Seniman di era milenial dihargai. Beberapa orang lantas menjadikannya sebagai tujuan hidup. Padahal seharusnya adalah jalan hidup.
Saat ini banyak yang berharap dipersepsikan sebagai seniman. Karena itu saya ingin membagi shortcut yang bisa dipakai agar kita layak disebut seniman di era milenial.
Seniman telah menjadi ladang pekerjaan baru akhir-akhir ini. Industri media yang berkembang pesat, pengaruh internet dan segala fasilitas ‘mudah terkenal’ yang dibawanya, penghargaan terhadap kesenian yang tumbuh subur, serta gelar “orang-orang merdeka” membuat seniman tidak lagi dilirik sebelah mata. Belum lagi para pendonor berlomba mendanai kegiatan mereka.
Lebih hebat lagi, negara bahkan mendukung munculnya hari-hari khusus untuk para seniman; ada hari sastra, hari puisi, hari musik, hari film, dan hari ini aku jatuh cinta pada pandangan pertama, halaaah. Malah nyanyi. Pokoknya begitu. Apresiasi sebesar itu membuat banyak orang berlomba agar disebut atau dianggap seniman. Ada kebanggaan yang muncul dari sematan itu.
Hal ini tentu saja agak berbeda jika dibandingkan dengan lima belas atau dua puluh tahun silam. Kondisi saat itu: banyak seniman yang miskin, ruang berkarya yang sempit dan sangat diatur negara, tidak ada penghargaan yang merdeka dari masyarakat tentang mana karya seni yang hebat dan mana yang dipaksakan hebat. Negara bahkan punya kuasa untuk memutuskan mana yang disebut seniman dan mana yang pemberontak. Lihat cerita tentang Pramoedya Ananta Toer, Arswendo Atmowiloto, dan yang lain. Yang paling populer adalah Wiji Thukul, belum ditemukan hingga sekarang.
Akibat buruk dari situasi ‘negara campur tangan’ itu adalah siapa saja anak muda yang mengatakan ingin menjadi seniman pada orang tuanya, akan berhadapan dengan pertanyaan: “Kau makan apa nanti?” Pertanyaan itu jarang terdengar saat ini.
Apa itu seniman? KBBI memberi pengertian yang begitu singkat tentang seniman. Di edisi terbaru (KBBI edisi V), seniman adalah orang yang mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan dan menggelarkan karya seni (pelukis, penyair, penyanyi, dan sebagainya). Merujuk pengertian itu, rasanya semua orang bisa disebut sebagai seniman. Benarkah?
Baca juga: Mengandung (di Luar) Sastra
Tahun 2011, ‘seniman’ jadi polemik di Harian Kompas. Beberapa artikel yang muncul pada periode September – Oktober 2011 ‘baku jawab’ tentang ini. Ada tiga nama yang membahasnya dengan serius. Aminudin TH Siregar (Dosen Seni Rupa ITB), Yuswantoro Adi (Perupa), Wayan Kun Adnyana (saat itu menjadi Mahasiswa Program Doktor Pengkajian Seni Rupa, ISI Yogyakarta).
Aminudin yang dikenal sebagai seorang kurator menulis gagasannya bahwa tidak semua orang boleh disebut seniman. Hal ini tentu berhubungan dengan peran yang dimainkan kurator; orang/pihak yang dianggap memiliki kewenanangan memberi ‘nilai’ pada sebuah karya–peran yang sebelumnya menjadi milik negara. Dasar argumentasi Aminudin barangkali adalah kekecewaannya di era itu ketika ada begitu banyak orang yang gemar bilang, “Sebagai seorang seniman bla bla bla…”.
Aminudin menganggap kondisi itu sebagai gejala idiosinkretik. Efek samping yang tidak lazim, tidak diharapkan, dan aneh. Baru beberapa kali muncul dengan karya seni di ruang publik lalu koar-koar telah menjadi seniman. “Kekacauan seperti itu sangat membingungkan,” tulis Aminudin di Kompas edisi 11 September 2011.
Sebagai protes atas Aminudin, Yuswantoro Adi menyoroti apa atau siapa kurator itu. Di Kompas edisi 18 September 2011, perupa asal Jogja itu menulis: “Seingat saya, penyebutan kata ”kurator” di Indonesia dimulai oleh Jim Supangkat sekitar akhir dekade 1980-an atau awal 1990-an. Ketika itu, ia menyebut dirinya sebagai Independent Curator dalam setiap tulisan [….] semenjak saat itu siapa pun yang membuat tulisan tentang seni rupa lantas merasa sudah, setidaknya rindu untuk di sebut sebagai kurator. Yuswantoro seperti menyerang Aminudin.
Daripada bergabung dalam perdebatan itu, Wayan Kun Adnyana memilih bercerita tentang seniman (atau lebih tepat kesenimanan) sebagai sebentuk jalan hidup keseharian. Contoh yang diambil Wayan adalah manusia Bali.
“Manusia Bali tidak pernah hirau untuk disebut seniman atau petani, yang pasti mereka melakukan kerja sehari-hari yang fungsional. Merancang rumah yang begitu artistik semata untuk memenuhi kebutuhan nyaman fisik dan psikis. Membuat arca, juga patung, berkait dengan rasa cinta kepada Sang Hyang Embang (Ia yang menguasai ruang kosong) atau Sang Hyang Widhi (Ia yang Mahapencipta). Semuanya dilakukan sebagai jalan hidup.” (cfr: Kompas, 2 Oktober 2011). Indah betul, bukan?
Lalu saya setuju yang mana?
Anggap saja saya setuju dengan mereka semua:
Seorang seniman yang baik barangkali tidak perlu terlalu provokatif memproklamirkan diri sebagai seniman. Let your work do that. Kurator juga rasanya tidak perlu anggap diri inti to. Maksudnya, sometimes you have to admit that skemata yang kau pakai tidak cukup luas untuk menilai karya seseorang (Cfr: kasus ‘pelecehan’ Maman S. Mahayana atas “Cantik itu Luka” milik Eka Kurniawan). Jalankan hidup dengan seni, no matter what you are. “Kesenimanan dilakukan sebagai jalan hidup.
Lalu mengapa saya berlelah-lelah menulis tentang cara mudah menjadi seniman di era milenial ini? Sesungguhnya saya hanya ingin mengatakan beberapa hal tentang bagaimana “seniman” yang saya tahu pada zaman ini.
Saya berharap tulisan ini dapat menjadi panduan terbaik untuk Anda yang bercita-cita menjadi seniman dan meraih posisi sosial yang baik di masyarakat yang juga cukup mudah menyematkan gelar itu pada siapa saja yang statusnya mirip-mirip puisi, atau yang foto profilnya gondrong, atau yang ke mana-mana pakai selendang tenun.
Berikut beberapa sikap yang harus dipunyai oleh calon seniman. Ini adalah ringkasan yang saya buat setelah rancangan tulisan ini tidur berminggu-minggu lamanya di Notepad.
Lima Cara Mudah Menjadi Seniman di Era Milenial
Anti-Mainstream
Sejak zaman dahulu, para seniman memang unik. Tidak seragam. Mampu melihat hal lain yang menarik ketika sebagian besar orang sedang tertarik pada isu lain. Okay. Let’s make this as simple as I can share.
Kalau seluruh Indonesia sedang menyukai film India, lihatlah beberapa orang yang bicara nyinyir tentang film-film India itu. Orang-orang itu akan membawa nasionalisme dalam orasi mereka. Mereka juga akan gencar memproduksi komunikasi publik tentang betapa rendahnya selera masyarakat kebanyakan di negeri ini. Kau harus bergabung di pihak yang nyinyir itu sambil sesekali menyebut nama Pramoedya Ananta Toer atau Arswendo Atmowiloto. Jangan sebut lengkap. Sebut Pram dan Mas Wendo saja. Biar akrab. Niscaya kau telah resmi menjadi seniman. Tidak akan ada yang bertanya apakah kau mengenal Nyai Ontosoroh atau Sudesi. Toh, kita semua sama. Hanya tahu Pram dan Mas Wendo dari cerita orang-orang, dan bukan dari anak-anak rohani mereka.
Cinta Budaya
Seni itu lekat sekali dengan budaya. Paling tidak itu yang kita dengar di sekolah; ada mata pelajaran seni budaya–meski yang dipelajari adalah cara membuat pagar taman dari bambu yang diikat paku. Nah, tampillah lebih dengan memakai selendang songke Manggarai di ruang publik. Sedikit lusuh, lupa sisir rambut, kau paling seniman sudah.
Tak ada yang akan bertanya karya seni apa yang telah kau buat. Kau sudah cukup seniman karena mempromosikan produk-produk daerah. Sesekali ganti selendang songke Manggaraimu dengan selendang dari daerah lain, kalau bisa kain ulos dari Batak, minta temanmu jepret, unggah di media sosial dengan caption keren seperti “Art is never finished only abandoned”. Tidak perlu repot-repot menulis nama Leonardo da Vinci di belakang caption itu. Biarkan publik mengagumimu sebagai seniman visioner yang merumuskan kalimat itu.
Tampil Apresiatif
Seniman harus apresiatif. Setiap karya akan mereka ulas dengan baik. Cobalah masuk dalam diskusi tentang tulisan Kathrin Bandel, sesekali sebut nama Mark Twain. Jangan lupa singgung juga tentang lukisan Basuki Abdullah. Tempelkan itu pada kolom komentar ketika seorang temanmu menulis puisi-cinta-patah-hati-parah-seumpama Cinta di AADC 2. There you are. Seniman muda berbakat.
Tidak perlu bingung tentang dari mana kau bisa mendapatkan bahannya. Cukup bilang “OK Google” di handphone-mu, berjatuhanlah karya-karya itu. Kutip sebagian yang paling kau suka, paste lurus-lurus, senimanlah kau sekarang ini. Sesekali, berkunjunglah ke pameran buku, ambil satu novel paling laris, take selfie, post it, mention penulisnya terus bilang: ini buku keren. Mudah, to?
Selalu Kritis
Sunggumati. Seniman itu harus kritis. Pergumulan batinnya membuat dia menolak kemapanan. Ekspresikan itu di ruang publik, tunjukkan betapa kritisnya kau. Kalau ada temanmu yang baru saja pulang dari gereja dan memamerkan fotonya di media sosial, tulislah begini di dindingmu sendiri: “Yang paling penting sepulang gereja adalah hati yang bahagia, bukan foto narsis”. Itu contoh sikap kritis.
Jika kau konsisten melakukan itu, suatu saat kau akan mampu menjadi kurator. Shortcut-nya kira-kira begini: kritis, semakin kritis, ke sungguh sangat kritis. Kelak setiap percakapan dari mulutmu adalah tentang betapa kau sangat anti kemapanan. Kalau sudah sampai di titik itu, izinkan saya mengucapkan: SELAMAT MENJADI SENIMAN.
Membangun Komunitas
Kalau empat cara tadi belum mampu mendatangkan gelar seniman pada diri kita sekalian, cara kelima ini biasanya ampuh. Bangun atau bergabunglah di komunitas para seniman. Bukan sembarang seniman.
Pastikan komunitasnya berisi orang-orang yang gemar “saling puji”. Percayalah. Mereka akan dengan senang hati memanggilmu seniman, bahkan hanya dengan melihat cara jalanmu yang miring-miring. Saya sudah melihat buktinya.
Membangun komunitas juga akan memberi kesan bahwa kita adalah orang-orang anti-mainstream. Ingat, anti-kemapanan adalah syarat utama menjadi seniman. Ketika kau merasa komunitas tertentu telah membesarkan seseorang dan peluangmu untuk menjadi besar di komunitas itu tidak ada–kau sulit bersaing, bikin komunitas baru. Itu!
Baca juga: Kumcer Iksaka Banu ‘Semua untuk Hindia’, Sebuah Tanggapan
Saudara-saudariku terkasih, kiranya tulisan ini telah berhasil membantu kita semua yang sungguh rindu mendapat gelar sebagai seniman. Berterimakasihlah kepadaku nanti. Ya. Nanti saja. Sekarang mulailah merajut mimpi menjadi seniman dengan menempuh lima cara mudah menjadi seniman di era milenial yang saya tawarkan tadi. Begitu.
Btw, tahukah Anda bahwa istilah seniman di Indonesia pertama kali diusulkan oleh Ki Mangun Sarkoro, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1949-1950)? Jauh sebelum Ki Mangun Sarkoro, seorang Raja Bali Kuno bernama Marakata menggariskan label-label khusus bagi profesi seni. Artikel Wayan Kun Adnyana yang saya singgung tadi, menceritakan hal tersebut dengan baik.
—
10 Maret 2017
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Saya suka ,saya suka😊
Hiaaa…. mantap mantap mantap
Saya masih kurang selendang…kalau ada uang sy lngsung beli satu.
Harus segera beli sebab itu sungguh wajib hahahahah