Ini adalah bagian pertama dari dua tulisan Yeris Meka tentang kunjungannya ke Larantuka, sebuah kota yang terletak di ujung timur Pulau Flores, Ibukota Kabupaten Flores Timur.
Oleh: Yeris Meka
“Oa Lina” adalah judul lagu karangan Om Wens Kopong. Oa Lina… o Oa Lina… Lagu itu hits sekali. Favorit. Sering dimainkan di tenda-tenda pesta. Dulu.
Lebih bahagia lagi kalau kami ditawarkan jagung titi. Oleh-oleh khas Nagi. Tak beda dengan jagung goreng dari dapur sendiri, tetapi yang ini dititi. Dan didatangkan dari Larantuka. Tambahan pula, yang membawa sedang bersemangat membagikan kisahnya yang masih hangat tentang Larantuka. Kami makan. Jagung titi dan ceritanya. Lahap. Sampai habis.
Saya belum sekalipun menjejak kota itu. Memang, Umsini, pada suatu libur Lebaran 2017 berlabuh di Larantuka. Memuntahkan penumpangnya di situ dan melaju lagi. Menantang arus Gonzalu, memutari Tanjung Bunga menuju Maumere. Tetapi saya tetap ada di kapal sebagai salah seorang penumpang Umsini yang baru akan berlabuh di kota lain. Hanya mencium aroma Larantuka dari pelabuhan. Dari dek atas kapal. Melihat.
Ile Mandiri kekar berdiri tenang. Lorong-lorong kota, gereja-gereja, juga rumah-rumah penghuni Larantuka kota Reinha sedang dijalari gerimis. Kau ingin jelajahi tapi tujuanmu bukan di sini. Macam kebelet pipis tapi yang bisa dilakukkan hanya meringis. Tahan!
Kapan main ke Nagi e, kaka? Aiiis…! Itu Oa pu suara ka?
Dan akhirnya, 11 April 2018, saya ke Larantuka. Benar-benar menjelajahinya setelah rindu yang lama tertahan. Oleh beberapa hal, saya berada di kota kecil ujung timur Flores ini. Kota yang sudah lama menghuni daftar rencana “kunjungan”; dan rindu, sudah begitu membuncah. Kejutan dan hadiah-hadiah kecil ini patut dirayakan. Tetap menyenangkan setelah dikurung hal-hal yang selalu terlalu biasa. Ini baik, daripada duduk-duduk saja.
Prosesi Tuan Ma sudah lewat dua minggu ketika saya menjejakkan kaki di kota ini pertama kali. Peziarah yang sempat mengikuti prosesi sakral ini mungkin sudah tuntas membagi-bagi pengalamannya. Kepada sanak keluarga dan kenalannya di seantero jagad. Namun tetap saja kota ini mengundang minat.
Baca juga: Mora Masa: Menabung Rumput, Menuai Rupiah
Setiap orang punya cara berbeda menikmati sesuatu. Untuk saya, kalau tidak sebagai peziarah di Tri Hari Suci, menjadi pengunjung di hari-hari biasa tidak mengapa. Tetap akan ada hal yang bisa diceritakan.
Setelah mendarat di Gewayantana, perjalanan dilanjutkan ke barat. Sekitar lima kilometer menuju jantung kota, Ibukota Flores Timur: Larantuka. Kota pesisir ini mengandung seribu pesona. Untuk wajah baru macam saya ini, hiruk-pikuk transportasi laut sudah cukup mencuri perhatian. Bikin kagum.
Saban hari, penakluk arus selat Gonzalu berlalu lalang dari Larantuka via Pante Palo menuju Tanah Merah, Adonara. Lalu lintas perahu kecil dan sedang, mengantar penumpang dan sepeda motor dari dan ke seberang. Bagi saya bukan pemandangan yang biasa.
Tentang Gonzalu, nama ini sudah terkenal. Terlebih karena prosesi laut tahun 2014 meminta korban. Sebagian menganggap sebab ada kesalahan teknis, tetapi tidak sedikit yang percaya bila laut marah. Konon ada proses yang salah. Gonzalu marah.
Okay. Next.
Ada lagi pelabuhan penyeberangan antar pulau di Waibalun yang cukup sibuk. Tidak sepi. Melayani rute antar pulau di Flores Timur: Larantuka-Adonara-Lembata-Kupang. Selain ferry yang dikelola ASDP, ada juga kapal-kapal penumpang yang dikelola orang dalam, melayani rute Larantuka-Solor-Adonara sampai Lembata.
Pada hari libur penumpang lebat. Kalau jadi orang Larantuka bisa pilih. Misalnya tiket pesawat mahal, pakai jasa angkutan laut. Ada ferry yang nanti bersandar di Waibalun. Bila tidak, pakai jasa kapal penumpang sejenis Umsini yang nanti bersandar di pelabuhan laut Larantuka. Di Posto. Semuanya di radius dalam kota. Berdekatan.
Kekaguman itu bisa lebih berlipat seandainya saya datang pada prosesi Samana Santa. Sayang, belum sekalipun saya ikut. Rasa menyesal menjalar. Ada yang saya lewatkan. “Ke Larantuka, tapi Samana Santa su lewat, buat apa kau ini?” Sampai akhirnya diskusi-diskusi kecil membuat saya merasa keliru menghukum diri dengan cara itu; menyesali saya yang absen dari prosesi suci itu.
“Mengikuti prosesi sakral itu tanpa ujud dan niat, percuma. Jangan ikut ramai saja. Dengan atau tanpa pengunjung, prosesi akan tetap jalan. Ini tradisi!” Kata pengemudi perahu. Suaranya saya dengar jelas sebelum ditelan ombak Pante Palo. “Kalau sekadar turut ramai, tak usah ikut.” Saya mengamini ini. Sepakat!
Larantuka, Kota Reinha
Aroma laut, lorong kota, dan yang lainnya mungkin sama. Seperti kota-kota pesisir bernama lain di pulau ini. Tetapi cerita yang hidup lalu mengabadi dalam memori kolektif orang Nagi, akan merawat jejaknya sebagai pusat Kerajaan Katolik di Flores.
Membayangkan bagaimana ritus tua Semana Santa dirawat, sulit bagi siapa pun untuk tidak mengakui ketatnya disiplin yang diterapkan demi prosesi laut tersebut. Setidaknya itu cerita yang saya tangkap.
Momen-momen di masa lalu jadi monumen untuk hari ini. Ketika melewati titik tertentu, tidak lagi menjadi hal biasa. Selalu ada cerita kuat. Dari pelabuhan Pante Palo, Kapela Tuan Ma, Kapela Tuan Ana, Kapela Tuan Meninu, sampai arus selat Gonzalu. (Bersambung)
–
5 Februari 2019
Yeris Meka tinggal di Kupang.
Catatan:
Tentang Nama “Kota Reinha”
Larantuka disebut sebagai Kota Reinha (bahasa Portugis) atau Kota Ratu, Kota Maria. Nama ini berasal dari peristiwa lima abad silam, ketika patung Tuan Ma–yang kini diyakini sebagai Bunda Maria milik orang Larantuka–ditemukan oleh seorang anak laki-laki bernama Resiona ketika ia sedang mencari siput di pantai. Patung Tuan Ma diduga berasal dari kapal Spanyol atau Portugis yang terdampar di lokasi itu pada tahun 1510. Tentang hal ini dapat dilihat pada tulisan Samuel Oktora dan Kornelis Kewa Ama di Kompas.com.