illo djeer di double doors dan panggung panggung lainnya blog ranalino

Illo Djeer, Musisi Asal Manggarai di Double Doors dan Panggung-Panggung Lain

Catatan tentang Illo Djeer ini seharusnya sudah saya tulis sejak lama. Sejak saya berniat memakai blog ini sebagai ruang menceritakan Ata Manggarai.


Ruteng, 15 April 2019

Setelah beberapa urusan selesai, dua adik saya datang menjemput. Dari hotel, kami sempat cari makan malam dan beberapa buku, lalu ke Double Doors. Itu di Jakarta Barat. Di sana Illo Djeer punya jadwal tampil solo malam itu. Main gitar kustik sambil nyanyi sambil pakai topi. Eh? Musisi asal Cewonikit, Ruteng, Manggarai, NTT itu baru saja hendak memulai penampilannya ketika kami tiba. Selasa, 9 April 2019.

Ketika kami bertiga, saya dan dua adik saya, pasutri muda yang tinddal di barat Jakarta masuk, Illo Djeer sedang mengurus kabel dan beberapa hal lain di panggung. Sendiri. Tidak ada yang bantu. Karena dia akan tampil solo. Saya sudah bilang tadi to? Di lantai dua itu kami mencari tempat duduk, dapat yang paling dekat panggung.

Illo Djeer menyapa. “Selamat malam semua. Juga selamat malam buat Armin Bell yang jauh-jauh datang dari Ruteng.” Nama saya disebut di salah satu tempat hangout asyik di ibukota. Oleh musisi yang telah lama saya kagumi karya-karyanya. Di situ saya merasa asyik. Sedikit merinding. Untunglah tidak sampai kehilangan sandal seperti nasib Habiburokhman saat mendengar pidato Prabowo. Lagi pula, saya pakai sepatu. Halaaah.

Illo Djeer memulai penampilannya malam itu dengan “(The Long to Be) Close to You” milik The Carpenters. Sudah jelas saya ambel suara dua ketiga gitaris Krontjong Toegoe itu tiba di bagian: So the sprinkled moon dust in your hair of gold and starlight in your eyes of blue. Dan fals. Saya. Bukan musisinya. Syukurlah peristiwa fals itu terjadi dalam hati saja. Ada bir. Satu pitcher sumbangan dari meja sebelah. Indah.

BACA JUGA
Lipooz, dari Ruteng ke 16 Bar ke Hip Hop sampai Tuhan Suruh Berhenti

Sehari sebelumnya, kami sepesawat. Dari Labuan Bajo. Illo Djeer ‘pulang’ ke Jakarta setelah mengisi panggung milik KPU Kabupaten Manggarai di Lapangan Motang Rua Ruteng, hari Sabtu, 6 April 2019. Dia diundang sebagai artis. Mengisi salah satu kegiatan jelang Pemilu 2019. Ajakan agar jangan golput. Sesuatu yang jarang. Bukan kampanye tolak golput-nya. Tapi panggung kami di Ruteng diisi oleh artis kami sendiri. Itu jarang. Maka saya senang sekali di Motang Rua malam itu.

Di kursi penonton di lapangan tengah kota Ruteng itu, saya menulis status facebook yang panjang. Tentang terurainya (sebut saja) perasaan inferior kami dalam kesenian; bahwa yang disebut artis harus yang tampil di tivi atau pentas-pentas pencarian bakat. Kehadiran Illo Djeer, orang kami sendiri, di panggung sebesar Motang Rua Ruteng, adalah langkah baru. Artis ibukota yang sering tampil di tivi atau di gosip Lambe Turah, atau artis dangdut dari seberang laut, tidak lagi jadi pilihan. Telah ada penghargaan untuk seniman-seniman Manggarai sendiri yang menginspirasi.

Di Ruteng – Manggarai, sudah sekian lama percakapan tentang ‘kita ambel kita pu panggung sendiri’ ini kami mulai. Sejak merasa bahwa perasaan inferior (baca: merasa artis tivi lebih hebat) ini merugikan dalam banyak hal: 1)berpikir bahwa anak Manggarai jadi seniman bukan pilihan terbaik–padahal seniman itu nuraninya pasti baik, 2)ekonomi yang buruk; uang dari Manggarai untuk orang luar Manggarai karena artis tivi pasti dibayar mahal, 3)seniman Manggarai pasti sulit dikenal di tanahnya sendiri, dan lain sebagainya. Maka kehadiran Illo Djeer sebagai penampil utama di Motang Rua adalah salah satu titik penting.

Baca juga: Lipooz dan MukaRakat dan Percakapan Tentang Para Perantau Digital

BACA JUGA
Menjadi Master of Ceremony atau MC yang Tidak Menyerap Jutaan Cahaya dan Selucunya Saja

Sebelum malam itu, dia dikenal dengan “Lompong Cama”, single yang  hampir saya selalu mainkan di Lumen dan RSPD dulu. Ketika saya seorang penyiar. Beberapa lagu lainnya juga dengan cepat populer di Manggarai. Melalui youtube dan digital tools lainnya. “Rastamangga”, “Molas Sale Mau Pau”, “Mai Sae”, “Congka Chacha”, dan “Wicul”, siapa tidak kenal?

Selain mengeluarkan lagu-lagu yang enak-enak itu, Illo Djeer secara serius menekuni musik sebagai jalan hidup. Dalam beberapa kesempatan ngobrol, saya kerap mendengarnya bercerita tentang pengalaman ngamen musik di awal-awal karirnya.

Bersama Ivan Nestorman, bersama Krontjong Toegoe, dan lain sebagainya. Mengeluarkan album rohani, menggarap ulang album Edy Ngambut, sesekali menangis menulis tentang tokoh-tokoh yang dia anggap penting—tulisannya sangat bagus karena dia pernah jadi jurnalis dan gemar membaca, Illo Djeer tampil juga di panggung-panggung yang jauh. Di Portugal, di Afrika, di Timur Tengah, di Selandia Baru. Illo Djeer hidup dari musik. Dari kesenian. Dunia yang (saya pikir) dicintainya sungguh.

Bagaimana bisa? Konsistensi adalah kata kunci. Di dalamnya ada belajar tanpa henti, percaya diri, terbuka pada kritik, dukungan keluarga, kerja sepenuh hati. Illo Djeer membuktikannya. Seperti juga Lipooz. Ivan Nestorman. Dan orang-orang Manggarai lainnya yang memilih jalur ini sebagai jalan hidup. Lalu kita bagaimana? Bapa-Mama dorang masih merasa bahwa seniman itu baru seniman kalau muncul di tivi dan masuk di instagram Lambe Turah? Atau justru yang konsisten berkarya? Saya pasti memilih yang terakhir. Yang konsisten berkarya.

Pengunjung Double Doors semakin asyik. Berteriak-teriak kegirangan ketika lagu yang mereka minta dimainkan Illo Djeer dengan gayanya sendiri. Pada lagu “Change The World” saya turut bernyanyi. Kali ini tidak hanya dalam hati. Lagu milik Eric Clapton itu saya sukai sekali. Maka saya bernyanyi sepenuh hati setelah segelas penuh bir tandas tanpa jeda. Tetap ambel suara dua. Tidak fals. Pasti karena bir bir yang enak. Terima kasih.

BACA JUGA
KSP Kopdit Mawar Moe Bertumbuh di Tengah Situasi yang (Tetap) Sulit

Baca juga: Sejarah Hashtag atau Tagar dan Pengguna Medsos Kekinian yang Asal Pakai

Ada Gazpar Araja juga di Double Doors malam itu. Musisi asal Manggarai lainnya yang juga mulai konsisten di jalur yang agak membuat banyak orang tua khawatir jika anak-anak mereka menyampaikan itu sebagai cita-cita. Kami bercerita. Saya, Gapak, dua adik saya Jerry dan Elna. Tentang hal yang sama. Konsistensi. Bahwa bakat saja tidak cukup. Bahwa kerja keras dan bertanggung jawab atas pilihan sendiri adalah kemestian. Bahwa hidup bukan semata agar bisa viral. Bahwa kesenian bukan hiburan saja. Dia jalan hidup. Yang dipilih. Yang harus diapresiasi.

Kami pamit dari Double Doors. Ketika melihat saya dan dua adik saya berdiri hendak pergi, Illo Djeer mengucapkan terima kasih. Juga mengatakan kepada pengunjung lain bahwa Armin Bell dari Ruteng adalah seorang penulis. Saya kaget. Aduh! Musisi ini mengenalkan buku saya “Perjalanan Mencari Ayam” kepada semua orang di Double Doors malam itu. Mereka tepuk tangan. Mungkin karena mereka sedang lapar dan menduga bahwa buku saya itu berisi resep aneka makanan rasa ayam. Padahal bukan. Itu buku kumpulan cerpen saya yang kedua. Mau pesan? Halaaaah…

Terima kasih, Kae Illo. Saya sudah di Ruteng ketika menulis ini. Menulis catatan ini dengan penuh syukur. Bertemu dengan orang-orang yang tahu apa yang dipilihnya dan dikerjakannya untuk hidupnya sendiri dan kebahagiaan orang lain.

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Foto dari facebook Illo Djeer .

Bagikan ke:

4 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *