Tahun 2017 ini Tour de Flores kembali digelar. Sebelum pelaksanaannya (saya yakin akan bertahan beberapa saat setelah iven ini selesai), perdebatan di media sosial terjadi dengan hebat. Apa hubungannya dengan nasib seekor kambing?
Tahun 2017 ini adalah kali kedua Tour de Flores digelar. Seperti tahun pertama pelaksanaannya, ada tiga kubu opini yang muncul: kubu pro, kubu kontra, dan kubu apasih?.
Kubu pro adalah mereka yang setiap saat muncul di permukaan media sosial, berkampanye tentang Tour de Flores yang hebat, yang mendatangkan manfaat maksimal, yang membuat Flores mendunia.
Kubu kontra adalah golongan di seberang yang lain. Tour de Flores pada dua kali penyelenggaraan ini memang ‘menggunakan’ dana APBD dari kabupaten-kabupaten yang dilalui sekaligus menjadi tempat start dan finish setiap etape. Ini merugikan! Kata menggunakan saya beri tanda petik karena soal inilah yang persis menjadi titik pro dan kontra itu muncul.
Yang pro bilang, itu dana dipakai untuk melancarkan gelaran ini: menjamu tamu Tour de Flores sekaligus meninggalkan kesan baik di hati mereka–sebuah investasi jangka panjang dalam hubungannya dengan promosi pariwisata.
Yang kontra merasa dana beratus-ratus juta rupiah itu terbuang sia-sia karena membiayai pembalap yang hanya melintas beberapa detik di hadapan penonton yang setia menanti berjam-jam di pinggir jalan. Tesis yang paling sering muncul dari kelompok ini adalah: kalau dana itu dipakai untuk belanja pembangunan di desa-desa, manfaatnya akan lebih terasa.
Ada ratusan status di facebook yang bicara tentang pro dan kontra Tour de Flores ini. Serentak sebagian besar pengguna media sosial bikinan Mark Zuckerberg itu terbelah ke dalam dua agama itu. Agama pro dan agama kontra. Tipikal!
Tahun 2016 silam, ketika Tour de Flores digelar pertama kali, saya ada di kelompok pro. Yang terpikirkan saat itu adalah pertama, kebesaran Tour de France yang semoga menular ke Flores, dan kedua, Flores akhirnya berkesempatan masuk ke dalam radar liputan media-media arus utama. Untuk alasan kedua, yang menjadi dasar pertimbangan adalah betapa minimnya liputan tentang Flores di media arus utama, padahal keseringan muncul di media arus utama adalah salah satu faktor persebaran ‘kue pembangunan’.
Secara sederhana begini kira-kira:
Ada Tour de Flores. Banyak wartawan datang. Selain membuat reportase tentang jalannya kegiatan, naluri Om dan Tanta wartawan dorang membuat mereka melakukan liputan lain. Katakan tentang jalan yang rusak, atau bandara yang tidak ada air bersihnya, atau apalah. Oleh redaktur, liputan tersebut dimunculkan. Banyak pembaca, pendengar radio, pemirsa televisi yang berbincang tentang hal tersebut. Perbincangan kemudian melibatkan pengambil kebijakan. Lahirlah keputusan: perbaiki jalan yang rusak bla bla bla.
Itu yang sederhana. Ada juga yang rumit. Begini:
Waktu itu saya berpikir, Tour de Flores tidak semata bicara tentang olahraga dan pariwisata.
Ada urusan perjuangan di dalamnya; tentang seorang anak muda yang mengayuh sepeda agar menjadi yang terdepan–waktu-waktu yang dia habiskan untuk berlatih, bahwa prestasi hanya bisa diraih melalui kerja keras.
Ada urusan ekonomi di sana; tentang para pengrajin yang memproduksi banyak kerajinan lokal dan menjajakannya di tempat pameran. Di Flores Timur dan beberapa tempat, ada kegiatan pameran menjelang dan setelah para pembalap melintas di wilayah mereka.
Ada urusan pelajaran di ajang itu; tentang begitu banyak anak muda yang belajar fotografi memanfaatkan momen itu untuk meningkatkan kemampuan mereka mengendalikan kamera canggih, menentukan sudut pengambilan gambar, dan lain sebagainya.
Ada urusan kebersihan jalan di sana–yang ini jelas; karena ada tamu lewat, jalan-jalan dibersihkan. Kenapa baru dibersihkan saat ada Tour de Flores? Itu juga yang mau saya tanya. Kenapa? Selain bahwa pemerintah memang seharusnya bertanggung jawab atas kebersihan jalan, bukankah kita juga seharusnya bertanggung jawab tidak membuang sampah di sembarang tempat selama ini? Kenapa tidak ada lagi kegiatan desa membersihkan jalan umum? Nah, sampah-sampah yang kita buang selama ini di pinggir jalan adalah ‘yang dibersihkan’ itu. Dan baiklah berpikir tentang skala prioritas ketika melihat ini. Ah, rumitlah pokoknya.
Masih ada banyak “hal rumit’ lainnya yang saya pikirkan ketika itu yang membuat saya terjun dalam diskusi pro kontra Tour de Flores dan mengambil posisi pro. Siapa yang menang? Tidak ada. Karena diskusi di facebook itu seperti itu, tanpa pemenang tetapi melahirkan kebencian antara satu dengan yang lain.
Lalu tahun ini saya ada di posisi yang mana? Sebelum membahas di kelompok mana saya berada, saya mau mengulas satu kubu lain yang selalu muncul dalam kasus di mana ada pro dan kontra.
Kubu itu bernama kubu apasih?. Pakai hestek #apasih? jika perlu. Ini kubu yang tidak terlalu ambil pusing. Ketika linimasa ramai percakapan tentang Tour de Flores, anggota kubu apasih? ini memilih bicara tentang hal yang lain. Misalnya tentang sepatu baru menjelang tahun ajaran baru, atau kisah cinta lama yang tiba-tiba muncul lagi, atau tentang surat cinta untuk Starla yang tetap cantik rambut panjangnya meski nanti tak hitam lagi. Pokoknya mereka tidak ambil pusing.
Kubu apasih? ini keren karena mereka tidak mudah diterpa angin. Kadang bukan karena tidak peduli tetapi karena terheran-heran. Ini orang-orang dorang bekelai, mereka tau betul soal atau hanya biar keliatan update e? Begitu pikir mereka. Sehingga kadang kita melihat, dalam setiap share tentang Tour de Flores, anggota kubu apasih? ini malah menuliskan komentar yang sama sekali tidak berhubungan, seperti: Apa kabar sekarang? Atau, Sudah dapat kontrakan baru ka? Atau, Kapan pesta nikahnya kita punya teman angkatan e? Pokoknya yang begitu itu ka. Mereka merasa Tour de Flores tidak lebih penting dari kabar, atau kontrakan baru, atau pernikahan teman mereka.
Toh, sesungguhnya perdebatan di media sosial tentang pro kontra Tour de Flores akan segera berlalu dan kita akan kembali berkutat dengan soal kita masing-masing termasuk bagaimana menulis surat cinta untuk Starla atau temannya Starla atau teman dari temannya Starla, in case kita putus asa karena Starla sudah ada yang punya halaaah.
Lalu izinkan saya menjelaskan tentang posisi saya pada Tour de Flores tahun 2017 ini. Apakah itu penting untuk diketahui? Tidak juga. Tetapi berhubung ini blog pribadi, maka saya tulis saja.
Sesungguhnya sikap saya pada ajang seperti Tour de Flores selalu sama. Saya setuju. Saya juga setuju bahwa beberapa konsekuensi pembiayaan bersama adalah kemestian pada hal-hal begini. Tour de Singkarak, Tour de Banyuwangi, dan beberapa lagi di Indonesia, situasinya mirip-mirip.
Tahun 2014, Tour de Singkarak dibiayai demikian:
- Pemerintah Pusat: 6 Miliar Rupiah (untuk biaya oficial, helikopter, tenaga kesehatan dan hadiah-hadiah). Ps: Ini di luar belanja perbaikan infrastruktur.
- Pemerintah Provinsi Sumatera Barat: 3 Miliar Rupiah.
- Pemerintah Kabupaten (18 Kabupaten yang dilalui): 250 Juta – 1 Miliar Rupiah per Kabupaten/Kota (penggunaannya sama seperti pada Tour de Flores dan lainnya).
Tour de Singkarak dimulai tahun 2009 dan kini masuk dalam kelas 2.2 kalender Persatuan Balap Sepeda Internasional (UCI) (Baca info selengkapnya di: Ini Biaya Penyelenggaraan Tour de Singkarak 2014). Informasi ini penting sekali diketahui agar ada pengertian bersama, bahwa butuh waktu bertahun-tahun agar sebuah iven tercatat sebagai salah satu ajang resmi internasional.
Lalu ada pertanyaan: “Apa sih pentingnya tercatat di UCI?” “UCI itu apa?”
Pertanyaan seperti itu hemat saya mengandung paling tidak dua hal yang tida baek di dalamnya. Pertama, diskriminasi olahraga. Mengapa tidak bertanya sama pada apa itu FIFA? Apa itu IBF? Apa itu F1? Kedua, ketidaktahuan nan akut. Untuk ini solusinya cuma satu. Cari tau ka, Om. Please.
Tetapi sesungguhnya, dalam situasi yang paling aktual, pada Tour de Flores tahun 2017 ini saya ingin sekali masuk dalam kubu apasih?. Alasannya, saya tidak melihat bahwa kita yang terlibat berapi-api dalam perdebatan di media sosial tentang Tour de Flores sungguh-sungguh mengerti dan menjadikan perdebatan sebagai ajang mencari titik temu. Tidak. Kita tentu saja tidak semulia itu.
Kalau dari awal sudah tidak setuju, mau sebagus apa pun penjelasan tentang Tour de Flores, kita tetap tidak setuju. Kalau posisi kita ada di pihak pro, maka semua usul saran perbaikan termasuk agar Tour de Flores ini tidak ‘menyengsarakan’ APBD akan kita anggap angin lalu.
Kita sehat?
Bukankah sebaiknya perdebatan berujung pada solusi untuk kemaslahatan bersama? Atau kita memang jago bekelai semua sehingga bertahan di posisi yang paten selalu? Situ Barry Prima, ka? Atau Adven Bangun?
Sesungguhnya tulisan ini hanya ingin mengajak kita untuk bercakap-cakap dengan lebih baik tentang sebuah iven. Iven apa saja selalu melahirkan pro dan kontra, tetapi kalau pro dan kontra hanya berujung pada pro dan kontra lainnya di tahun kemudian, kita adalah orang-orang yang ingin tinggal di tempat.
Dalam konsep paling ideal, pro dan kontra haruslah berujung pada solusi, jalan tengah, kompromi. Seperti seorang pemilik kambing dan calon pembeli kambing. Pemilik kambing bilang harga kambingnya tiga juta rupiah karena itu dia punya kambing, setengah mati dia urus itu kambing. Calon pembelinya bilang, harga yang cocok 750 ribu rupiah karena harga pasaran hanya di sekitar angka itu. Kalau keduanya bertahan di angka masing-masing, nasib seekor kambing barangkali akan menua dan memutih rambutnya seperti bayangan tentang Starla dalam lagu itu (haisss, Starla lagi). Untunglah ada kompromi. Kambing dihargai 1 Juta Rupiah. Adil. Ya bagi penjual, pembeli, juga kambing itu #eh.
Di media sosial telah bertebaran usul saran tentang Tour de Flores. Berbagai perbaikan dilakukan pada penyelenggaraan tahun kedua berdasarkan ‘diskusi keras’ pasca-perhelatan tahun 2016 silam. Yang paling menarik menurut saya di Kabupaten Manggarai tahun ini adalah seribu penari yang sae di lapangan Motang Rua. Itu seksi sekali. Tahun depan bisa dirangkai dengan pameran pembangunan, misalnya.
Tetapi itu karena saya setuju dengan Tour de Flores. Yang tidak setuju tentu saja bertahan dengan pendapatan, eh, pendapat masing-masing. Maka seraya mengucapkan selamat kepada para pemenang dan seluruh panitia–terutama panitia lokal–saya mengajak kita untuk menanti dengan cemas perdebatan tak berujung kita di Tour de Flores selanjutnya.
Yang sesungguhnya menyenangkan adalah kenyataan bahwa kita yang bekelai di media sosial, orang lain yang mengambil hikmahnya, dan kita bermusuhan dengan teman medsos yang tidak kita kenal. Menyenangkan bukan? Kita bermusuhan bahkan sebelum sempat berkenalan. Ole aeh… sehat ko?
Bai de wei, tahun ini, untuk meresmikan posisi saya di kubu apasih?, saya membuat status yang sama sekali tidak berhubungan dengan Tour de Flores. Ketika para pembalap tiba di Ruteng sekitar pukul 11.00 Wita hari Selasa, 18 Juli 2017, saya malah menulis status tentang kegiatan saya di SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng.
Begini bunyinya: Hari ini dapat kesempatan berbagi tentang “Bijak Menggunakan Social Media” pada kegiatan MOS di SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng. Salah satu poinnya adalah: jangan mengeluh di media sosial. Tidak banyak yang benar-benar peduli karena yang ada adalah orang-orang yang senang berdebat atau mereka yang tak sengaja menitipkan ‘like’ atau ‘wow’.
Semoga saya resmi dianggap sebagai anggota kubu apasih?. Ada yang mau bergabung di kubu ini? #eh #apasih?
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, izinkan saya mengusulkan agar panitia, pemerintah daerah, sponsor, dan seluruh pihak yang terlibat dalam perhelatan Tour de Flores ini membuat evaluasi dengan baik sekaligus membuat laporan publik yang transparan tentang kegiatan ini.
—
18 Juli 2017
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Gambar dari The Jakarta Post.
Salut. Tulisan ini sarat sinisme berkelas. Pas dialamatkan kepada “Mereka yang pingin berjalan jauh. Tapi, diujung keinginan tersebut, lebih nyaman berjalan di tempat”
Mantap bang
Terima kasih, Apol.Semoga kita tidak senang jalan di tempat e hehehe
Terima kasih, Ridwan Alia