Kampanye Tim Putih Nyaris Tak Terdengar

Dalam dunia politik, ada dua bagian besar yang sama-sama disebut tim. Bagian pertama bernama tim bertahan, dan yang kedua adalah tim menyerang. Di film-film Holywood, ‘yang begitu-begitu’ sangat jelas ditunjukkan. 

kampanye tim putih nyaris tak terdengar
Contoh materi kampanye yang salah. Hoax!

Kampanye Tim Putih Nyaris Tak Terdengar

Di Indonesia, peran tim hitam dan tim putih kerap samar. Yang menyerang kadang-kadang menjadi pemain bertahan, yang bertahan sesekali ngotot menyerang. Jangan heran kalau timnas kita sering terlihat kurang terkoordinir. Lha, politisi dan timnya kerap begitu e. Bagaimana suda?

Saya sendiri cenderung menyebut nama Tim Putih untuk yang bertahan–tugas mereka adalah mengampanyekan kandidatnya sekaligus menyiapkan jawaban atas serangan terhadap kandidat mereka, dan Tim Hitam untuk mereka yang begitu brutal menyerang lawan politik.

Catat. Kampanye politik itu bisa begitu kejam membongkar hal-hal pribadi. Film tentang John McCain dan Sarah Palin di Pemilu Amerika adalah satu dari beberapa film yang dengan jelas menggambarkan bagaimana politik itu sangat kejam: menyerang ruang privat. Kita bisa menjadi sangat jengah. 
Di negeri kita sendiri, rasa-rasanya, tim hitamlah yang berkuasa. Maka betapa buruklah wajah politik di negeri ini karena para politisi lantas terbaca sebagai sekumpulan para pendosa dengan dosa paling sedikit, dan bukannya sekumpulan orang dengan keunggulan yang lebih banyak. Ckckckck.
Baca juga: Hitung Harga Otak Anda Sekarang

Tentang inilah saya mau cerita. Di twitter seorang sahabat saya, melihat gambar yang berisi kutipan (atau pertanyaan?) menarik dari Gus Mus.

Apakah tidak cukup dengan membuktikan kehebatan diri dan memuji diri sendiri, mengapa harus juga merendahkan orang lain? 

Rasa-rasanya, ini persis dengan keluhan tentang betapa buruknya cara kita menjual ‘produk’ pada hari-hari terakhir ini. Setiap penjual merasa, menjelek-jelekkan produk saingan adalah strategi terbaik agar produk mereka sendiri diminati khalayak. Saya selalu merasa itu kebodohan.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Berikut alasan mengapa metode tersebut tidak elok.

Pertama, yang seharusnya dikampanyekan adalah keunggulan calon yang kita usung. Dengan menempatkan calon kita pada posisi tinggi, secara otomatis calon lain akan dipersepsikan lemah. Tentu saja tergantung seberapa hebat komunikasi politik yang dibangun dalam ‘penjualan’ itu.

Kedua, jika dengan kampanye negatif kita berhasil membuat calon lain terlihat buruk, bukankah itu artinya kita tidak unggul? Kita hebat karena bersaing dengan orang-orang yang buruk. Maka seandainya menang, kemenangan itu tentu saja tidak memuaskan. Tidak layak dirayakan. Minus malum dan malu-maluin. 
Seperti menyaksikan kemenangan Manchester United atas sebuah klub tarkam di kampung saya di Rawuk – Kolang atau di Paurundang – Rego. Apa yang harus dirayakan?

Ketiga, ketika kita sedang menuding orang lain sebagai orang yang salah, ribuan orang yang mendengar sebenarnya sedang berpikir bahwa kita tidak lebih hebat dari orang yang kita tuding. Misalnya, kita bilang, “Jangan memilih si A karena program-program yang dibuatnya bohong dan sulit diwujudkan.” Di saat yang sama orang-orang menunggu dengan pikiran, “Kalau demikian, program apa yang baik yang kau tawarkan?” 
Nah, ketika tidak ada program yang lebih baik yang kita tawarkan (dan saya yakin memang tidak ada ketika konsep dasar kampanye kita adalah menyerang lawan), maka kami yang mendengar akan bilang: Lha… kok gini kampanyenya?

Kelima, begini. Hanya orang lemah yang berharap agar orang lain terlihat lemah.

    Baca juga: Inilah Empat Kesalahan Dasar Media Massa Indonesia

    Atas semangat-semangat itulah saya beranggapan, banyak tim komunikasi politik di Indonesia ini yang tidak cerdas. Sebuah alasan yang cukup mengapa banyak masyarakat juga menjadi tidak cerdas dalam berpolitik. 

    Saya sesungguhnya telah diingatkan bahwa dalam dunia politik, sudah jadi rahasia umum bahwa tim kampanye dibagi dalam dua kelompok besar yakni tim putih dan tim hitam. Sebenarnya saya tidak suka istilah ‘rahasia umum’. Kalau rahasia kenapa diketahui umum?

    Saya beranggapan bahwa tugas tim putih adalah mengkampanyekan kehebatan calonnya dan tugas tim hitam adalah membuat lawan politik terlihat buram. Seandainya benar bahwa dua tim besar itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi keberadaannya, maka tentu saja menarik untuk bertanya: seberapa besar energi tim putih di sekitar kita?

    Kampanye tim putih nyaris tak terdengar di negeri ini. Seluruh materi kampanye atau komunikasi politik menjelang Pilpres atau pemilihan apa saja hanya berisi kalimat-kalimat menyerang lawan. Ada calon mencium kuda, ada calon tak beragama, dan sebagainya dan sebagainya. Mamamia e. 

    (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

    Serangan terhadap agama mendapat perhatian dari kolumnis terkenal Indonesia Goenawan Mohamad. Di twitternya, penulis Catatan Pinggir di Tempo ini berkicau: 

    “Untuk menyerang lawan, haruskah kita menyebut dia ‘bukan Islam’? Seakan-akan ‘bukan Islam’ berarti cacat.” 

    GM mestilah kesal, seperti juga saya. Bayangkan, sudah kampanyenya hitam, materinya kuadrat hitam pula. Bermaksud menyerang lawan, di saat yang sama juga ‘menyerang’ agama lain. Sebagai orang yang ‘bukan Islam’ saya tentu saja berhak tersinggung dengan materi seburuk itu. Memangnya kenapa kalau bukan Islam? Tetapi sudahlah. Saya tidak sedang ingin membahas sisi ini. 
    Menarik melihat cara sederhana Gus Mus memandang soal ini. Tidak cukupkah menjual keunggulan diri? 
    Saya pikir seharusnya cukup jika memang kita merasa kita benar-benar memiliki keunggulan. Soal terbesar adalah apakah kita benar-benar memilikinya. Keunggulan itu. Jika tidak, tentu saja berbahaya.

    Menjual produk yang tidak unggul adalah investasi buruk untuk bisnis. Karena, kau hanya tinggal punya satu harapan dan mendoakannya. Semoga produk sejenis yang dibuat oleh pihak lain tidak lebih baik dari produk saya yang tidak unggul ini. Ini adalah cara paling rendah dan tingkat kemampuan bertahannya juga mungkin rendah. 

    Baca juga: Adil itu Interpretatif

    Tentang memilih produk, tentu saja saya SEPAKAT menolak produk yang BERBAHAYA. Sayangnya, konsentrasi ‘produsen lain’ juga ikut-ikutan terseret pada produk lawan yang oleh publik dianggap berbahaya.

    Akibatnya jelas, produsen lain itu tadi lupa menjelaskan tentang hal baik yang bisa diperoleh khalayak dari produknya itu. Sehingga alasan khalayak memilih produknya itu juga menjadi rendah: asal tidak memilih produk berbahaya. Alasan itu tentu saja tidak cukup menjawab kebutuhan kita pada hadirnya produk yang unggul. 

    Begini. Benarkah calon yang akan kita pilih adalah calon yang benar-benar kita anggap tepat atau justru karena calon yang lain kita anggap buruk karena pengaruh komunikasi politik dari tim hitam? 
    Jika alasan kita masih sama, maka bertahun kemudian cara mereka berkampanye juga akan tetap sama. Menjelek-jelekkan lawan. Dan kita memilih orang yang kejelekannya paling sedikit. Akhirnya kita tidak akan pernah berjuang untuk menjadi unggul, atau mencari calon yang sangat unggul. Kita tinggal berharap semoga yang lain lebih jelek dari kita. Harapan yang rendah. 
    Saya mengusulkan: harus ada gerakan bersama menolak kampanye hitam dalam bentuk apa pun apalagi dalam bentuk murahan seperti: memasang foto beberapa tokoh publik yang sedang mencium istrinya sementara seorang lagi mencium kuda. 
    Kita juga harus berhenti menyebarkan fitnah tentang agama seorang calon yang juga menyebabkan munculnya persepsi bahwa di luar agama tertentu orang tersebut menjadi tidak benar. Karena rasanya itu adalah bentuk paling murah dari sebuah kampanye hitam dan bentuk murah tersebut hanya bisa dihasilkan oleh orang-orang yang dibayar murah. 
    Bahkan ketika harus melakukan kampanye hitam, sesungguhnya setiap orang diberi peluang untuk menciptakannya dengan cara yang elegan. Bermain mempengaruhi alam bawah sadar. 
    (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

    Misalnya calon beristri, ke mana-mana harus jalan dengan istrinya. Tidak harus bicara bahwa dia mencintai istrinya. Tunjukkan bahwa kau bisa berjalan bersama dengan istrimu dengan mesra, sehingga calon tidak beristri atau yang jarang berjalan bersama istrinya akan dipersepsikan negatif.

    Bagi saya ini hitam terutama ketika itu dilakukan saat kita tahu bahwa saingan kita tak sering bersama istri atau tak punya istri. Misalnya memang istri adalah salah satu komoditi politik. Duh. Kita merendahkan perempuan. 

    Sesungguhnya, ada hal menarik lain yang muncul di pentas politik negeri ini pada hari-hari terakhir ini. Rata-rata mereka memakai baju putih, meski mereka tahu sasaran mereka adalah membuat orang lain tampak hitam,

    Salam
    Armin Bell
    Ruteng – Flores, 26 Mei 2014

    Catatan menarik lainnya dalam tema serupa dapat dilihat di tautan ini.

    Tanggapan Anda?

    Scroll to Top
    %d bloggers like this: