mesianisme dan bangsa penyemai rindu yang menolak anaknya sendiri

Tentang Mesianisme dan Bangsa Penyemai Rindu yang Menolak Saudaranya Sendiri

Saya menulis catatan ini dengan pertanyaan yang menyertai proses menulis; kapan ratu adil datang?


Beberapa tahun silam saya berkesempatan mengikuti gelaran Borobudur Writers and Cultural Festival. Tema yang diangkat pada BWCF itu adalah Ratu Adil.

Saya senang sekali karena para pembicara banyak bercerita tentang konsep pembebasan, mulai dari Yunani Kuno, janji-janji hidup indah yang datang melalui kisah sebuah kapal yang membawa alat-alat pertanian–penduduk yang percaya dan mendaftarkan diri dengan penuh harapan malah berlutut di ujung senapan karena dianggap mengikuti organisasi terlarang–, kisah tentang Koreri dari Biak, dan macam-macam cerita lainnya.

Secara keseluruhan, kisah-kisah tentang pembebasan selalu berhubungan dengan harapan; cala di’a diang, cala jari tai (semoga hari esok menjadi baik, hari kemudian semua terwujud).

Tentang Koreri misalnya, ada keyakinan bahwa sang pembebas yang turun dari langit sedang dalam perjalanan ke barat dengan misi mensejahterakan wilayah barat itu. Suatu saat akan kembali ke timur, melakukan misi yang sama dan lebih hebat.

Di Manggarai, saya juga mendengar kisah serupa; akan ada seseorang yang datang dari langit dan ‘membebaskan’ (bahan-bahan itulah yang saya pakai untuk cerpen”Lelaki Pertama dari Langit”).

Kita barangkali mengenal mesianisme. Secara umum, contoh-contoh yang saya sebut di awal tulisan ini adalah situasi per situasi. Secara konsep, mesianisme berhubungan dengan harapan akan hadirnya sosok pembebas atau penyelamat manusia.

Ada situasi penderitaan yang dialami, dan seseorang akan hadir membebaskan kita. Kata mesianisme disebut-sebut berasal dari bahasa Ibrani Masyiakh yang berarti yang diurapi. Percakapan tentang mesianisme ini berhubungan erat dengan agama-agama–dengan penamaan yang berbeda.

Pada agama-agama tertentu, percakapan tentang mesianisme ini telah selesai (telah datang) dan tugas para pemeluknya adalah melanjutkan kerja serupa dengan yang ditunjukan penyelematnya. Pada agama-agama lain, kehadirannya sedang dinantikan.

BACA JUGA
Ratna Sarumpaet, dari Seniman ke Aktivis ke Bandung dan Dipermalukan Generasi Z

Apakah ada bedanya? Secara iman/keyakinan tentu berbeda, tetapi secara perasaan manusiawi, barangkali tidak berbeda. Pergumulan harian dengan penderitaan, keinginanan untuk hidup lebih baik dari hari ini, bla bla bla, membuat harapan akan datang pembebas membuat hampir semua orang menunggu.

Kisah tentang harapan akan hadirnya pembebas ini lalu dipakai sebagai bahan kampanye. Ranahnya dipindah ke wilayah politis. Hanya saja, tidak ada kesepahaman tentang ideal pembebas ini: seperti apa wajahnya, dari suku atau agama mana, dan kriteria-kriteria lain. Akibatnya, selalu ada penolakan.

Ada minimal dua alasan penolakan pada pembebas di wilayah politik: Pertama, calon pembebas hanya unggul dalam janji tetapi letih-lemah-lesu-loyo ketika harus bermain membuktikan, dan kedua, calon pembebas sangat mumpuni tetapi kandas di kriteria suku, agama, ras, bentuk wajah, dan terutama dia hanya seorang dari antara kita.

Tentang yang pertama tentu saja harus ditolak, tetapi yang kedua? Mari berdebat!

Tetapi sampai kapan? Kita telah menyaksikan beberapa tokoh dengan kerja yang baik dan diyakini mampu menjadi pembebas, diadili warganya sendiri.

Kita barangkali adalah gerombolan yang meyakini bahwa pembebas harus datang dari langit. Kalau dia adalah seorang dari antara kita, dia bukan pembebas.

Paling aktual adalah tentang Ahok; dia seorang dari antara kita, bagaimana dia mampu membebaskan? Hal-hal yang dia lakukan selama ini hanya boleh dilakukan oleh seseorang yang akan datang di kemudian hari. Ahok tidak boleh hidup sekarang jika ingin membebaskan. Dia harus hidup di hari-hari yang akan datang, sesuatu yang harus tetap dalam kerinduan.

Kita adalah orang-orang yang merindukan Mesyiakh yang harus memenjarakan Ahok karena hadir terlampau cepat menjawab rindu. Yang sedang kita inginkan adalah situasi tepat waktu. Ini adalah waktu yang tepat memenjarakan Ahok dan menyemai rindu yang tak selesai tentang munculnya sang pembebas.

BACA JUGA
Kita Punya Pesta Demokrasi itu Begitu; Tidak Perlu Umbar Pujian atau Cari Muka

Tulisan ini saya buat dengan sedih yang aneh. Demikianlah tulisan ini menjadi aneh juga dan saya harus menutupnya dengan pertanyaan paling aneh yang dapat saya lontarkan saat ini: rindu seperti apa yang sedang kita semai? Sampai kapan? Tentang mesianisme dan bangsa penyemai rindu yang menolak saudaranya sendiri, mungkin tidak sepenuhnya tentang kita tetapi tentang orang-orang yang ah… sudahlah…

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Image dari Blogger.com.

Bagikan ke:

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *