ketika tuhan campur tangan pada kisah pius lustrilanang ranalino armin bell ruteng

Ketika Tuhan Campur Tangan pada Kisah Pius Lustrilanang

Pada suatu ketika, di masa lalu, ketika nama Pius Lustrilanang ramai dibicarakan di NTT terutama daerah pemilihan Flores – Lembata – Alor, saya sempat heran.


Ruteng, 19 Februari 2019

Sudah dua kali Pemilu, Pius Lustrilanang berhasil meraup suara yang cukup untuk mengantarnya menjadi anggota DPR RI dari Partai GERINDRA, mewakili Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dan selama dua kali Pemilu itu pula, saya selalu berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa politik bisa sehebat itu. Pius Lustrilanang terpilih mewakili kami orang NTT. Hal yang membuat saya merasa bahwa keterpilihannya mewakili provinsi kami ini oh betapa hebatnya adalah karena dia “orang luar”.

Betul. Pius Lustrilanang bukan orang NTT. Dia dari Palembang. Tentu saja Pius bukan satu-satunya orang luar NTT yang (pernah) jadi wakil kami di Senayan.

Setya Novanto itu dari Bandung. Tetapi terlepas dari soal tiang listrik, e-ka-te-pe, dan hal-hal lainnya yang membuat tokoh Partai Golkar ini sempat viral, Setya Novanto sesungguhnya punya jejak-jejak manis di NTT. Kalau tidak percaya, silakan pesiar ke pulau Timor dan tanyakan bagaimana dia ‘menyapa’ orang-orang di sana. Sesuatu yang rasanya Pius tidak lakukan. Maksudnya, dia tidak membangun Pius Lustrilanang Center di Flores seperti yang Setya Novanto lakukan di Timor. Tetapi Pius toh meraih banyak suara di Flores-Lembata-Alor pada dua kali Pemilu. Kau kagum ka tida? Sungguh tak berperasaan kalian itu kalau tidak kagum padanya.

Meski di semua daerah pasti ada, jumlah orang seperti Pius Lustrilanang dan Setya Novanto sesungguhnya tidak banyak. Berjuang menjadi wakil dari daerah yang jauh, berjibaku dengan calon-calon asli daerah, dan menang. Peristiwa itu hanya dapat terjadi karena keberanian dan strategi komunikasi politik yang baik. Bayangkan. Alih-alih berjuang untuk tanah lahirnya sendiri, Pius memilih memikul aspirasi dari tanah air beta. Kalau sedang pakai topi, saya sarankan kalian angkat topi.

Misalkan situasi di atas tidak cukup melahirkan kekaguman, semoga yang berikut ini bisa. Bukankah mengagumkan bahwa keramahan kami di Flores – Lembata – Alor yang memang terkenal ramah ini, berujung pada sikap tak terduga? Memilih orang luar sebagai penyuara aspirasi kami di Jakarta. Saya tidak tahu apakah yang saya pikirkan ini masuk dalam kategori ‘rasis’, tetapi saya tahu bahwa menitipkan harapan pada orang luar untuk perbaikan nasib saya biasanya cukup sulit berhasil.

BACA JUGA
Jawaban Tim KirimBudi Setelah Membaca Surat Terbuka untuk Najwa Shihab

Tetapi kami memang ramah. Barangkali itulah alasan kenapa Pius terpilih. Betul begitu? Entahlah. Sejauh yang saya tahu, pertunjukan keramahan kami itu biasanya adalah dengan menyajikan kopi pada setiap ‘orang asing’ yang berkunjung. Mengizinkannya menginap, kadang dilakukan. Tetapi membiarkannya bicara tentang nasib kami? Biasanya tidak semudah itu, Fergusso. Masih banyak orang dalam yang bisa melakukannya. Tetapi mengapa kami memilih Pius?

Saya menduga—dan karena ini dugaan maka bisa saja salah—kami memilihnya karena nama. Nama Pius itu ‘terdengar’ sangat Flores. Jumlah orang bernama Pius itu sebanyak orang bernama Benediktus, Marius, Frans, Margareta, Virgula, Robertus, atau Ursula seperti di Seratus Tahun Kesunyian, novel tebal dan hebat karya Gabriel Garcia Marquez. Maka, asal Pius tidak memperkenalkan biodata lengkap di awal kampanyenya, dia akan dengan mudah diterima sebagai orang kita a.k.a “rakat”.

Baca juga: Fenomena Rakat: Dari Sinisme, Humor Gelap, Hingga Medan Investasi Sosial

Masih sejalan dengan konsep ‘keliru karena nama’ tadi, saya kira kalau AHY juga maju dari daerah kami, namanya sudah memecah gunung es keterasingan. Agus. Kami akan menyimpulkannya sebagai Agustinus. Mudah sekali, bukan?

Siapa Pius Lustrilanang?

Pius Lustrilanang, sebelum menjadi anggota DPR RI mewakili Provinsi NTT, adalah Aktivis ’98. Ini informasi penting bagi generasi kekinian yang kalau diajak bicara soal ’98 selalu bilang: “Wah, sudah lama sekali, ya? Saya belum lahir. Ada apa di tahun ini?” Hmmm …

‘98 itu, Bro, adalah tahun di mana para mahasiswa turun ke jalan. Berjuang menurunkan Suharto dan mengakhiri apa yang dikenal dengan nama Orde Baru. Ada banyak mahasiswa yang jadi korban penembakan saat aksi demonstrasi besar berlangsung. Ada peristiwa lain yang juga traumatik. Pemerkosaan. Ah, saya tidak senang mengingat bagian ini. Pokoknya begitu. Kalau sempat, silakan jalan-jalan ke google. Ketik kata kunci “tragedi mei 1998”. Atau “tragedi mei” saja, nanti google akan menambah sendiri kata 1998 di belakangnya.

Nah, pada tahun itu, saat negara sedang dalam ‘situasi luar biasa’, beberapa nama dipercaya mendesain gerakan. Mereka-mereka itu diburu. Sebagian diculik. Kabarnya, Pius Lustrilanang adalah salah seorang di antara mereka. Btw, saya tidak berniat memakai kata culik ini tetapi Pius sendiri menyampaikannya. Media-media lokal NTT memberitakannya. Saya kutip dari media daring floresa.co.

BACA JUGA
Tentang Mesianisme dan Bangsa Penyemai Rindu yang Menolak Saudaranya Sendiri

“Kenapa? Karena saya dan Prabowo punya sejarah khusus. Yang diculik dan menculik. Itu sejarahnya. Apa yang disatukan oleh Tuhan jangan dipisahkan oleh manusia. Itu saja pokoknya. Jadi, Tuhanlah yang mempertemukan kami. Ibarat jodohlah,” katanya saat menghadiri kampanye Partai Gerindra di Kampung Racang, Desa Racang Welak, Kecamatan Welak, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Minggu, 9 Desember 2018 lalu. Selengkapnya bisa dibaca di tautan ini .

Di sinilah kita. Dipertemukan dengan kenyataan bahwa Tuhan telah campur tangan pada hubungan Pius Lustrilanang dan Prabowo. Tentang Tuhan campur tangan, tentu saja terjadi dalam kehidupan semua orang yang percaya. Tetapi yang menarik pada kisah Pius Lustrilanang dan Prabowo Subianto, terutama pada refleksi Pius terhadap peristiwa campur tangan itu adalah ayat Kitab Suci yang dipilihnya. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Matius 19:6). Ah, indah sekali. Ada sisi romantis yang dimainkan secara cerdas.

Maksudnya begini. Dalam konteks perjuangannya menjadi wakil dari daerah pemilihan Flores – Lembata – Alor, Pius tahu bahwa selain karena namanya yang bernuansa rakat itu, sabda Yesus yang dikutipnya bikin kami tak bisa berpaling; ayat yang selalu ada di setiap misa nikah.

Sampai di sini, ada pertanyaan? Kalau tidak, mari kita jalan terus.

Tuhan (dan Apa Saja Bisa Terjadi) dalam Politik Kita

Saya pikir, kita semua pasti sepakat bahwa agama—yang berarti Tuhan ada dalam setiap percakapan tentangnya—masih menjadi jualan primadona dalam pentas politik kita di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Tetapi sebelum membicarakannya, baiklah kita sejenak kembali ke soal Pius – Prabowo.

Saya tahu bahwa di film-film sering terjadi. Penculik dan yang diculik kemudian saling jatuh cinta. Tetapi barangkali kita tidak pernah menduga bahwa seorang Aktivis ’98 kemudian bergabung ke partai yang didirikan oleh tokoh yang kala itu (atau sampai sekarang?) dianggap bertanggung jawab pada aksi-aksi kekera… Ah, sudahlah. Toh, tidak ada bukti.

Baca juga: Asyiknya Berkelahi di Era Milenial, Tak Ada Penonton Tak Ada Perkelahian

BACA JUGA
Seorang Wartawan di Manggarai Timur Minta Uang Atas Nama Dewan Pers, Bagaimana Posisi Kita?

Hanya saja, katakanlah anggapan kita benar, bukankah mengherankan bahwa Pius Lustrilanang kini menjadi sahabat Prabowo? Pasti sulit sekali baginya untuk meyakinkan bahwa dalam politik apa saja bisa terjadi. Karena itulah, mau tidak mau, suka tidak suka, ayat-ayat Kitab Suci harus diturutsertakan dalam komunikasi politiknya.

Dengan demikian, karena agama-agama mengajarkan kasih sayang dan di dalamnya perintah saling memaafkan pasti ada, hubungan yang runcing di masa lalu dapat terselesaikan dengan baik. Secara kebetulan, Pius Lustrilanang maju dari Dapil yang mayoritas pemilihnya beragama Katolik. Maka ayat suci yang dipakai haruslah yang paling akrab dengan pemilihnya. No mention soal ayat itu sungguh romantis, Sabda Yesus yang dipakai pada kampanye politik akan membuat kami langsung luluh. Kira-kira begitu.

Agama memang masih jadi jualan favorit, bukan? Karena di Flores banyak Nasrani, dipakailah ayat yang dirasa paling sering didengar. Di tempat lain, bisa kutip ayat-ayat dari kitab-kitab lainnya. Sesuaikan dengan khalayak yang hadir, lalu menang. Politik itu seasyik itu! Karena sesungguhnya begini. Jauh di kamar-kamar kecil, kami yang kerap muncul dengan narasi besar bernama toleransi di ruang publik, akan tetap memakai agama seseorang sebagai pertimbangan untuk mencintai (baca: memilih). Maksudnya, terpilihnya Pius Lustrilanang mewakili kami bisa jadi karena alasan itu: Pius bukan nama (kata) yang asing, dan kampanyenya memakai ayat Kitab Suci.

Tetapi cinta dan keputusan memilih memang selalu mengherankan. Annie Porter (Sandra Bullock) dan Jack Traven (Keanu Reeves) dalam film “Speed” saling jatuh cinta setelah peristiwa menegangkan. Pius Lustrilanang dan Prabowo adalah kisah korban dan penculik yang saling jatuh cinta. Dapil Flores – Lembata – Alor dan Pius Lustrilanang adalah kisah cinta yang lain. Kita bisa apa?

Bahwa kemudian kita kembali terlibat dalam percakapan tentang betapa kita tidak sering bertemu dengan wakil kita itu setelah Pemilu, atas nama cinta dan keterlibatan Tuhan di dalamnya, kita akan dengan mudah saling memaafkan. Bukankah itu yang selalu kita lakukan? Memaafkan para politisi yang melupakan janji-janji mereka?

Jika catatan ini membingungkan, percayalah, Anda tidak sendiri. Saya juga bingung. Atau sedih?

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Gambar dari redaksiindonesia.com

Bagikan ke:

6 Comments

  1. Baru kali ini nimbrung di blog ini dan saya baru temukan ulasan tentang cinta mendalam yg muncul bukan karena hasrat sesaat, namun karena memaafkan. Ya, saya sanggup memaafkan jauh sebelum engkau menyalahkan saya….. Asyik berow….

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *