kisah Pater Roosmalen ini.

Kisah Pater Roosmalen Bagian 2: Menuju Timur

Pater Yohanes Hendrikus van Roosmalen ditahbiskan di Tetringen Belanda pada tanggal 18 Agustus 1946. Sebagai refleksi atas kisah perjalanannya hingga menjadi seorang Imam, ia menulis, “Apa yang dialami dan dirasa dalam hati sulit diungkapkan dalam suatu tulisan; suatu rasa takzim yang menggetarkan hati imam saat konsekrasi menghadirkan Tuhan yang Mahakudus dan Mahabaik”. 
Beberapa bulan kemudian, ketika para imam muda seangkatan sedang berpikir tentang daerah misi yang akan mereka tuju, Pater Yan van Roosmalen telah memutuskan menuju timur. Pater Yan menulis, “Sudah sejak SD saya bermimpi pergi ke Flores”. Baginya: Sekali Flores Tetap Flores
Sudah lazim bahwa para imam muda diminta memilih tiga negara atau daerah misi. Saat itu Pater Yan dengan mantap menulis lamarannya dengan urutan Nomor 1: Flores, Nomor 2: Flores, dan Nomor 3: Flores. Bagi Pater Provinsial dan Dewan saat itu, lamaran Pater Yan ini dianggap sangat jelas dan tidak didiskusikan lagi. Bulan Juli 1947, diumumkan bahwa lamarannya diterima.

Ia sangat senang diutus ke Flores. Ia menulis surat kepada Pater Niko Bot yang saat itu bekerja di Manggarai tentang apa yang harus dipersiapkan sebelum ke Flores. Pater Niko menulis sebuah daftar barang yang harus dibeli untuk dibawa ke Flores, termasuk gergaji. 

BACA JUGA
Ahok, Kita Bukan Gading Kan?
Mereka sadar menjadi imam bukan sekadar urusan liturgi tetapi merangkum aneka pekerjaan tangan lainnya. Semua keperluannya ia siapkan masukkan ke dalam sebuah peti dan petinya masih disimpannya hingga akhir hayatnya. 
Ketika ia bersiap-siap berangkat ke tanah misi tiba-tiba diumumkan kepada bahwa ia dan teman seangkatannya harus kuliah paedagogi setahun lagi. Mereka terkejut karena sudah jenuh belajar. Namun sebagai religius mereka taat dan menerima. Maka waktu kuliah itu ia manfaatkan pula untuk belajar bahasa Indonesia. Kuliah berakhir September 1948. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tibalah tanggal keberangkatan ke Indonesia yakni 18 Desember 1948. Ia berlayar dengan kapal bernama “Madura” ke Indonesia. Saat itu, ayahnya sudah tua dan turut mengantarnya di pelabuhan. Pater Yan yakin ia tidak akan melihat ayahnya lagi. Dan itu benar.

Baca juga: Cinta Sederhana di Novel “Mawar Padang Ara”

Dua tahun kemudian Petrus van Roosmalen meninggal dalam usia 76 tahun menyusul ibunya Wihelmina Katerlaars,meninggal dunia pada tahun 1934 di usia 54 tahun. Inilah pilihan hidup Pater Yan: Setia pada Panggilan Tugas. Seperti kata Yesus, “Barangsiapa mau mengikuti Aku, ia harus meninggalkan segala-galanya.” 

Perjalanan dari Belanda ditempuh selama 40 hari dan tiba di Batavia pada tanggal 27 Januari 1949. Dalam refleksi Pater Yan, perjalanan ini bagaikan menuju tanah terjanji. Dari Batavia kemudian ia berlayar ke Flores dengan kapal KMP, singgah di beberapa pelabuhan sebelum sampai di Ende tanggal 28 Februari 1949. Bersama 5 teman lainnya ia dijemput Pater Antonius Jhisssen. 
Setelah berkeliling Ende dan bertemu Uskup Flores saat itu Mgr. H. Leven, ia siap berangkat ke Mataloko di “Rumah Tinggi” Toda Belu untuk kursus Bahasa Indonesia, belajar Sejarah Indonesia, dan Pastoralia.

BACA JUGA
Nonton Sting Itu Seru

Ia belajar di sana selama empat bulan. Setiap misionaris didampingi oleh seorang collagan, siswa kelas 6 untuk belajar bahasa. Yang menjadi collagan Pater Yan adalah Romo Max Nambu yang saat itu masih duduk di kelas enam Seminari menengah. Kelak keduanya akan berjumpa lagi dalam pelayanan di Manggarai. 

Tanggal 1 Juli ia menerima surat penugasan di kota Ruteng. Dia membaca mengenai Ruteng yang sejuk, dingin dan banyak hutan. Hal ini menggembirakannya karena ia suka dengan alam, pegunungan dan kehidupan di desa. Perjalanan ke Ruteng ditempuh dengan sebuah truk penuh yang tidak hanya diisi oleh manusia tetapi juga ternak seperti ayam dan babi dan tentu saja karung yang bercampur aduk dengan manusia dan peti koper mereka. 
Dalam guncangan perjalanan di atas jalan bebatuan dan berlubang, ia mulai berpikir mengenai masa depan, suatu awal dari karyanya bagi Tuhan dan Gereja. Ia merenung bahwa tanah yang dilewatinya ini akan menjadi tanah baru baginya. Umurnya belum genap 29 tahun ketika itu, baginya hanya Tuhan yang tahu apakah cita-citanya dan rencana Tuhan akan terwujud di tanah ini.

Lebih tepatnya ia menulis: “Apakah saya mewujudkan rencana Tuhan, ketika ia memberi hidup kepada saya tahun 1920?” 

Pater Yan tiba di Ruteng 18 Juli 1949, di rumah misi (sekarang kompleks Societas Verbi Divini, SVD Ruteng). Ia diterima oleh Pater Rektor dan Deken P. Wilhemus van Bekkum. Sejak itu ia mulai pula belajar Bahasa Manggarai. 
Sejak awal karyanya, Pater Yan mulai bergelut dengan dunia pendidikan. Dimulai dari karyanya menggantikan tugas Pater Mensen dalam urusan administrasi guru-guru di Manggarai. Ia bertugas menyusun dan meneliti daftar gaji. Pater Yan dikenal sebagai orang yang sangat teliti dan jelimet dalam hitungan.

BACA JUGA
FF100K Karina - Kotak Pesan

Tak lama setelah itu ia juga diserahi tuga sebagai direktur asrama VVS/Standaardschool dan OVO (Opleidingschool vor Volks-Onderwijer, Kursus untuk Guru Sekolah Rakyat). Ia merasa tugas berat itu masih kurang, maka ia minta juga mengajar agama kelas IV sampai VI Sekolah Rakyat Ruteng I  dengan durasi 12 jam, dan Ruteng II sebanyak dua kali seminggu. 

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Ia sangat mencintai profesi sebagai guru. Ia juga kerap menerima menerima layanan konsultasi guru-guru yang punya masalah baik berkaitan dengan tugas sebagai pendidik maupun malasah pribadi. Selain sebagai guru di sekolah, tentu saja Pater Yan juga membantu pelayanan pastoral di paroki. Ia membantu Pastor Paroki untuk memberi pengakuan Jumat dan Sabtu sore dan giliran misa. Ia juga berasistensi di Wae Peca, Poka, dan Robo. (Bersambung ke Bagian 3: Menjadi Guru)

Catatan:
  • Bagian selanjutnya adalah yang terakhir dari Kisah Pater Roosmalen. Akan berisi cerita pendirian sekolah menengah pertama yang pertama di Manggarai: SMP Tubi, serta lahirnya APK yang kini menjadi STKIP St. Paulus Ruteng.
  • Kisah riwayat hidup Pater Yan mengacu pada sumber: 1). P. Yan van Roosmalen, SVD, “Jejak-jejak Pengabdian: Dididik untuk Mendidik” dalam Kanisius T. Deki, (ed.), Menjadi Abdi, Menghalau Kegelapan Menyongsong Fajar Pengetahuan, Ledalero, 2008, hal. 5-114. 2). Yohanes van Roosmalen, “Memori APK Ruteng 1959-1979”, (sebuah diktat setebal 83 hlm); 3). Beberapa lembaran biodata dan surat-surat pribadi Pater Yan yang disimpan pada arsip dari SVD yang dipinjamkan kepada penulis oleh Pater Florentinus Soge Makin, SVD; 4). Informasi lisan dari kisah dan kesaksian hidup beberapa teman Pater Yan serta beberapa katekis asuhannya. 
www.ranalino.co mempersembahkan satu sub menu khusus berisi kisah-kisah dari tokoh-tokoh inspiratif. Diharapkan akan menjadi salah satu sumber bagi kita semua untuk belajar dari orang-orang hebat dan karya-karya mereka.
Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *