berkelahi di era milenial tak ada penonton tak ada perkelahian di ruteng

Asyiknya Berkelahi di Era Milenial, Tak Ada Penonton Tak Ada Perkelahian

Sudah sering saya bertemu dengan perkelahian-perkelahian yang tidak seru. Di dunia nyata. Di film atau buku-buku, semua perkelahian berlangsung seru. Menegangkan.


Di dunia nyata, banyak perkelahian yang batal. Kenapa? Karena tidak ada penonton.

Yang sedang ingin dibahas adalah perkelahian dalam arti dua orang atau lebih adu fisik. Berusaha saling mengalahkan. Yang keluar sebagai pemenang adalah yang berdiri gagah di akhir cerita. The Last Man Standing. Barangkali begitu. Meski sebenarnya, jika dilakukan dengan sungguh, kadang-kadang pemenang tidak sanggup berdiri di akhir cerita. Dia terbaring di aspal, kelelahan, tapi menang.

Perkelahian itu tampak heroik. Entah sejak kapan, yang jago berkelahi selalu dianggap jago. Halaaah. Maksudnya, yang selalu menang dalam setiap perkelahian pasti dianggap sebagai jagoan. Pahlawan. Hero. Bukan Hiro. Yang terakhir itu kisahnya sedang difilmkan. Hiro Sableng. Ada juga Kho Ping Hiro. Sama-sama serial silat itu. Haisssh.

Anyway, atas dasar itulah, banyak orang menyukai film-film laga. Action Movies. Felem Raha, kata kami orang Manggarai. Nggecang keta hoo. Tokoh-tokoh paling sering disebut di zaman kami di era 90-an adalah Vandem (Jean Claude van Damme), Ciknoris (Chuck Norris), Joseph Hungan, Barry Prima, Adven Bangun, Rambo. Sekarang ada nama Ikko Uwais. Mereka semua jago di film-film laga. Ada juga nama Dian Sastro. Dia jago memenangkan hati kita. Encoook.

Perkelahian dikenal juga sebagai salah satu saluran konflik. Maksudnya, orang-orang yang berkonfliklah yang kemudian berkelahi. Baku hantam dengan mengandalkan otot dan sedikit otak. Jenis-jenis konfliknya macam-macam. Misalnya, konflik kepentingan. Dalam dunia jurnalistik, konflik adalah yang paling tinggi nilai beritanya. Hal itulah yang membuat media senang menulis berita-berita tentang perkelahian. Apalagi kalau yang berkelahi adalah politisi. Viral sudah.

Tetapi perkelahian juga kadang lucu. Yang lucu seperti ini biasanya terjadi di ruang publik, di mana yang berkelahi telah tahu bahwa puluhan orang siap melerai. Perkelahian seperti itu terasa lucu karena yang hendak berkelahi umumnya bergerak lebih liar dari kemampuannya. Apalagi kalau sudah ada yang mulai memegangnya, hendak melerai.

Dia tahu, perkelahian itu akan batal. Tetapi agar tampak sebagai jagoan di akhir cerita, dia harus terlihat berjuang keras membebaskan diri dari kukungan pelerai. Sehingga ketika perkelahian itu batal, dia berhak bilang: “Sial. Ada yang pegang saya dari belakang. Kalau tidak, habis itu orang saya makan.” Enaaaaak. Pada beberapa cerita, luka justru lahir dari gerakan yang tidak perlu dan bukan hantaman lawan.

Baca juga: Cara Mudah Menjadi Seniman di Era Milenial

Atas dasar itu barangkali, Mozakk dan kawan-kawannya memutuskan untuk menjadi penonton yang diam. Mereka bersepakat tidak melerai dua teman sekolah mereka yang hendak berkelahi. Nonton dalam diam.

Begini ceritanya. Dua orang anak SMA berjanji akan berkelahi. Anak-anak SMA dari era menjelang milenial. Taman Kota di Ruteng dipilih sebagai lokasi perkelahian. Mereka menyepakati lokasi itu setelah pada masa ancang-ancang di halaman sekolah, teman-temannya mengusulkan: “Kalau jago, satu satu!”

Di Taman Kota di nol kilometer kota Ruteng, dua pelajar itu ambil ancang-ancang lagi saat semilir angin senja mengecup pucuk-pucuk cemara. Ckckckck. Mereka hendak melanjutkan perkelahian yang tadi batal dilaksanakan di sekolah karena keburu dilerai (dan takut guru-guru tahu).

Ancang-ancang keduanya demikian. Kaki kiri ke depan, kaki kanan ke belakang, sedikit ditekuk. Dua tangan dalam posisi dikepal, yang kiri ke depan, yang kanan di samping dada. Mata dibentuk lebih sipit, hendak menyalurkan angkara melalui tatapan. Penonton hening.

Mozakk tahan napas, menantikan momen dimulainya perkelahian itu. Tetapi terlalu lama. Dua petarung seperti hanya akan selesai di ancang-ancang. Mozakk menghela lagi napasnya, berusaha lebih rileks. Seperti sedia kala, tetapi tetap menjaga keheningan sambil berharap perkelahian di tengah arena akan dimulai.

Di sana, dua calon petarung bertahan pada posisi yang sama. Kuda-kuda mulai sedikit goyah namun tak kunjung ada gerakan pembuka. Pada titik seperti ini, keduanya seharusnya sudah bergerak karena mendengar para penonton bilang: Sudah, sudah. Damai saja. Tidak baik berkelahi.

Namun teman-teman yang hadir sebagai penonton benar-benar melaksanakan janji mereka: menonton dalam diam. Tidak berniat melerai, tidak juga memberi komentar. Yang di tengah arena mulai gamang. Mata dikembalikan lebarnya ke posisi semula. Aneh, pikir dua petarung kita. Biasanya dalam posisi seperti itu pasti ada yang segera datang melerai dan setiap gerakan orang itu seperti membangkitkan semangat untuk bergerak lebih sibuk lagi. Kenapa mereka diam?

Karena gerakan pihak lain yang dibutuhkan itu tidak kunjung datang, keduanya tetap dalam posisi ancang-ancang, sampai akhirnya seseorang di antara mereka berdua bilang: “Kita uji pintar saja ta. Asa? Kita uji matematika. SEKARANG!” Kata terakhir itu dia sampaikan dengan tangan kanan menunjuk tanah. Keliru dia. Gerakan menunjuk tanah itu baru tepat kalau dia pakai kata DI SINI. Kalau sekarang, harusnya menunjuk jam tangan. Haissss. Sudah batal bekelai, keliru lagi.

Pokoknya begitu. Perkelahian hari itu resmi batal. Semua pulang. Ketika Mozakk menceritakan lagi kisah itu kepada kami di Saeh Go Lino bertahun-tahun kemudian, saya memutuskan bahwa itu adalah kisah perkelahian paling lucu dan berakhir menyenangkan. Selain bahwa Mozakk adalah aktor yang hebat sehingga setiap cerita menjadi begitu hidup, kisah perkelahian yang batal karena tak kunjung dilerai adalah sebuah pengalaman yang baru.

Baca juga: Om Rafael Bilang, Ancang-Ancang Jangan Terlalu Lama

Bisa dicoba. Kita jangan bergerak ketika ada dua orang mengambil ancang-ancang berkelahi. Biarkan saja mereka bergerak; coba sesekali los dulu. Lihat apakah itu lanjut atau selesai di baku tunjuk dan uji pintar. Rasa-rasanya, mereka akan mendadak menguncup. Setelah saling tunjuk dan tak ada yang berniat melerai, hati kecil mereka akan berbisik: kau tidak sejago yang kau duga.

Bayangkan sebuah berita berjudul begini: “Wow! Setelah Dua Jam Ancang-ancang, Dua Pemuda itu Uji Pintar Matematika Lalu Berpelukan”. Berita itu pasti viral dan menjadi berita perkelahian dengan emoticon ha-ha-ha terbanyak sedunia. Indah sekali, bukan?

Aduh. Catatan apa ini?

Pokoknya begitulah. Saya kerap menyaksikan di televisi, para politisi hendak baku hantam. Tetapi rata-rata berakhir begitu. Bergerak semangat dari meja, lebih semangat lagi gerakan itu ketika banyak orang datang melerai dan perkelahian batal. Saya lalu bertanya dalam hati, apakah perkelahian itu akan tetap terjadi kalau orang-orang tidak melerai?

Penulis asal Amerika, Mark Twain (1835 – 1910) pernah menulis: “Saya tidak suka dengan perkelahian. Bila saya memiliki musuh, saya akan memaafkannya, mengajaknya ke tempat yang tenang, baru menghabisinya di sana.” Wow! Jangan ditiru.

Di era milenial, perkelahian biasanya ditujukan agar diunggah di facebook, instagram, twitter, dan lain-lain. Hubungannya selalu dengan pencitraan. Pakai tagar jika perlu. Karena itu harus terjadi di ruang publik. Tak ada penonton, tak ada perkelahian. Tidak ada debat. Sebab sudah tahu kalau saya ngotot saya pasti kalah. Begitu.

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Disclaimer: Kisah perkelahian di taman kota ini benar-benar terjadi dan saya berhutang pada Ferdy Mozakk Iring, aktor dan pegiat di Komunitas Saeh Go Lino Ruteng. Pertama kali diunggah ke blog ini pada tanggal 6 September 2018.

Gambar dari Kalteng Today.