Dalam perjalanannya yang panjang, Gereja (baca: institusi gereja Katolik) telah melalui sangat banyak situasi. Salah satunya adalah pertanyaan apakah option for the poor benar-benar dijiwai dan bagaimana umat melihat sikap itu.
Gereja St. Yosef (Katedral Lama) Ruteng, Manggarai | Foto: Armin Bell |
Gereja dan Kontroversi Option for The Poor
Saya agak jengah dengan perbincangan tersebut ketika itu dan masih tetap terheran-heran sampai saat ini. Saya pikir soal utama yang baik untuk dipikirkan orang-orang Katolik adalah apakah masih setia ke Gereja. Soal siapa memimpin misa, siapa hadir di pernikahan siapa, adalah soal yang sangat kemudian.
Pertanyaan bodoh yang saya kemukakan saat itu adalah: “Apakah ketika Uskup tidak hadir pada pernikahan saya, pernikahan itu menjadi tidak cukup berkat?”
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Tentang perilaku umat yang begitu bergantung pada figur tertentu–selain Yesus Kristus sendiri, maka kita lantas menjadi maklum mengapa ada banyak orang yang menjadi malas bekerja karena pemimpin perusahaannya malas. Menurut saya ini pilihan bersikap yang aneh. Sederhananya begini: Kalau pemimpin perusahaan terlihat malas, tentu saja karena dia sudah punya perusahaan yang dibangunnya dengan keringat dan darah. Kini dia berhak lebih santai.
Baca juga: Mimpi-mimpi yang Menepuk Pundak
Beberapa bulan sebelumnya dia juga ikut membantu advokasi para petani yang menderita dan ditindas di kampung yang lain. Mengapa saya tidak enak hati? Entahlah. Dunia toh tidak harus selalu dipandang hitam putih. Ini Februari, bulan penuh cinta. Apakah ada defisininya?
Option for the poor juga barangkali tidak harus berarti kau tidak boleh mampir di cafe dan baca buku-buku filsafat di sana sambil sesekali belajar menulis proposal.