Oleh: Armin BellBadai telah pergi. Entah ke mana akan singgah tak ada yang peduli. Asal bukan di tempat ini, kata sahabatku setelah empat hari yang menakutkan. Empat hari angin datang sepenuh hati meninggalkan kecut dan takut dan dendam dan pasrah.
Lebih dari seribu rumah di propinsi NTT rusak berat akibat badai yang mengguncang selama empat hari terakhir. Sebuah gedung sekolah di Satarmese Barat juga mengalami kerusakan parah. Untuk sementara ini, kegiatan belajar mengajar dipindahkan ke rumah warga yang aman dari terjangan badai. Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika melansir pernyataan tentang berakhirnya badai itu pada hari ini. Badai dan hujan angin dilaporkan telah berpindah lokasi menuju benua Australia.Demikian penyiar berita siang di radio di kota kami, Ruteng, memulai buletin siangnya.
Semua orang bergembira bukan karena badai akan menghancurkan Australia tetapi karena badai tak lagi di sini. Sahabatku bilang itu bukan sikap egois karena bergembira di saat badai mengamuk di tempat lain, tetapi ungkapan bersyukur bahwa kota ini tak lagi dilanda angin kencang.
Aku tidak mengerti maksudnya tetapi tak ingin berdebat. Hari ini kami dalam posisi yang berbeda. Dia senang melepas badai dan saya enggan ditinggal sendiri. Aku merindu badai, tak kukatakan padanya. Dia akan menyebutku egois dan aku tak akan suka itu.
Baca juga: Mengapa Gratis Kalau Bisa Bayar?Aku punya alasan untuk merindu amuk badai dan hujan deras. Empat hari dalam badai adalah hari-hari yang manis. Menghabiskan sebagian besar waktu di kamar dan menemukan kau pada dinding-dinding kamar.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Fotomu ada di dinding itu dalam bingkai hitam tanpa aksen namun manis, memeluk boneka panda hadiahku pada ulang tahunmu setahun lalu. Kuabadikan dari kamera saku, satu-satunya benda berharga yang kupunya sampai hari ini setelah kau tak di sini.
Demikianlah sepanjang badai aku bercinta denganmu pada kisah yang diceritakan dinding seperti film dokumenter. Mengalir rapi begitu saja di tengan angin dan hujan yang mengamuk.
Sekali waktu, gambar yang muncul adalah ketika engkau masih tidur dan kubawakan semangkuk mie rebus yang panas dan enak karya tanganku sendiri. Sudah pagi dan kau harus bangun dan makan. Malam sebelumnya kita bercinta terlalu lama lengkap dengan jempolmu yang kau acungkan saat permainan terakhir selesai. Kau hebat, katamu lalu mengecup dua mataku, hidungku, bibirku dan terakhir pada kening sebelum tertidur lelah di atasku.
Kubiarkan sejenak menikmati nafasmu terengah meniup leher kiriku. Setelahnya kubaringkan kau di sisiku Kau tidur hingga pagi itukubangunkan.
“Yaaa… sarapan mie lagi? Kapan-kapan aku mau sarapan pagiku adalah kau,” katamu menggoda. Aku tersenyum, meletakkan nampan itu pada meja kecil yang kudekatkan ke tepi ranjang agar kau tak harus beranjak.
Mungkin setelah itu aku yang akan sarapan, sarapan kau; aku tak tahu bagaimana kisah satu pagi itu berlanjut karena gambar-gambar yang bergerak pada dinding tiba-tiba menghilang dan berganti sambar kilat seperti lampu flash dari kamera analog murah dengan silau berlebih. Lalu badai lagi, hujan angin lagi, empat hari dan potongan kisah kita tersaji sepanjang badai.
Hingga pagi tadi aku terbangun dan matahari mengintip dari balik tirai kamar. Kau ingat tirai kamar kita, bukan? Dari kain berwarna merah marun pada dua sisi jendela. Kau pilih warna itu karena tampak mewah bersanding warna dinding kamar yang kuning ini.
Aku ingat kenangan itu. Kita yang berdebat tentang warna lalu kemudian tertawa bersama dan pasrah pada pilihan sahabatku yang bercita-cita jadi desainer interior dan berakhir dengan menjadi blogger itu.
Tetapi hari ini tak ada badai dan gambar-gambar di dinding perlahan menjadi samar lalu menghilang seiring matahari yang menyapa tegas. Tinggallah aku di sini pagi ini, merindu badai, satu-satunya tiket yang ku punya agar bersamamu lagi pada dinding-dinding kamar. Segelas kopi Manggarai tak cukup membunuh rindu.
“Ayolah, hari ini jadi pergi kan?” sahabatku berujar. Kami akan ke sebuah kampung di Satarmese Barat, mengabadikan beberapa rumah yang hancur dan gedung sekolah yang dilaporkan rusak parah. Kami akan mengunggah laporannya di blog kami. Dua orang blogger Ruteng berniat mengabarkan pada dunia kisah dari Manggarai.
Aku mengganggapnya sebagai cita-cita yang terlampau besar tetapi sahabatnku ingin berbuat baik.Empat hari ini kami memang tak punya cerita yang dibagi karena badai juga mengambil jaringan internet. Waktunya mengisi blog dengan cerita seputar amuk badai di wilayah ini.
“Badainya ke Australia ya?” tanyaku.
“Aku ingat Wella. Dia di Sidney sekarang.”
“Astaga! Australia itu negara maju. Dampak bencana akan lebih sedikit dibanding di negeri ini. Percayalah, Wella akan baik-baik saja. Suaminya akan menjaganya sepenuh hati. Mereka akan ada di kamar sepanjang badai,” sahabatku meledek.
Mengapa badai ini berlalu?
Untuk hidup yang tidak hanya tentang kemarin
Catatan: Cerpen Ketika Badai Berlalu ini sebelumnya dimuat di blog Kumpulan Fiksi. Yang baru saja anda baca adalah versi yang telah mengalami penyuntingan.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Catatan tentang Flash Fiction dari indonovel.com:
Flash fiction sesuai namanya adalah fiksi kilat yang bisa dibaca sekejap hanya dalam hitungan detik. Beberapa penulis menyebutnya dengan istilah sudden fiction, microfiction, microstory, postcard fiction, atau short short story.
Di China orang menyebutnya cerita seukuran telapak tangan.
Belakangan ini flash fiction meningkat popularitasnya seiring dengan berkembangnya sastra dunia maya. Karakteristik flash fiction yang pendek, padat, kuat & cepat dianggap sesuai dengan tipikal pengguna internet yang memiliki waktu terbatas.