Dalam dunia politik, ada dua bagian besar yang sama-sama disebut tim. Bagian pertama bernama tim bertahan, dan yang kedua adalah tim menyerang. Di film-film Holywood, ‘yang begitu-begitu’ sangat jelas ditunjukkan.
![]() |
Contoh materi kampanye yang salah. Hoax! |
Kampanye Tim Putih Nyaris Tak Terdengar
Saya sendiri cenderung menyebut nama Tim Putih untuk yang bertahan–tugas mereka adalah mengampanyekan kandidatnya sekaligus menyiapkan jawaban atas serangan terhadap kandidat mereka, dan Tim Hitam untuk mereka yang begitu brutal menyerang lawan politik.
Tentang inilah saya mau cerita. Di twitter seorang sahabat saya, melihat gambar yang berisi kutipan (atau pertanyaan?) menarik dari Gus Mus.
Apakah tidak cukup dengan membuktikan kehebatan diri dan memuji diri sendiri, mengapa harus juga merendahkan orang lain?
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Berikut alasan mengapa metode tersebut tidak elok.
Kedua, jika dengan kampanye negatif kita berhasil membuat calon lain terlihat buruk, bukankah itu artinya kita tidak unggul? Kita hebat karena bersaing dengan orang-orang yang buruk. Maka seandainya menang, kemenangan itu tentu saja tidak memuaskan. Tidak layak dirayakan. Minus malum dan malu-maluin.
Ketiga, ketika kita sedang menuding orang lain sebagai orang yang salah, ribuan orang yang mendengar sebenarnya sedang berpikir bahwa kita tidak lebih hebat dari orang yang kita tuding. Misalnya, kita bilang, “Jangan memilih si A karena program-program yang dibuatnya bohong dan sulit diwujudkan.” Di saat yang sama orang-orang menunggu dengan pikiran, “Kalau demikian, program apa yang baik yang kau tawarkan?”
Kelima, begini. Hanya orang lemah yang berharap agar orang lain terlihat lemah.
Atas semangat-semangat itulah saya beranggapan, banyak tim komunikasi politik di Indonesia ini yang tidak cerdas. Sebuah alasan yang cukup mengapa banyak masyarakat juga menjadi tidak cerdas dalam berpolitik.
Saya beranggapan bahwa tugas tim putih adalah mengkampanyekan kehebatan calonnya dan tugas tim hitam adalah membuat lawan politik terlihat buram. Seandainya benar bahwa dua tim besar itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi keberadaannya, maka tentu saja menarik untuk bertanya: seberapa besar energi tim putih di sekitar kita?
Kampanye tim putih nyaris tak terdengar di negeri ini. Seluruh materi kampanye atau komunikasi politik menjelang Pilpres atau pemilihan apa saja hanya berisi kalimat-kalimat menyerang lawan. Ada calon mencium kuda, ada calon tak beragama, dan sebagainya dan sebagainya. Mamamia e.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Serangan terhadap agama mendapat perhatian dari kolumnis terkenal Indonesia Goenawan Mohamad. Di twitternya, penulis Catatan Pinggir di Tempo ini berkicau:
“Untuk menyerang lawan, haruskah kita menyebut dia ‘bukan Islam’? Seakan-akan ‘bukan Islam’ berarti cacat.”
Menjual produk yang tidak unggul adalah investasi buruk untuk bisnis. Karena, kau hanya tinggal punya satu harapan dan mendoakannya. Semoga produk sejenis yang dibuat oleh pihak lain tidak lebih baik dari produk saya yang tidak unggul ini. Ini adalah cara paling rendah dan tingkat kemampuan bertahannya juga mungkin rendah.
Tentang memilih produk, tentu saja saya SEPAKAT menolak produk yang BERBAHAYA. Sayangnya, konsentrasi ‘produsen lain’ juga ikut-ikutan terseret pada produk lawan yang oleh publik dianggap berbahaya.
Akibatnya jelas, produsen lain itu tadi lupa menjelaskan tentang hal baik yang bisa diperoleh khalayak dari produknya itu. Sehingga alasan khalayak memilih produknya itu juga menjadi rendah: asal tidak memilih produk berbahaya. Alasan itu tentu saja tidak cukup menjawab kebutuhan kita pada hadirnya produk yang unggul.
Saya mengusulkan: harus ada gerakan bersama menolak kampanye hitam dalam bentuk apa pun apalagi dalam bentuk murahan seperti: memasang foto beberapa tokoh publik yang sedang mencium istrinya sementara seorang lagi mencium kuda.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Misalnya calon beristri, ke mana-mana harus jalan dengan istrinya. Tidak harus bicara bahwa dia mencintai istrinya. Tunjukkan bahwa kau bisa berjalan bersama dengan istrimu dengan mesra, sehingga calon tidak beristri atau yang jarang berjalan bersama istrinya akan dipersepsikan negatif.
Bagi saya ini hitam terutama ketika itu dilakukan saat kita tahu bahwa saingan kita tak sering bersama istri atau tak punya istri. Misalnya memang istri adalah salah satu komoditi politik. Duh. Kita merendahkan perempuan.