Pada bagian pertama diceritakan tentang masa kecil Pater Yan van Roosmalen, SVD, dan masa-masa sulit ketika beliau menjadi seminaris di tengah kecamuk perang. Bagian ini akan berisi catatan perjalanannya ke tanah misi.
Pater Yan van Roosmalen |
Kisah ini ditulis oleh Dosen STKIP St. Paulus Ruteng, Dr. Fransiska Widyawati, M.Hum dengan judul “Sekali Flores Tetap Flores”*). Diunggah dalam tiga bagian bersambung di RanaLino, yakni cerita masa kecil hingga menjadi imam: Di Tengah Perang; catatan perjalanan ke Indonesia: Menuju Timur; dan kisah pengabdiannya di Manggarai: Menjadi Guru. Saya berterima kasih kepada penulis yang mengizinkan pemuatan kembali kisah Pater Roosmalen ini.
Kisah Pater Roosmalen Bagian 2: Menuju Timur
Ia sangat senang diutus ke Flores. Ia menulis surat kepada Pater Niko Bot yang saat itu bekerja di Manggarai tentang apa yang harus dipersiapkan sebelum ke Flores. Pater Niko menulis sebuah daftar barang yang harus dibeli untuk dibawa ke Flores, termasuk gergaji.
Mereka sadar menjadi imam bukan sekadar urusan liturgi tetapi merangkum aneka pekerjaan tangan lainnya. Semua keperluannya ia siapkan masukkan ke dalam sebuah peti dan petinya masih disimpannya hingga akhir hayatnya.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Tibalah tanggal keberangkatan ke Indonesia yakni 18 Desember 1948. Ia berlayar dengan kapal bernama “Madura” ke Indonesia. Saat itu, ayahnya sudah tua dan turut mengantarnya di pelabuhan. Pater Yan yakin ia tidak akan melihat ayahnya lagi. Dan itu benar.
Baca juga: Cinta Sederhana di Novel “Mawar Padang Ara”
Dua tahun kemudian Petrus van Roosmalen meninggal dalam usia 76 tahun menyusul ibunya Wihelmina Katerlaars,meninggal dunia pada tahun 1934 di usia 54 tahun. Inilah pilihan hidup Pater Yan: Setia pada Panggilan Tugas. Seperti kata Yesus, “Barangsiapa mau mengikuti Aku, ia harus meninggalkan segala-galanya.”
Ia belajar di sana selama empat bulan. Setiap misionaris didampingi oleh seorang collagan, siswa kelas 6 untuk belajar bahasa. Yang menjadi collagan Pater Yan adalah Romo Max Nambu yang saat itu masih duduk di kelas enam Seminari menengah. Kelak keduanya akan berjumpa lagi dalam pelayanan di Manggarai.
Lebih tepatnya ia menulis: “Apakah saya mewujudkan rencana Tuhan, ketika ia memberi hidup kepada saya tahun 1920?”
Tak lama setelah itu ia juga diserahi tuga sebagai direktur asrama VVS/Standaardschool dan OVO (Opleidingschool vor Volks-Onderwijer, Kursus untuk Guru Sekolah Rakyat). Ia merasa tugas berat itu masih kurang, maka ia minta juga mengajar agama kelas IV sampai VI Sekolah Rakyat Ruteng I dengan durasi 12 jam, dan Ruteng II sebanyak dua kali seminggu.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Ia sangat mencintai profesi sebagai guru. Ia juga kerap menerima menerima layanan konsultasi guru-guru yang punya masalah baik berkaitan dengan tugas sebagai pendidik maupun malasah pribadi. Selain sebagai guru di sekolah, tentu saja Pater Yan juga membantu pelayanan pastoral di paroki. Ia membantu Pastor Paroki untuk memberi pengakuan Jumat dan Sabtu sore dan giliran misa. Ia juga berasistensi di Wae Peca, Poka, dan Robo. (Bersambung ke Bagian 3: Menjadi Guru)
- Bagian selanjutnya adalah yang terakhir dari Kisah Pater Roosmalen. Akan berisi cerita pendirian sekolah menengah pertama yang pertama di Manggarai: SMP Tubi, serta lahirnya APK yang kini menjadi STKIP St. Paulus Ruteng.
- Kisah riwayat hidup Pater Yan mengacu pada sumber: 1). P. Yan van Roosmalen, SVD, “Jejak-jejak Pengabdian: Dididik untuk Mendidik” dalam Kanisius T. Deki, (ed.), Menjadi Abdi, Menghalau Kegelapan Menyongsong Fajar Pengetahuan, Ledalero, 2008, hal. 5-114. 2). Yohanes van Roosmalen, “Memori APK Ruteng 1959-1979”, (sebuah diktat setebal 83 hlm); 3). Beberapa lembaran biodata dan surat-surat pribadi Pater Yan yang disimpan pada arsip dari SVD yang dipinjamkan kepada penulis oleh Pater Florentinus Soge Makin, SVD; 4). Informasi lisan dari kisah dan kesaksian hidup beberapa teman Pater Yan serta beberapa katekis asuhannya.