Sudah sering saya bertemu dengan perkelahian-perkelahian yang tidak seru. Di dunia nyata maksudnya. Kalau di film atau buku-buku, semua perkelahian berlangsung seru. Menegangkan. Kisah Wiro Sableng dan Ko Ping Ho adalah yang paling saya suka. Di dunia nyata, banyak perkelahian yang batal. Mengapa? Tak ada penonton. Tetapi justru asyik.
![]() |
Ferdy Mozakk (memakai singlet) dan Haris Saputra pada salah satu iven Saeh Go Lino | Foto: Daeng Irman |
Asyiknya Berkelahi di Era Milenial, Tak Ada Penonton Tak Ada Perkelahian
Yang sedang ingin dibahas adalah perkelahian dalam arti dua atau lebih orang beradu fisik, berusaha saling mengalahkan. Yang keluar sebagai pemenang adalah yang berdiri gagah di akhir cerita. The last man standing. Begitu barangkali. Meski sebenarnya, jika dilakukan dengan sungguh, kadang pemenang tidak benar-benar berdiri di bagian akhir cerita. Dia terbaring di aspal. Kelelahan. Tapi menang.
Perkelahian itu tampak heroik. Entah sejak kapan, yang jago berkelahi selalu dianggap jago. Halaaah. Maksudnya, yang selalu menang dalam setiap perkelahian pasti dianggap sebagai jagoan. Pahlawan. Hero. Bukan Hiro. Yang terakhir itu kisahnya sedang difilmkan. Hiro Sableng. Haisssh.
Anyway, atas dasar itulah, banyak orang menyukai film-film laga. Action Movies. Filem Raha, kata kami orang Manggarai. Nggecang keta hoo. Tokoh-tokoh paling sering disebut di zaman kami di era 90-an adalah Vandem (Jean Claude van Damme), Ciknoris (Chuck Norris), Joseph Hungan, Barry Prima, Adven Bangun, Rambo. Sekarang ada nama Ikko Uwais. Mereka semua jago di film-film laga. Ada juga nama Dian Sastro. Dia pemenang di hati kita. Encoook.
Perkelahian dikenal juga sebagai salah satu saluran konflik. Maksudnya, orang-orang yang berkonfliklah yang kemudian berkelahi. Baku hantam dengan mengandalkan otot dan sedikit otak. Jenis-jenis konfliknya macam-macam. Misalnya, konflik kepentingan.
Dalam jurnalistik, konflik adalah yang paling tinggi nilai beritanya. Itulah yang membuat media senang menulis berita-berita tentang perkelahian. Apalagi kalau yang berkelahi adalah politisi. Viral sudah.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Tetapi perkelahian juga kadang lucu. Yang lucu seperti ini biasanya terjadi di ruang publik, di mana yang berkelahi telah tahu bahwa puluhan orang siap melerai. Perkelahian seperti itu terasa lucu karena yang hendak berkelahi umumnya bergerak lebih liar dari kemampuannya. Apalagi kalau sudah ada yang mulai pegang, hendak melerai.
Dia tahu, perkelahian itu akan batal. Tetapi agar tampak sebagai jagoan di akhir cerita, dia harus terlihat berjuang keras membebaskan diri dari kukungan pelerai. Sehingga ketika perkelahian itu batal, dia berhak bilang: “Sial. Ada yang pegang saya dari belakang. Kalau tidak, habis itu orang saya makan.” Enaaaaak. Kadang, luka justru lahir dari gerakan yang tidak perlu dan bukan hantaman lawan.
Atas dasar itu barangkali, Mozakk dan kawan-kawannya memutuskan untuk menjadi penonton yang diam. Seumpama menyaksikan pertandingan olahraga body contact macam tinju, tae kwon do, kempo, atau karate, mereka bersepakat tidak akan melerai dua orang teman sekolah mereka yang hendak berkelahi.
Begini ceritanya. Dua orang anak SMA berjanji untuk berkelahi. Anak-anak SMA dari era menjelang milenial. Taman Kota di Ruteng dipilih sebagai lokasi perkelahian. Mereka menyepakati lokasi itu setelah pada masa ancang-ancang di halaman sekolah, teman-temannya mengusulkan: “Kalau jago, satu satu.”
Di Taman Kota di nol kilometer kota Ruteng, dua pelajar itu ambil ancang-ancang lagi saat semilir angin senja mengecup pucuk-pucuk cemara. Ckckckck. Mereka hendak melanjutkan perkelahian yang tadi batal dilaksanakan di sekolah karena keburu dilerai (dan takut ketahuan guru-guru).
Ancang-ancang keduanya demikian. Kaki kiri ke depan, kaki kanan ke belakang, sedikit ditekuk. Dua tangan dalam posisi dikepal yang kiri ke depan, yang kanan di samping dada. Mata dibentuk lebih sipit, hendak menyalurkan angkara melalui tatapan. Penonton hening.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Mozakk menahan napas, menantikan momen dimulainya perkelahian itu. Tetapi terlalu lama. Dua petarung seperti hanya akan selesai di ancang-ancang. Mozakk melepas lagi napasnya dan berusaha lebih rileks. Seperti sedia kala. Tetapi tetap menjaga keheningan sambil berharap perkelahian di tengah arena akan dimulai.
Di sana, dua calon petarung bertahan pada posisi yang sama. Kuda-kuda mulai sedikit goyah namun tak kunjung ada gerakan pembuka. Pada titik seperti ini, keduanya seharusnya sudah bergerak karena mendengar para penonton bilang: Sudah, sudah. Damai saja. Tidak baik berkelahi.
Baca juga: Om Rafael Salah Pilih Kapten, Pertandingan Bubar Jalan
Tetapi teman yang hadir sebagai penonton, bertindak benar-benar sebagai penonton. Tidak berniat melerai, tidak juga memberikan komentar. Yang di tengah arena mulai gamang. Mata dikembalikan lebarnya ke posisi semula. Aneh. Biasanya dalam posisi seperti itu, pasti ada yang melerai dan setiap gerakan pelerai seperti membangkitkan semangat untuk bergerak lebih sibuk lagi.
Karena gerakan pihak lain yang dibutuhkan itu tidak kunjung datang, keduanya tetap dalam posisi ancang-ancang, sampai akhirnya seseorang di antara mereka berdua bilang: “Kita uji pintar saja ta. Asa? Kita uji matematika. SEKARANG!” Kata terakhir itu dia sampaikan dengan tangan kanan menunjuk tanah. Keliru dia. Gerakan menunjuk tanah itu baru tepat kalau dia pakai kata DI SINI. Kalau sekarang, harusnya menunjuk jam tangan. Haissss. Sudah batal bekelai, keliru lagi.
Pokoknya begitu. Perkelahian hari itu resmi batal. Semua pulang. Ketika kisah itu diceritakan Mozakk kepada saya bertahun-tahun kemudian, saya memutuskan bahwa itu adalah kisah perkelahian paling lucu dan berakhir menyenangkan. Selain bahwa Mozakk adalah aktor yang hebat sehingga setiap cerita menjadi begitu hidup, kisah perkelahian yang batal karena tak kunjung dilerai adalah sebuah pengalaman yang baru.
Bisa dicoba. Kita jangan bergerak ketika ada dua orang mengambil ancang-ancang berkelahi. Biarkan saja mereka bergerak. “Coba sesekali los dulu. Lihat apakah itu lanjut atau selesai di baku tunjuk dan uji pintar.” Rasa-rasanya, mereka akan mendadak menguncup. Setelah saling tunjuk dan tak ada yang berniat melerai, hati kecil mereka akan berbisik: kau tidak sejago yang kau duga.
Bayangkan sebuah berita berjudul begini: “Wow! Setelah Dua Jam Ancang-ancang, Dua Pemuda itu Berpelukan dan Uji Pintar Matematika”. Berita itu pasti viral dan menjadi berita perkelahian dengan emoticon ha-ha-ha terbanyak sedunia. Indah sekali, bukan?
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Aduh. Ini catatan apa? Pokoknya begitulah. Saya kerap menyaksikan di televisi, para politisi hendak baku hantam. Tetapi rata-rata berakhir begitu. Bergerak semangat dari meja, lebih semangat lagi gerakan itu ketika orang-orang datang melerai. Lalu perkelahian batal. Saya selalu bertanya dalam hati, apakah perkelahian itu akan terjadi kalau orang-orang tidak melerai?
Penulis asal Amerika, Mark Twain (1835 – 1910) pernah menulis: “Saya tidak suka dengan perkelahian. Bila saya memiliki musuh, saya akan memaafkannya, mengajaknya ke tempat yang tenang, baru menghabisinya di sana.” Wow! Jangan ditiru.
Di era milenial, perkelahian biasanya ditujukan agar diunggah di facebook, instagram, twitter, dan lain-lain. Hubungannya selalu dengan pencitraan. Pakai tagar jika perlu. Karena itu harus terjadi di ruang publik. Tak ada penonton, tak ada perkelahian. Begitu.
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
Blogger Ruteng
Catatan:
Tentang kisah perkelahian di taman kota, saya berhutang pada Ferdy Mozakk Iring, aktor dan pegiat di Komunitas Saeh Go Lino Ruteng.