Hurami Nacy mengirim pesan via DM Instagram. Dia memuji Indonesia, memuji saya, lalu minta nomor WA. Hurami Nacy hendak menyembelih babi. Dia bagian dari fenomena pig butchering scam.
Seorang teman berbahagia sebab salah satu fotonya di Instagram disukai oleh perempuan cantik yang kemudian mengaku berasal dari Korea. Semoga Korea Selatan, sa pikir begitu. Di DM, perempuan Korea meng’quote’ salah satu foto yang dia unggah dan mulai memuji. Lalu mereka ngobrol. Di sana. Di DM Instagram.
Beberapa waktu kemudian, saya mengalaminya. Namanya Hurami Nacy. Dari Korea juga. Mengomentari satu foto saya–yang memang sa kira sa ganteng sekali di situ–dan bilang dia suka outfit saya. Hurami bertanya apakah baju yang saya pakai itu batik. Memang tampak mirip batik, saya bilang begitu, tetapi ini bukan batik. Semacam tembakannya saja. Modifikasi. Di Indonesia, kemampuan modifikasi adalah hal yang paling bisa dibanggakan. Kami senang 3N (niru, niteni, nambahi). Saya ingat teman-teman saya yang memakai sepatu berbentuk sangat bagus; merk Abibas, Neki, dan Riebook.
Hurami senang mendengar cerita itu dan ingin lebih banyak mengenal Indonesia. Ada 17.000-an pulau, saya ceritakan itu dengan bangga, salah satunya pulau Komodo. Saya jadi lebih berbangga lagi ketika menceritakan bagian ini untuk dua alasan: saya tinggal di Flores dan Hurami Nacy pernah mendengar tentang komodo. Saya bungah sebab merasa telah sangat baik sebagai warga negara karena melakukan tugas promosi wisata. Ckckck.
Hurami juga bahagia lalu berkisah tentang keinginannya mengunjungi Indonesia. Saya tawarkan Solo dan Pekalongan untuk batik. Beberapa teman di Labuan Bajo akan saya kabari jika dia hendak melihat komodo. Teman-teman saya baik, saya bilang begitu, mereka akan memandumu layaknya teman sebab kami tinggal di pulau di mana rumahku adalah rumahmu juga. Singgahlah di Ruteng, ada kopi juga sopi misalkan kau rindu pada minuman-minuman yang membuatmu segera jujur.
Hurami Nacy senang dan langsung memutuskan bahwa saya adalah teman baiknya. Dia berharap bisa bercakap-cakap lebih banyak di jalur yang lebih convinient. Supaya bisa bertukar cerita lebih banyak, supaya sesekali bisa video call, supaya kalau nanti saya ke Korea (Selatan, tentu saja) kami tidak perlu lagi memecah gunung es dan langsung bercengkerama sebagai dua sahabat. Janji yang sungguh menggiurkan. Hurami meminta nomor WA.
Teman saya sudah lebih dulu berbahagia karena pernah berbagi cerita via video call WA dengan teman Koreanya. Dia sedang berpikir untuk menjadi lebih cepat kaya. Perempuan Korea-nya sering makan di restoran mahal, jalan-jalan ke tempat-tempat mahal, tidur di hotel beranjang besar; foto-foto di Instagram temannya itu mengatakannya, dan teman saya ingin segera kaya. Melalui kripto. Ah, semoga semua kita cepat kaya. Saya setuju dengan Conrad Good Vibration, tetapi ragu, benarkah jalan agar cepat kaya adalah melalui seorang perempuan Korea di Instagram?
Bagaimanapun, dia mulai menyusun rencana investasi agar bisa ke Korea dengan sepatu Adidas, Nike, dan Reebook–merk-merk besar yang benar tetapi harganya sedang agak jauh dari jangkauan. Hanya saja, pemakai sepatu Abibas macam kami barangkali bukanlah golongan yang mudah mendapat modal awal untuk investasi. Maka selesailah percakapan teman saya itu dengan perempuan Korea-nya.
Hurami merajuk ketika saya agak terlambat membaca pesannya. Why didn’t you check my message and reply? Are you very busy? Dia tanya begitu. Saya sibuk sekali hari itu sehingga tidak sempat melihat DM Instagram. Reels membuat saya sibuk. Saya katakan itu padanya dan dia membalasnya dengan menebak umur saya. Lebih muda dari 35 tahun? Tebaknya tanpa saya tanya. Dia sendiri berumur 35 tahun. Hmmm… Saya tahu arah percakapan ini. Hurami ingin membahagiakan saya dengan bilang bahwa saya lebih muda darinya (dan jauh lebih muda dari umur sesungguhnya). Dengan berhasil membuat saya bahagia, Hurami akan lebih mudah mendapatkan apa yang dia mau: Nomor WA saya.
Beberapa waktu sebelum Hurami Nacy menyapa dengan manis di DM Instagram, saya dengar cerita tentang pig butchering. Ini adalah salah satu fenomena scam atau penipuan di dunia kripto, sebuah mekanisme penipuan investasi di mana peternak akan menggemukkan babi sebelum disembelih agar menghasilkan daging yang banyak. Istilah ini berasal dari ungkapan Mandarin “Shāz Hū Pán,” (menyembelih babi); menggambarkan bagaimana korban ‘dibesarkan’ sebelum dijarah. Kompas.com menulis: Di masa “ternak” alias pendekatan, korban akan dicekoki dengan segala janji manis, seperti mendapatkan untung melimpah dari investasi kripto. Pelaku akan membujuk korban untuk berinvestasi di suatu platform kripto bodong.
Teman saya batal meng-invest karena tak punya modal. Tetapi seorang perempuan asal Pangalengan, Jawa Barat, berinisial AA (35), sebagaimana dilaporkan Kompas.com, menjadi korban. Modusnya sama. Berkenalan di DM Instagram, bertukar nomor WhatsApp, berbagi cerita tentang hidup sehari-hari, lalu kepadanya ditawarkan jalan sangat cepat untuk keluar dari kemiskinan. AA memulai investasinya dengan tiga juta rupiah dan berakhir dengan kehilangan uang sejumlah Rp. 500.000.000,-. Setengah miliar. Raib.
Pig butchering scam, jikalau diringkas, akan tampak seperti ini: Kau meng-invest sejumlah kecil uang di kripto (bodong), lalu diizinkan memetik hasilnya dalam waktu singkat agar kau percaya bahwa investasi kripto ini berjalan dengan baik sebagaimanamestinya. Setelah percaya, kau akan menginvestasi lebih banyak uang, dan boleh memetik hasilnya dengan segera. Lalu kau tiba-tiba sadar bahwa ini adalah jalan agar kita semua cepat kaya dan karenanya menjadi bersemangat berinvestasi dalam jumlah yang lebih banyak lagi. Dari mana uangnya? Mereka menawarkan pinjaman baru tanpa bunga di aplikasi yang sama lalu kau meminjam dan mulai mencicil bunga lalu meng-invest lagi. Dan manusia adalah makhluk yang begitu mudah kaget dan silau; kau jual beberapa aset penting agar bisa lebih banyak meraup untung. Lalu asetmu beku. Tak bisa dicairkan. Orang-orang kripto tak menjawab sebab itu bukan aplikasi kripto yang benar, itu aplikasi yang dirancang untuk scamming. Tertipulah kita. Mereka beternak selama ini, kita telah menjadi babi yang gemuk, waktunya mereka menyembelih babi itu.
Hurami bilang: Saya hanya bisa ngobrol dengan teman baik saya di jalur yang nyaman, kamu teman baik saya, kita seharusnya ngobrol di WhatsApp. Saya menawarkan Facebook, Linkedin, dan X, Hurami ngambek. WhatsApp. WhatsApp. WhatsApp. Saya kira dia berteriak begitu di suatu tempat yang jauh. WhatsApp ka, Kaka Min. Isssh… Saya cerita ke Celestin. “Ma, ada perempuan dari Korea ka, minta sap nomor WA.” Dia diam sejenak, ragu, lalu tegas: “Mana itu perempuan?” Sebelum memutuskan bahwa percakapan itu harus segera diselesaikan, saya ceritakan padanya tentang pig butchering, tentang Hurami Nacy ingin menyembelih babi.
Kami lalu ingat tentang investasi bodong yang populer beberapa tahun silam. Di Malang, awal tahun 2000-an, ada POHON MAS. Investasi berkonsep uang berbunga uang yang memakan sangat banyak korban. Beberapa di antara mereka adalah para dosen. Ada dosen ekonomi pula. Di Ruteng, beberapa tahun setelahnya, ada VOTE. Dengan konsep yang sama, memakan korban dalam jumlah yang hampir sama besarnya, beberapa di antara mereka adalah tokoh-tokoh masyarakat. Seorang ibu kehilangan tanah dan rumahnya pada kisah VOTE ini. Mereka berhasil melakukannya. Menyembelih babi. Kemiskinan mungkin bukan hal utama dalam kasus-kasus penipuan keuangan seperti ini.
Sekarang, Hurami tidak lagi mengontak. Di DM dia bilang, I am happy to talk to you like this, but I’m not always active on Instagram, so I don’t think you and I would be comfortable talking. Itu pesan terakhirnya setelah saya bilang, I’m just tryn’ to be a nice friend in the way that would makes me convinient. Maksudnya di Instagram, kapan pun saya berkenan mengaksesnya, dan boleh berbagi cerita tentang Indonesia yang indah ini, pada Hurami, jika dia nyata. Tetapi saya tahu dia tidak nyata. Dia orang Indonesia juga atau paling tidak salah satu anggota sindikasi itu ada di negeri gemah ripah loh jinawi ini.
Ah, Indonesia. Yang indah. Yang masih banyak rakyatnya miskin informasi dan begitu mudah tergoda. Bahkan ketika AA tahu bahwa nomor rekening yang dia pakai untuk mentransfer modal investasinya itu adalah nomor rekening dalam negeri, bernama pemilik orang Indonesia, dia tetap saja berinvestasi sebab foto-foto Instagram teman Korea-nya itu begitu menggiurkan. “Dia bilang, ‘Mau enggak diajarin investasi kripto biar kamu bisa kayak aku?’. Siapa yang enggak mau, soalnya kalau lihat di Instagram-nya, orang Korea ini hedon (punya gaya hidup mewah).” Begitu AA menceritakan kisahnya ke Kompas.com.
Saya tentu saja prihatin dengan nasib AA. Teman saya selamat karena tak punya modal awal dan itu menyenangkan. Tetapi apa kabar kawan-kawan lain yang saat ini masih berharap bahwa teman-teman mereka dari luar negeri adalah nyata padahal mereka tak saling follow tetapi begitu dekat di DM Instagram?
Begitu banyak pekerjaan rumah. Dari mana mulai mengerjakannya? Kita adalah anak-anak bangsa yang mudah digiring di media sosial. Bahkan dalam soal pilihan politik.
“Siapa namanya itu perempuan Korea, Pa?” Tanya Celestin. Dia tidak cemburu. Hanya ingin tahu.
“Hurami Nacy,” saya jawab dengan suara dipelankan supaya terdengar biasa saja. Padahal ini kisah tidak biasa.
Hurami Nacy masih hendak menyembelih babi. Di Instragam, meski dia bilang bahwa dia jarang menggunakan aplikasi itu, dia baru saja aktif 35 menit yang lalu. Sedang mencari calon-calon yang bisa dia ‘ternak’. Dia selalu aktif. Di sana. Menampilkan foto-foto tentang betapa kayanya dia dari kripto. Itu bodong, Dongo! Jangan percaya. Pakai saja itu sepatu Abibas dorang dengan percaya diri. Sebab tak ada yang akan lihat pakaian apa yang kau pakai sepanjang kau tersenyum ketika mengenakannya. Jadi anggota koperasi. Lebih aman dan banyak membantu. Begitu.
—
22 Februari 2024
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Gambar dari Pintu.co.id. Informasi tentang Pig Butchering Scam juga bisa dibaca di sini.