idul adha di hari minggu blogger ruteng ranalino armin bell

Idul Adha di Hari Minggu, dari Gereja Saya ke Masjid

Hari Raya Idul Adha tahun 2019 ini jatuh pada hari Minggu. Saya ke gereja dulu, lalu ke masjid. Begitulah.


Ruteng, 15 Agustus 2019

Saya tinggal di Ruteng. Belum tahu tentang kota kecil di Flores ini? Mampirlah sesekali ke tulisan ini: 10 Plus Satu Hal Paling Diingat tentang Ruteng. Atau jika sempat, datanglah.

Ruteng adalah tempat ini asyik. Terutama dalam soal-soal agama. Atau yang kalian biasa sebut ‘hal toleransi’ itu. Kami asyik sekali. Yang juga asyik adalah berita-berita yang viral itu. Tentang misa pada hari Minggu yang diundur karena pelataran gereja dipakai sebagai tempat beribadah umat Islam yang sedang merayakan Idul Adha 1440 H. Indah sekali, bukan?

Minggu, 11 Agustus 2019 adalah Hari Raya Idul Adha 1440 H. Idul Adha sering juga disebut Hari Raya Kurban. Juga Lebaran Haji. Sebutan yang terakhir saya kenal di Bari dulu. Saya tidak tahu mengapa disebut begitu dan juga tidak merasa harus tahu karena saya selalu senang setiap kali ada orang merayakan sesuatu dan tidak mau terlampau bersibuk diri dengan usaha menjawab pertanyaan mengapa mereka merayakannya dan mengapa menamai perayaan itu demikian?

Seorang teman memilih mengganti sebutan hari ulang tahun dengan “hari yang menyedihkan karena kita semakin tua” dan saya pikir sah-sah saja.

Oh, iya. Saya Katolik. Karena itulah pada Hari Raya Idul Adha tahun ini, yang jatuh pada hari Minggu, saya ke gereja dulu baru ke masjid. Bukan karena ingin dapat jatah daging, tentu saja. Sebuah tugas mengharuskan saya ke sana pada saat hewan-hewan kurban itu disembelih. Tetapi tulisan ini bukan tentang mengapa saya ke masjid. Ini tentang kurban itu.

BACA JUGA
Saya Tidak Jadi Pindah Agama

Baca juga: Koor Misa yang Selalu Bikin Saya Iri dan Merasa Kecil di Kursi Umat

Di Alkitab, ada kisah tentang Bapa Abraham yang berniat mempersembahkan anaknya yang bernama Ishak itu, yang mereka dapatkan pada usia Sarah yang mustahil, kepada Tuhan. Tuhan berbelas kasih dan ‘membatalkan’ niat tulus Abraham yang berlandaskan ketaatan (yang saya anggap) tak masuk akal itu.

Saya lalu ingat masa-masa ketika saya kecil dan merasa permintaan (atau perintah?) bangun pagi dan segera bersiap ke sekolah adalah sesuatu yang tidak masuk akal karena pukul enam pagi adalah waktu yang paling indah untuk terus berada di tempat tidur. Tetapi saya taat saja. Sekolah terus, lalu lulus kuliah, lalu kerja.

Dan, pada Idul Adha tahun ini saya ke Masjid Baiturrahman. Masjid besar di Ruteng, kota kecil dengan seribu gereja ini. Menyaksikan penyembelihan hewan-hewan kurban. Saya sering menyaksikannya. Dan mendengar penjelasan, yang juga telah saya dengar cukup sering, bahwa Hari Raya Kurban adalah kesempatan berbagi kepada orang-orang yang tidak cukup beruntung hidupnya. Sesuatu yang juga tidak masuk akal rasanya, karena siapakah yang benar-benar beruntung hidupnya?

Maksud saya, pikirkan saja, apakah kau benar-benar merasa lebih beruntung dari orang-orang di sekitarmu atau justru lebih sering merasa bahwa rumput tetangga selalu lebih hijau?

Kemudian, setelah hewan-hewan kurban itu disembelih dan saya pulang, dalam perjalanan saya memikirkan bahwa seberapapun tidak beruntungnya saya, selalu ada yang jauh lebih tidak beruntung. Untuk itulah kita wajib berbagi.

Aduh, indah sekali. Bukankah indah kalau kita berhasil bersyukur–dan karenanya rajin beramal–karena hidup kita baik-baik saja hari ini?

Baca juga: Belajar Menulis Pada William Forrester

BACA JUGA
Yubileum, Presiden SBY, dan Celana Goni

Di Manggarai ada ungkapan neka conga bail bokak yang kira-kira dapat diterjemahkan sebagai nasihat untuk ‘omong jangan tinggi-tinggi, jangan anggap remeh orang lain’. Barangkali saja telah disiapkan sebagai isyarat bahwa jangan terlalu sering ‘lihat ke atas’.

Sesekali, memandanglah kau ke bawah. Ke dalam diri? Mungkin. Bahwa, sesungguhnya, dirimu (dengan segala kesombongannya) patutlah kau kasihani pula.

Sampai di sini, saya tidak tahu sesungguhnya mau omong apa. Tetapi saya tahu, saya harus bilang: Selamat Hari Raya Idul Adha bagi yang merayakannya. Bukan karena saya ingin tampak toleran, tetapi karena semangat berkorban–memandang diri sendiri dengan cara yang lebih jujur; bahwa kita tidak sehebat yang kita duga–yang ada di setiap hati memang wajib mendapat ucapan selamat.

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Versi awal tulisan ini disiarkan di facebook pada Hari Raya Idul Adha 2019.

Baca juga: Yubileum, Presiden SBY, dan Celana Goni

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *