Bangsa ini akan memasuki fase penting lima tahunan. Tahun politik. Waktunya memilih pemimpin bangsa. Mengapa kita harus sadar di sepanjang tahun politik itu?
Tahun politik datang lagi. Entah siapa yang pertama kali memakai “tahun politik”—sebagai istilah untuk tahun di mana pemilihan pemimpin dilaksanakan, yang pasti hari-hari terakhir ini, frasa tersebut kerap didengungkan. Entah dalam penyusunan anggaran di pemerintah, entah pada rencana membuka usaha sablon, entah pada usaha mencari kerja atau jodoh.
Kita ramai-ramai memasukkan tahun politik sebagai dasar pertimbangan setiap rencana kegiatan. “Ingat, tahun depan itu tahun politik!” Kalimat seperti itu kerap terdengar. Di rumah-rumah, di kios-kios, di jembatan-jembatan, di mimbar-mimbar rumah ibadah.
Yang paling sibuk tentu saja penyelenggara pemilu. KPU namanya. Komisi Pemilihan Umum. Dari pusat sampai ke daerah. Frekuensi kerja mereka berlipat ganda. Sebagian dari mereka kadang berharap bisa menjadi amoeba. Agar mampu membelah diri. Sehingga bisa beraktivitas di tempat yang berbeda dalam waktu bersamaan. Honornya (jika dapat) disesuaikan dengan kemampuan membelah diri #halaaah.
Baca juga: Atas Nama “People Change”, Kandidat dan Timses Memeluk Mesra Mantan Musuh Mereka
Kesibukan itu juga tampak ke ruang publik melalui berbagai bentuk. Yang paling sering terdengar adalah kampanye agar semua yang telah layak memilih berdasarkan kategori usia atau status (yang sudah kawin boleh ikut pemilu) harus menggunakan hak pilih mereka. Ya. Meski itu hak, tetapi harus digunakan. Ini konsepnya bagaimana? Bunyi kampanye ini macam-macam. Mulai dari yang paling standar seperti: Gunakan Suara dengan Bijak; Jangan Biarkan Orang Lain Menentukan Nasibmu; 5 Menit Untuk 5 Tahun; Ayo Mencontreng; sampai yang aneh seperti Lebih Baik Mencoblos daripada Tidak Mencoblos; Ikut Pemilu adalah Latihan Memilih Pasangan Hidup dengan Tepat; Ikut Pemilu atau Nasibmu Akan Pilu; Jika Jodoh di Tangan Tuhan Biarlah Pemimpin di Tanganmu.
Intinya, kita semua diajak untuk ikut menggunakan hak kita sebagai wajib pilih. Ini bikin saya bingung. Saya punya hak dan hak itu adalah kewajiban memilih. Ini hak atau kewajiban? Jangan ikut bingung. Ada penjelasannya.
Wajib pilih adalah predikatmu saat ini. Predikat itu mengandung hak dan kewajiban di dalamnya. Haknya memilih dan hak dipilih, sedangkan kewajibannya adalah gunakan hak itu dengan baik a.k.a harus ikut memilih. Eh? Berarti tetap itu kewajiban dan bukan hak to? Lalu haknya di mana? Jangan bilang haknya ada di sepatu para perempuan cantik yang ke pesta dengan percaya diri setelah latihan tobelo dan kairatu berulang-ulang. Itu hak sepatu. Dan hak sepatu tidak sama dengan hak memilih dan dipilih. Hak sepatu itu sama dengan tumit. Seperti tumit saya yang lupa dicukur. Ooops. itu kumis, sodara-sodari.
Mari kita tinggalkan soal kebingungan antara hak dan kewajiban itu dan melangkah bersama menuju altar gereja mengucapkan janji perkawi… eh, maksudnya, menuju ke bahasan paling penting dari seluruh catatan kurang penting ini.
Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024. Tahapan ini telah diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024. Peraturan yang sama menetapkan tanggal 27 November sebagai waktu pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Sebagai penyelenggara, KPU akan menyampaikan ajakan agar seluruh wajib pilih menggunakan haknya dalam Pemilu. Situasi itu menjadi cermin betapa pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam mengubah wajah bangsa ini ke depan. Memilih pemimpin yang benar berarti menyelamatkan masa depan. Begitu kira-kira dasar pertimbangannya. Tetapi sayang, pada beberapa titik, ajang berharga bernama Pemilu ini seperti sebuah tontonan kekerasan. Mengalahkan sinetron-sinetron dalam negeri yang berkutat dengan intrik-intrik memperebutkan harta, pangkat, dan ayah. Ini payah.
Baca juga: Orang Bodoh Tidak Perlu Ikut Pemilu Kecuali Atas Desakan Perut
Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa orang hebat yang siap bertarung di Pemilu, juga tim suksesnya, malah sibuk ‘menjual’ keburukan lawan. Strategi kampanye murahan ditonjolkan tanpa malu-malu. Opini buruk dikampanyekan dengan terbuka. Seolah itu jauh lebih penting daripada menonjolkan program dan memaparkan visi misi.
Ketika ada calon yang memaparkan program dengan cantik dan manis, calon lain sibuk mencela program tersebut dengan melihat secara teliti titik-titik kelemahannya. Akibatnya bisa ditebak. Ada tim sukses yang memanfaatkan seluruh waktu kampanye hanya untuk mencela calon lain. Lupa bahwa sebenarnya kampanye ideal adalah kesempatan memengaruhi pilihan khalayak dengan jalan memaparkan program-program unggulan. Bukan menjelekkan calon lain.
Ada kalimat begini (dan saya suka betul): “Don’t Ever Think About Your Enemy. Win Your Self.” Kalau tetap berkonsentrasi menjual keburukan paket lain, maka engkau sebenarnya sedang mengajak masyarakat untuk memilih the best among the worst. Betapa sial nasib kita ke depan. Selalu minus malum. Bikin malu saja. Well, pola kampanye kita selama ini memang agak kurang cerdas. Untuk tidak menyebutnya buruk. Tetapi kita yang di Ruteng harus tetap memilih. Menentukan siapa yang berhak memimpin kita. 5 menit untuk 5 tahun, lebih baik mencoblos daripada tidak mencoblos. Oh… Tahun Politik!
Apa itu Pemimpin?
Kepemimpinan adalah suatu aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Karena itu seringkali kepemimpinan ditautkan dengan manajemen. Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi.
Pemimpin, bertanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah; setiap orang mmenjalankan kepemimpinannya secara berbeda.
Secara umum atribut personal atau karakter yang harus ada atau melekat pada diri seorang pemimpin berdasarkan beberapa sumber adalah:
- Mumpuni, artinya memiliki kapasitas dan kapabilitas yang lebih baik daripada orang-orang yang dipimpinnya;
- Juara, artinya memiliki prestasi baik akademik maupun non akademik yang lebih baik dibanding orang-orang yang dipimpinnya;
- Bertanggung Jawab, artinya memiliki kemampuan dan kemauan bertanggungjawab yang lebih tinggi dibanding orang-orang yang dipimpinnya;
- Aktif, artinya memiliki kemampuan dan kemauan berpartisipasi sosial dan melakukan sosialisasi secara aktif lebih balk dibanding oramg-orang yang dipimpinnya; dan
- Walaupun tidak harus, sebaiknya memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi dibanding orang-orang yang dipimpinnya.
Yang terakhir tadi berhubungan dengan upaya pemberantasan korupsi. Dasar harapannya adalah kalau pemimpin sudah kaya maka dia tidak akan sibuk dalam urusan memperkaya diri. Ya, itu harapannya.
Tetapi sebagaimana harapan kita agar malam Minggu turun hujan sehingga tidak perlu sibuk menjawab pertanyaan mengapa malam mingguan di rumah saja, toh, sering juga kita bertemu dengan malam Minggu yang cerah. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa kita di rumah saja karena jomblo. Harapan soal pemimpin tidak memperkaya diri juga kerap bertemu malam minggu yang cerah #apasih?
Baca juga: 10 Tipe Manuasia yang Muncul Setelah Pesta Demokrasi Bernama Pemilu
Mari lanjut! Soal hak (atau kewajiban?) memilih tadi, wajib pilih akan menghadapi situasi yang sedikit sulit. Sekian banyak calon, baik langsung atau melalui tim suksesnya, akan datang dan menjual diri/calonnya dengan berapi-api. Begitu hebatnya sampai kita terbakar. Lalu memilih. Lalu menyesal. Yang menyesal biasanya karena kemudian sadar bahwa pilihannya salah. Lalu mulai cerita fitnah sana-sini. Karena itulah saya menawarkan beberapa hal berikut yang dapat dipakai sebagai panduan memilih pemimpin, yakni:
Pilih dengan sadar. Jangan memilih dalam keadaan setengah sadar atau pingsan karena obat bius berupa uang atau janji akan mendapatkan hadiah proyek. Kenali para calon dengan baik, mulai dari sejarah kepemimpinannya, sejarah keberpihakannya, dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa.
Pilih dengan bebas. Jangan memilih ketika tanganmu diikat oleh kalung emas pemberian salah seorang tim sukses. Itu membelenggu. Dasar memilih yang demikian membuatmu tidak punya ruang kritis ketika pilihanmu telah menang. Think about it!
Pilih dengan cerdas. Bisa juga dibaca sebagai pilih calon yang cerdas. Kebodohan tidak pernah menyelamatkan. Ya! Keluguan barangkali bisa (sesekali jika ditambah dengan keberuntungan), tetapi kebodohan tidak. Seorang yang bodoh membangun pondasi rumahnya di atas pasir. Bisa bayangkan akibatnya? Para gadis cerdas meletakkan dian di atas gantang, juga menyiapkan minyak cadangan. Itu cerdas. Akan menyelamatkan.
Tiga hal itu tidak semata ditujukan kepada para wajib pilih sebagai bekal di te-pe-es, tetapi terutama kepada calon tim sukses. Sebelum memutuskan akan menjadi tim sukses calon tertentu, pastikan bahwa Anda dalam keadaan sadar, bebas, dan cerdas. Tetapi kalau tujuan menjadi tim sukses adalah karena motif ekonomi, maka satu-satunya panduan yang dipakai adalah: perut. Selamat berkarya.
–
15 Februari 2023
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
–
Tulisan ini pertama kali diunggah pada tanggal 25 Oktober 2018. Hari ini mengalami perbaikan seperlunya dan di-repost. Gambar dari Republika.co.id.