kebaikan-kebaikan yang ternyata tidak terlampau baik

Kebaikan-Kebaikan yang Ternyata Tidak Terlampau Baik

Arundathi Roy bilang bahwa pandemik ini adalah portal . Kira-kira berarti: wabah yang menakutkan ini semacam gerbang kepada hal-hal lain—kebaikan-kebaikan—setelah masa yang sulit ini.


1 Mei 2020

Di masa seperti sekarang, pada saat Covid-19 sedang melanda, kebaikan-kebaikan telah tumbuh. Seumpama cendawan di musim hujan. Apakah semua kebaikan itu baik? Semua orang berlomba mewartakan hal-hal baik. Agar Covid-19 tidak merajalela. Sebab telah sangat banyak banyak korban.

Ini semacam perlombaan di banyak sisi. Di sisi satu, peserta lomba adalah sesama orang baik yang, meski tidak diniatkan, tampak berusaha saling mendahului—menjadi yang paling cepat mengabarkan informasi yang benar seputar pandemi ini. Corona tetap bergerak di lintasan saat itu. Atau, saat ini? Hendak ‘mengalahkan’ siapa saja. Di sisi yang lain lagi, ada peserta lomba lainnya. Orang-orang baik yang melawan (sebut saja) orang kurang baik.

Orang kurang baik yang saya maksud adalah mereka yang seolah tanpa beban membanjiri linimasa media sosial dengan pesimisme: mereka tidak yakin bahwa segala usaha dan kerja keras selama ini akan mampu membawa bangsa ini keluar dari badai. Saya tahu, ketakyakinan itu bukan tak berdasar. Ada data. Juga fakta. Sebaran virus yang cepat, kegamangan di berbagai level pengambil kebijakan, angka kematian yang lebih tinggi dari angka kesembuhan, fasilitas yang minim ada di berita-berita. Tapi kan tir harus diumbar dengan caption yang mengolok-olok to?

Namun begitulah. Perlombaan di sisi terakhir tadi berlangsung agak panas. Sebab diwarnai aksi saling sikut. Ada unsur lain juga. Politik. Orang baik mengingatkan tentang pentingnya membangun kekuatan bersama melalui sebaran optimisme. Yang (saya sebut) kurang baik tadi merasa bahwa yang mereka lakukan adalah membangkitkan kesadaran; dengan menebar fakta dan data cum pesimisme? Please…

BACA JUGA
Membedakan Kritik dan Ungkapan Sakit Hati Bertopeng Kritikan

Baca juga: Setelah Covid-19, Apakah Kita Sanggup Lebih Sering Diam?

Lalu, masih di lintasan yang sama, ada peserta yang lain. Para penyebar hoax. Ada yang niatnya baik tapi bohong. Ada yang tidak tahu bahwa dia meluaskan kebohongan. Ada yang dengan sengaja berbohong untuk kepentingan sempit: tenar, dapat uang dari click and share. Ada juga yang pakai motif super-personal. Suasana lomba amburadul.

Untunglah, di samping para pewarta yang berlomba tadi, ada orang-orang yang tetap bekerja. Dengan niat yang tulus. Bekerja sungguh-sungguh. Begitu sungguh-sungguhnya sampai mereka lupa bahwa yang mereka lakukan justru berpotensi bahaya: ada yang berdoa bersama-sama agar badai ini berlalu di tengah imbauan agar kita menjaga penjarakan fisik, dan ada yang positif Covid-19 tetapi tetap jalan-jalan (seperti) hendak mengatakan pada dunia bahwa virus ini tidak berbahaya.

Ada yang menyemprot seluruh kota dan manusia dengan disinfektan padahal menurut WHO praktek penyemprotan desinfektan yang meluas dengan alkohol di udara, di jalan, kendaraan, maupun pada manusia perlu dihindari karena kandungan dalam desinfektan berpotensi membahayakan manusia. (Baca di sini untuk konfirmasi soal bahaya disinfektan). Ada yang melarang orang mudik sebab berpotensi membawa serta virus itu kampung mereka padahal yang pulang kampung itu hendak mengungsi karena hidup di kota menjadi sulit di masa virus ini; susah cari makan.

Lihat betapa ramainya (baca: kacaunya) kita! Dengan kebaikan-kebaikan yang kita usahakan. Kebaikan-kebaikan yang ternyata tidak terlampau baik. Duh …

Begini. Saya percaya bahwa setiap keterlibatan kita dalam karut-marut situasi ini berdasar satu: kita ingin semua segera membaik. Tetapi oleh karena pengetahuan yang tak cukup serta pertimbangan yang tak panjang, tanpa sadar, kita justru membuat semuanya memburuk. Lalu bagaimana?

BACA JUGA
Tentang Mesianisme dan Bangsa Penyemai Rindu yang Menolak Saudaranya Sendiri

Nah… Ini dia. Bagaimana?

‘Di rumah saja’ adalah ajakan yang baik sekali. ‘Di rumah saja dan membiarkan pihak berwenang bekerja’ adalah sikap yang baik. Di rumah saja, membiarkan pihak berwenang bekerja dengan baik, dan kita tidak nyinyir’ adalah perbuatan baik yang bisa kita lakukan sekarang ini. ‘Di rumah saja, membiarkan pihak berwenang bekerja dengan baik, kita tidak nyinyir, dan mulai lebih serius bertanggung jawab pada keselamatan masing-masing dengan mematuhi protokol kesehatan’ adalah perbuatan yang lebih baik lagi.

Baca juga: Main Bola Paskah

Di atas semuanya, respect adalah yang paling penting: Hargai bahwa pemerintah bekerja terbata-bata. Sebab tak pernah menduga bahwa dunia akan segawat sekarang. Siapakah yang sungguh-sungguh bersiap menghadapi musuh yang tak pernah ada dalam cerita dan tak tampak wujud? Ya. Hargai itu. Sambil berharap agar ‘barang ini’ tidak dipakai untuk pencitraan. Uhukkk.

Hargai bahwa beberapa orang tetap harus ada di jalanan. Sebab mereka harus mencari makan. Tak perlu dimaki-maki. Diingatkan saja. Bahwa mereka rentan. Dan untuk itu mereka harus patuh aturan. Protokol kesehatan sudah beredar luas. Agar kita tak jadi carrier. Atau korban. Hargai bahwa pengetahuanmu terbatas. Karena itu jangan memaksakan diri. Untuk bicara. Atau melakukan sesuatu. Sebab ini berat. Dan tak semua bisa jadi Google. Atau Dylan.

Hargai bahwa tidak setiap niat baik harus ditunjukkan dengan menyingsingkan lengan baju. Kadang bahkan harus pakai baju lengan panjang. Piyama. Lalu bisa rebahan saja. Iya to? Sebab selalu ada kebaikan-kebaikan yang tidak terlampau baik. Sebab memang semua sedang terbalik. Yang dulu dianggap malas, sekarang pahlawan. Yang dulu kuper, sekarang super. Sebab kadang harus begitu. Sebab goyong royong, sekarang, berarti jangan terlalu sering berkumpul. Agar musuh tak dapat inang.

BACA JUGA
Menteri Muhadjir Membuat Narasi Baru Melawan Protes NTT, Kita Berkelahi

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell 

Lihat juga serial “Kota Ruteng dalam Koper”

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *