Ahok, Kita Bukan Gading Kan?

Ahok fenomenal. Seperti tokoh-tokoh atau hal-hal fenomenal lainnya, membicarakannya adalah sesuatu yang menyenangkan. Rasanya, semua percakapan tentang Ahok selalu mudah ditimpali. Iya, to? 

ahok kita bukan gading kan
Ahok

Ahok, Kita Bukan Gading Kan?

Apa hubungan Ahok dengan gading? Kalau dengan Gading barangkali ada. Maksudnya dengan Gading yang anaknya Roy Marten itu. Tapi kalau dengan gading yang berasal dari gajah, apakah berhubungan?
Tetapi fenomena Ahok adalah sesuatu yang mengejutkan. Setelah sekian lama negara ini hidup nyaman dengan berbagai kebiasaan yang lalu dianggap kebenaran, Ahok datang dengan tangan dan mulut yang sama-sama kencang. Kehadirannya di pentas politik mau tidak mau mengganggu kenyamanan banyak orang.
Ahok tentu saja menjadi idola kalangan masyarakat yang telah lama muak dengan berbagai kepura-puraan penguasa. Tetapi bagi ‘orang-orang yang nyaman’, Ahok berbahaya. Saya yakin akan banyak halangan dan rintangan menghadang di jalan Ahok. 

Tetapi satu hal yang penting untuk diambil dari suami Veronica Tan ini adalah: setiap orang harus berjalan sesuai dengan predikat apa pun yang diembannya. Tidak boleh salah. Jangan bersembunyi di balik kalimat: tak ada gading yang tak retak. Sekali saja kita bersembunyi di sana, kita akan berkali-kali memasukkan diri ke dalam pencobaan.

Itulah alasan mengapa saya–meski tidak terlampau suka dengan cara dia bicara–selalu mengaguminya. Integritasnya. Kesatuan pikir, kata, dan perbuatannya.
Tulisan berikut ini saya baca lagi hari ini. Sebuah tulisan lama di Nota Nostra. Selamat menyimak tulisan lama yang telah disunting ini. 
Ruteng, Februari 2013
Dingin sekali malam itu. Jaket harus berlapis-lapis agar tetap nyaman tinggal di dinginnya Ruteng. Saya dan bapa baptis anak kami larut dalam obrolan ngalor-ngidul. Artinya, topik berpindah-pindah sesuka hati. Malam ini kami bicara tentang orang-orang pilihan, jentang keputusan saya memilihnya sebagai wali baptis anak kami. 
“Saya memilih kraeng menjadi wali baptis, bukan hanya karena kita berteman baik tetapi karena saya tau, kraeng bisa menjadi pendamping rohani yang tepat untuk Rana. Saya pasti akan sangat kecewa kalau kraeng suatu saat ternyata tidak bisa mewakili sikap orang-orang terpilih,” kata saya. Dia mengangguk setuju lalu diam. 
Lama…
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Saya merokok dan dia tidak. Dia berhenti merokok beberapa tahun silam, dan tidak lagi suka alkohol selain bir. Another good reason untuk mengangkatnya menjadi wali baptis. Obrolan kami berpindah topik.

Baca juga: Samar – Cerpen di Gita Sang Surya

Tentang korupsi, tentang selingkuh, tentang mengkhianati panggilan hidup, tentang motivator yang beristri banyak, tentang pastor yang menanggalkan jubah setelah punya anak, tentang ustad yang cerai lalu kawin lagi, tentang Rhoma Irama, tentang Raffi Ahmad, tentang Anang KD, tentang Sofia Latjuba Indra Lesmana, tentang ini, tentang itu dan akhirnya tentang kami. 

“Saya tidak suka pada orang-orang yang bersembunyi di balik kalimat tak ada gading yang tak retak,” katanya. Menurutnya, peribahasa itu seharusnya tidak selalu dipakai sebagai pembenaran pada setiap kesalahan yang kita buat.

“Kita tahu bahwa korupsi itu salah, tetapi kita melakukannya dengan sadar lalu ketika tertangkap kita mengkampanyekan lagi peribahasa itu dengan muka yang dibuat sebersalah mungkin. Itu kan pembenaran! Kasian peribahasanya. Digunakan pada tempat yang tidak semestinya,” tuturnya lagi. 

Baginya, kita bukan gading dan gading yang retak adalah gading yang terlepas dari gajahnya. Gajah itu sumber kehidupan gading. Ketika gajahnya mati, si gading akan kehilangan sumber hidupnya dan reaksi alam yang wajar adalah si gading mengalami keretakan.

Dalam konteks ini, si gading yang kerap kita pakai sebagai alasan pembenar ternyata adalah benda mati. Sahabat saya itu lalu menutup penjelasan panjangnya malam itu dengan pertanyaan, “Apa kita itu benda mati?” 

Tak ada suara. 
Batang rokok baru saya bakar. Dia tetap setia pada gelas kopinya yang tinggal separuh. Diseruput lalu diam. “Kalau demikian, kita yang dengan sadar melakukan kesalahan sebenarnya juga telah mati. Mati akal. Entah karena ditendang oleh Sang Sumber akal abadi atau karena kita yang melepaskan diri dengan sengaja dariNya,” kata saya kemudian. 
“Persis!” katanya lalu menyambung, “Ketika seseorang selingkuh dalam pernikahan misalnya, dia sebenarnya telah dengan sengaja melepaskan diri dari hidup yang sebenarnya yakni pernikahan itu. Saat itu dia mati. Juga ketika politisi besar melakukan korupsi padahal dia punya wajah yang santun dengan penggemar bejibun, dia telah menjadi benda mati.”
Dalam hati saya berpikir, betapa sedihnya menyamakan diri dengan gading hanya agar keinginan daging kita terpenuhi. Ironi besar, untuk mendapatkan daging kita menjadi mati.
“Lalu mengapa kita sedemikian bodohnya?” tanyaku.
“Bodoh bagaimana?”
“Ya, bodoh karena tetap percaya bahwa kita bisa memaafkan orang yang telah mati akal hanya karena percaya bahwa tak ada gading yang tak retak, padahal kesalahannya telah memporakporandakan tatanan kehidupan berbangsa bahkan mungkin iman,” kataku sambil berpikir tentang berita seorang mantan imam yang membunuh dua anak dan juga pacarnya di Maumere Flores baru-baru ini. 
“Mungkin sebenarnya bukan bodoh, tapi telah rela dibodohi sekian lama. Harusnya kita telah lama percaya bahwa di pundak setiap orang pilihan ada embanan tugas yang harus dilakukan dengan baik.”

Melakukan kesalahan dengan sadar adalah sebuah bentuk pengkhianatan dan wajib mendapatkan sanksi. Untuk hidup saja kita perlu berjuang, apalagi untuk hidup baik. Dan ketika tokoh panutan kita telah mati akal, apakah kita mungkin bisa menggantungnya di Monas?

Saya kaget. Dia juga kaget. Lalu bicara lagi. “Saya percaya manusia kerap melakukan kesalahan, tetapi sebagian melakukannya dengan sadar sebagai bentuk penkhianatan atas panggilan hidup dengan harapan tidak akan tercium lalu ketika tercium dengan santai menekuk wajah membentuk ekspresi bersalah dan bilang tak ada gading yang tak retak.”

“Saya tidak suka dengan pembenaran model demikian, apalagi jika dilakukan oleh tokoh model seperti wali baptis, atau imam, atau ulama atau pejabat negara. Kita mungkin akan menjadi benda mati kalau kita melepaskan diri dari Tuhan dan melupakan doa.”

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Sampai di sini kami sepakat, obrolan ini sudah seperti dakwah, sesuatu yang mengkhawatirkan karena tak sedikit para pendakwah yang juga telah mati akal, korupsi, selingkuh, nikah siri, narkoba dan lain-lain. Kami takut seperti mereka lalu sepakat bahwa satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah dengan berjuang agar terus hidup dan bertahan bergantung pada alfa dan omega, dan sadar tidak semua kesalahan bisa kita limpahkan pada gading yang retak.

Kita tidak mau menjadi Gading. Iya to? Gading juga mungkin tidak bahagia ketika wajahnya penuh jerawat dan ayahnya pernah masih penjara karena narkoba. Eh… Tapi itu Gading yang lain kan? 

Baiklah. Obrolan kami sebenarnya muncul dari sebentuk ketakutan; andai orang yang harus dipanuti terus menerus melakukan kesalahan dengan sengaja dan mendapat pemaafan, maka kita merasa berhak melakukan kesalahan yang sama dengan dalih: “Ah… Alim ulama saja korupsi!” 
Setelahnya, sang wali baptis itu pulang. Singgah sebentar di pojok Wi-Fi bocoran tetangga, lalu memacu sepeda motornya menembus malam yang dingin. Namanya Ujack. Kami sekeluarga memanggilnya Bapa Ani, dari Bapa Serani. Tugasnya berat. Menjadi panutan anak kami. Semoga berhasil.

Ruteng tetap dingin, tugas saya juga tak mudah; menjadi suami dan ayah yang baik. Hidup memang tidak akan pernah mudah kan? Sesungguhnya saya ingin sekali melakukan konfirmasi ini: Ahok, kita bukan gading kan? Mungkin kalau berlaku seperti Ahok, akan banyak hal menjadi mudah.

Salam
Armin Bell

Ruteng, Flores

PS: Di Nota Nostra, tulisan ini berjudul “Si Gading Memang Begitu”