Pada bagian kedua catatan tentang kunjungannya ke ujung timur Flores, Yeris bercerita tentang perjalanan ke Adonara dan kelelawar yang terbang di Nuha Pnike. Selamat menikmati.
Oleh: Yeris Meka
Kami berdiri di pelabuhan Pante Palo. Melempar pandang ke seberang. Pasir putih di pesisir pulau Adonara terlihat jelas. Dekat saja. Setelah Larantuka, tidak lengkap rasanya tidak ke sana. Saya pikir begitu. Mengapa harus ke Adonara? Ya, pergi saja. Karena saya, belum pernah ke sana. Hahahaha. Peace! Damai. Santai! Seperti di Pantai. Pantai Palo.
Adonara. Pulau seribu kelapa.
Itu kesimpulan saya ketika pesawat kami berada tepat di atas pulau itu, sebelum mendarat di Gewayantana, Larantuka. Barisan kelapa tertata rapi, seumpama tentara apel pagi. Btw, cerita tentang Larantuka dapat disimak di sini: Ke Timur Flores: Larantuka, Kota Reinha.
Hari ini ke Adonara. Kamis, 12 April 2018.
Pukul delapan pagi kami sudah di pelabuhan. Hendak menyeberang. Ke seberang. Pakai perahu motor. Juga bawa sepeda motor, plus lima liter bensin tambahan. Di Adonara tak ada terminal pengisian bahan bakar. Ini bekal. Sekalipun tangki motor yang akan dikendarai sudah terisi penuh, jaga-jaga saja.
Petualangan dimulai. Cerita tentang ganasnya arus selat Gonzalu masih hangat. Terngiang. Saya takut. Gugup. Untung saja pengemudi perahu meyakinkan. Gonzalu sedang dalam tenangnya hari itu. Penyeberangan yang cukup ramai, secukupnya menjadi bukti ketenangan Gonzalu. Kami jalan.
Di tengah selat dari arah Pante Palo, sebelum melaju sepanjang pesisir Adonara, perahu harus memutar seratus delapan puluh derajat. Mengakali arus supaya tidak terseret jauh. Saya angkat topi untuk para penakluk Gonzalu dalam situasi ini. Entah karena anak gunung memang jarang dalam keadaan macam begini, atau ketenangan dan kharisma sang pengemudi telah lahir sejak hari pertama mereka terciprat ombak Gonzalu. Ah… Tapi tetap saja. Saya kagum. Wajib.
Okay. Setelah kurang lebih lima belas menit penyeberangan, kami tiba. Dua penumpang dan satu sepeda motor. Biaya angkutan kategori reguler, satu penumpang lima ribu rupiah. Sepeda motor dua puluh ribu rupiah. Kami bayar dengan tarif normal. Total tiga puluh ribu rupiah dibayar tunai. Sah.
Saya resmi jadi ae wu’u. Bahasa Adonara yang berarti orang baru yang menjejakkan kakinya pertama kali di pulau ini,” kata kawan perjalanan saya, Eghy Ola. Ia menjelaskan dengan detail bagaimana mengucapkan kata itu dalam aksen setempat. “Diucapkan seperti agak sengau. Semacam ada -ng di kata wu’u. Begitu!” Katanya. Saya sepenuhnya mengiyakan. Beliau ini tulen Adonara, orang baik, mengetahui banyak tentang Adonara.
Baca juga: Utan Wun Lolon, Ritual Pesta Kacang di Kampung Adat Lewotolok Lembata (Bagian 1)
Lanjut!
Dari sini, dari Tanah Merah, Adonara Barat ini, kami akan ke Witihama, Adonara Timur, kota kecamatan di sekitar kaki Gunung Ile Boleng, melintasi trans Adonara. Pukul sembilan kami sampai Kolilanang. Masih separuh perjalanan ke Witihama, jalan agak curam dan berbelok tajam. Perlu hati-hati. Sampai Witihama kira-kira pukul sepuluh. Waktu mepet, perlu segera bergegas lagi bila berniat mengunjungi beberapa tempat.
Terlebih dahulu kami ke Waiwerang. Alasannya sama: saya belum pernah ke sana. Sekadar untuk menyaksikan bagaimana suasananya. Setelahnya, pantai yang sudah cukup terkenal di sana kami sambangi. Pantai Watatona, juga Ina Burak. Dua destinasi wisata ini tidak berjauhan. Berada di satu garis pantai. Punya karakter sama, berpasir putih. Watatona dalam bahasa setempat bisa diartikan batu yang berbentuk kapal. Sedangkan Ina Burak berarti gadis putih yang cantik.
Pukul dua siang kami tancap gas. Pulang. Kembali ke Witihama, kami akan ke Kampung Meko. Sekitar dua puluh kilo dari Witihama. Tapi, butuh empat puluh lima menit dari Witihama untuk sampai ke kampung Meko. Go!
Akses masuk kampung ini belum sebaik di ibukota kecamatan. Kami harus menyusuri jalan tani. Masih dari tanah. Pada banyak bagian malah sudah terkikis erosi. Petualangan di medan begini memang butuh mesin sepeda motor prima, juga tekad dan stamina, juga kegilaan. Kami tahu ini akan bikin lelah. Tapi ada harga yang mesti dibayar. Jika ada penganut kepercayaan pembeli adalah raja, maka saya mengimani tidak ada raja yang kabur setelah tahu harga. Itu!
Kami lewat kebun-kebun jagung dan kacang hijau. Setelahnya padang stepa. Kami tiba Kampung Meko pukul empat sore. Warga sedang rapat persis di jalan utama masuk kampung. Aroma ikan kering langsung bisa ditangkap hidung dari sini.
Kami lewat. Warga mungkin sudah menduga bahwa kami pengunjung biasa yang hendak ke pulau pasir, Nuha. Kami mencari tahu pada warga bagaimana ke pulau pasir putih itu? Syukurlah yang kami butuhkan didapat. Perahu, juga pengemudi yang akan mengantar kami ke sana. Om Musa namanya. Warga kampung yang kebetulan tidak ikut rapat. Kami diantar ke Nuha, pulau pasir seluas sepertiga lapangan bola yang muncul kala laut surut.
Baca juga: Di Langa Bajawa, Orang Muda Menata Masa Depan Wisata Desa
Bila sedang ramai, kata Om Musa, untuk sampai ke sana penumpang perahu dikenakan biaya lima belas ribu rupiah. Lima menit sampai. Petang itu Om Musa dibayar lima puluh ribu rupiah. Pergi pulang. Let’s go! Sebentar lagi matahari terbenam. Senja mungkin cantik dinikmati dari sana.
Nuha dalam bahasa setempat bisa berarti tempat. Pulau. Ada beberapa di sana. Pulau-pulau kecil yang dekat kampung Meko: Nuha Pasir Putih, Nuha Penatan, Nuha Watanteni, Nuha Gambus, Nuha Pnike. Pnike berarti kelelawar.
Setelah matahari tenggelam sepenuhnya kami pulang. Dan benar saja, kelelawar dari Nuha Pnike berarak menuju pulau. Ratusan jumlahnya.
Cerita Om Musa, Dusun Meko masuk wilayah administrasi Desa Pledo, Kecamatan Witihama. Penduduk kampung adalah orang-orang dari suku Bajo. Sekitar lima puluh kepala keluarga, hari-hari bekerja sebagai nelayan, semua muslim. Sebuah mushola sudah ada di sana. Tempat anak-anak belajar shalat dan mengaji. PLN belum masuk. Penerangan masih mengandalkan sebuah genset dengan jam operasi terbatas.
Om Musa juga nelayan. Punya perahu motor sendiri. Berbahan viber. Mesinnya diesel. Berbahan bakar solar. Dicat biru. Ya, yang kami tumpangi ini.
“Ini juga karena dapat kredit dari bank,” katanya. Kekesalan turut mengalir dari ceritanya. “Nelayan di sini tidak semua punya perahu. Orang gunung malah punya. Sumbangan perahu untuk kelompok nelayan, pernah ada. Tapi malah nama pengelola orang dari gunung. Perahunya sudah tidak beroperasi lagi. Rusak. Kecewa betul.”
Saya yang awam dengan geliat kehidupan orang laut selalu hanya mendengar saja. Kekesalan Om Musa, sampai proses nelayan di sini membuat ikan kering. Dijual ke pasar di Witihama. Pada pukul dua pagi sudah harus bersiap ke sana. Mobil-mobil pick up punya jadwal tetap. Bila telat, ketinggalan angkutan.
Untuk pengepul ikan kering, kampung Meko pasti masuk daftar kunjungan. Kualitas ikan di sini bagus. Harganya lebih murah, tanpa pengawet, langsung dari nelayannya. Tangan pertama. Saya membeli beberapa. Di rumah Om Musa, setelah sedikit tawar menawar dengan istrinya, Bibi Fatima.
“Kalau beli banyak, lebih murah lagi,” kata Bibi Fatima.
“Sudah, Bibi. Ini berat. Nanti besok kalau kurang, beli lagi di Witihama.”
Hari sudah gelap. Kelelawar dari Pnike sudah terbang ke pulau yang jauh, hendak cari makan. Kami pulang. Kembali ke Witihama. Sampe sini dolo jo!
–
11 Februari 2019
Yeris Meka tinggal di Kupang.
Gambar dari Good News From Indonesia
Baik baik ya kak penduduk sana dan welcome banget dengan wisatawan. Mendengar cerita tentang flores selalu mendendangkan kearifan mereka, jadi pingin solo travelling kesana.
Begitulah. Ayo ke Flores. Kalau ke Ruteng, bisa mampir ke tempat saya 😀