Tulisan ini adalah pengembangan materi berjudul “Dunia Cerita di Manggarai dari Lisan ke Lisan”. Materi ini disampaikan pada salah satu sesi Bincang Tematik Flores Writers Festival 2021: Tanah, Kenangan akan Kenangan.
19 Juli 2022
Di Manggarai, mencari ruang di mana seseorang membagikan cerita secara lisan sesungguhnya bukan hal yang sulit. Di semua tempat di daerah ini berlaku: di mana dua-tiga orang berkumpul, di situ ada cerita. Berkembang juga stereotipe: orang Manggarai senang diskusi, diskusi sampai malam, diskusi sampai lupa ‘kita diskusi apa su ini tadi?’.
Kondisi bahwa sebagian besar masyarakat Manggarai memeluk agama Katolik berikut tradisi-tradisinya, saya kira, berkontribusi pada terbentuknya ‘masyarakat yang bercerita’. Mari kita lihat beberapa hal berikut:
- Pengenalan kisah-kisah kitab suci kepada anak-anak dilakukan dengan pola bercerita. Gurugama/katekis, pastor, suster, atau agen pastoral lainnya beberapa buku ‘kisah kitab suci dalam gambar’ tersedia—juga dalam bahasa Manggarai;
- Kotbah/homili pastor/katekis pada misa/ibadat Mingguan, sejauh yang saya ingat—dan saya sukai metode ini—disampaikan dengan pola bercerita/mendongeng/naratif;
- Ngaji Giliran (doa rosario dari rumah ke rumah setiap Mei dan Oktober) menjadi ruang berbagi cerita. Pun halnya katekese;
- Kunjungan para misionaris membawa film/slide ke kampung-kampung (saya ingat seorang pastor, Pater Voyensiak—penulisan nama ini barangkali keliru—sering melakukannya).
Lalu apakah itu berarti bahwa gerejalah yang menjadi alasan utama Manggarai menjadi masyarakat yang bercerita? Tentu tidak persis demikian. Gereja Katolik barangkali menegaskannya. Atau membuatnya lebih terstruktur (mengikuti pola-pola cerita/dongeng universal). Sebab sesungguhnya, jauh sebelum 1912, tahun di mana 8 orang Manggarai dibaptis menjadi Katolik di Jengkalang Reo dan tercatat sebagai pembaptisan pertama di Manggarai, nasihat-nasihat kepada orang Manggarai yang biasanya berbentuk go’et dijumpai dalam pelbagai kegiatan/ritus adat. Di sana, tua adat menyampaikan doa-doa kepada leluhur—juga berisi harapan, pengakuan, dan lain-lain—secara lisan dan teatrikal.
Ungkapan-ungkapan populer di Manggarai seperti nai ca anggit, tuka ca léléng (menceritakan kekompakan), muku ca pu’u néka woléng curup, téu ca ambo néka woléng jaong, ipung ca tiwu néka woleng wintuk (ajakan persatuan), ca pujut kali nuk, ca dako kali anor (tentang orang-orang yang kurang bijaksana), wakak betong asa, manga waké’n nipu taé (tentang sesuatu yang tidak akan pernah mati—perilaku/tokoh/akar budaya), dan yang lainnya dengan mudah ditemukan dalam percakapan-percakapan kebudayaan atau cerita di Manggarai.
Terdapat babak selanjutnya yang membuat tradisi asli Manggarai dan tradisi Gereja Katolik Manggarai melapangkan jalan kita menuju masyarakat yang bercerita. Babak itu bernama inkulturasi. Ya, inkulturasi gereja dan budaya Manggarai (salah satu hal yang diperjuangkan Mgr. Wilhelmus van Bekkum pada Konsili Vatikan II) membuka banyak jalan pada berkembangnya ‘masyarakat yang bercerita’.
Para misionaris peneliti menggali cerita-cerita sastra lisan yang berkembang di Manggarai dan kemudian membukukannya. Pada bagian pendokumentasian ini, kita lalu menemukan pola universal, atau setidaknya mirip, dalam cerita rakyat Manggarai yang biasa didongengkan Nenek/Endé Lopo sebelum kita tidur dengan cerita yang terdapat di daerah atau bangsa lain.
Kita pasti sudah mafhum dengan cerita-cerita rakyat yang berhubungan dengan terbentuknya sumber atau mata air panas. Cerita-cerita itu umumnya berisikan tokoh-tokoh: orang berkebutuhan khusus, anjing peliharaan, dan api. Legenda terbentuknya sumber air panas dengan pola yang sama juga ada di Manggarai yakni tentang Ulumbu, Sano Nggoang.
Selain itu, kisah Pondik (tokoh dongeng paling populer di Manggarai) berada pada skema yang sama dengan Abu Nawas, atau Kabayan, atau tokoh-tokoh dengan karakter serupa di tempat-tempat lain.
Kisah Timung Ta’a dan Timung Té’é mau tidak mau mengingatkan kita pada persaingan Bawang Merah dan Bawang Putih.
Bahkan, dalam salah satu buku dongeng Manggarai, terdapat kisah yang sama persis dengan dongeng Hansel and Gretel, salah satu dongeng paling populer karya Brothers Grimm. Kondisi demikian, saya kira, memudahkan seorang Manggarai memasuki ‘dunia cerita’ yang lebih luas.
Ada dua akibat dari situasi ini. Pertama, membantu proses produksi cerita dari seorang pengarang Manggarai. Sebab sejak kecil, mereka telah memahami pola universal (eksposisi, konflik, leraian). Kedua, seorang pengarang akan mengalami kesulitan memproduksi cerita yang sangat Manggarai. Maksudnya, jika latar ceritanya dipindahkan ke daerah lain, cerita itu akan tetap jalan. Tentu saja tidak ada yang salah dengan dua akibat itu, tetapi akan ditemukan masalah pada ‘kekhasan’—untuk tidak menyinggung karya sastra etnografi (sesuatu yang sebaiknya dibicarakan secara khusus pada kesempatan yang lain).
Masalah lain yang juga kerap ditemukan—jika dianggap masalah–adalah masuknya pengaruh cara tutur lisan dalam hasil karya tulis seorang pengarang. Beberapa novel/cerpen yang dihasilkan pengarang-pengarang Manggarai mengalami soal itu. Perpindahan antarbabak yang mengejutkan, cerita selingan yang terlampau banyak di tengah upaya pengembangan karakter/kisah utama, dan hal-hal lainnya—yang biasa ditemukan dalam cerita-cerita lisan orang Manggarai, yang mungkin menyulitkan orang-orang di luar Manggarai mengakses karya tersebut, cukup sering ditemukan dalam karya-karya pengarang Manggarai.
Untuk kondisi seperti itu, yang diperlukan adalah ruang-ruang diskusi karya yang banyak dan kritis, publikasi hasil penelitian tentang kebudayaan Manggarai, keterbukaan atas kritik, perjumpaan (seperti festival ini) yang menjadi ruang belajar yang lain.
Materi yang sama dapat juga disimak di video berikut ini!
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell