Ahok fenomenal. Seperti tokoh-tokoh atau hal-hal fenomenal lainnya, membicarakannya adalah sesuatu yang menyenangkan. Rasanya, semua percakapan tentang Ahok selalu mudah ditimpali. Iya, to?
Ahok |
Ahok, Kita Bukan Gading Kan?
Tetapi satu hal yang penting untuk diambil dari suami Veronica Tan ini adalah: setiap orang harus berjalan sesuai dengan predikat apa pun yang diembannya. Tidak boleh salah. Jangan bersembunyi di balik kalimat: tak ada gading yang tak retak. Sekali saja kita bersembunyi di sana, kita akan berkali-kali memasukkan diri ke dalam pencobaan.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Saya merokok dan dia tidak. Dia berhenti merokok beberapa tahun silam, dan tidak lagi suka alkohol selain bir. Another good reason untuk mengangkatnya menjadi wali baptis. Obrolan kami berpindah topik.
Baca juga: Samar – Cerpen di Gita Sang Surya
Tentang korupsi, tentang selingkuh, tentang mengkhianati panggilan hidup, tentang motivator yang beristri banyak, tentang pastor yang menanggalkan jubah setelah punya anak, tentang ustad yang cerai lalu kawin lagi, tentang Rhoma Irama, tentang Raffi Ahmad, tentang Anang KD, tentang Sofia Latjuba Indra Lesmana, tentang ini, tentang itu dan akhirnya tentang kami.
“Kita tahu bahwa korupsi itu salah, tetapi kita melakukannya dengan sadar lalu ketika tertangkap kita mengkampanyekan lagi peribahasa itu dengan muka yang dibuat sebersalah mungkin. Itu kan pembenaran! Kasian peribahasanya. Digunakan pada tempat yang tidak semestinya,” tuturnya lagi.
Dalam konteks ini, si gading yang kerap kita pakai sebagai alasan pembenar ternyata adalah benda mati. Sahabat saya itu lalu menutup penjelasan panjangnya malam itu dengan pertanyaan, “Apa kita itu benda mati?”
“Persis!” katanya lalu menyambung, “Ketika seseorang selingkuh dalam pernikahan misalnya, dia sebenarnya telah dengan sengaja melepaskan diri dari hidup yang sebenarnya yakni pernikahan itu. Saat itu dia mati. Juga ketika politisi besar melakukan korupsi padahal dia punya wajah yang santun dengan penggemar bejibun, dia telah menjadi benda mati.”
Melakukan kesalahan dengan sadar adalah sebuah bentuk pengkhianatan dan wajib mendapatkan sanksi. Untuk hidup saja kita perlu berjuang, apalagi untuk hidup baik. Dan ketika tokoh panutan kita telah mati akal, apakah kita mungkin bisa menggantungnya di Monas?
“Saya tidak suka dengan pembenaran model demikian, apalagi jika dilakukan oleh tokoh model seperti wali baptis, atau imam, atau ulama atau pejabat negara. Kita mungkin akan menjadi benda mati kalau kita melepaskan diri dari Tuhan dan melupakan doa.”
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Sampai di sini kami sepakat, obrolan ini sudah seperti dakwah, sesuatu yang mengkhawatirkan karena tak sedikit para pendakwah yang juga telah mati akal, korupsi, selingkuh, nikah siri, narkoba dan lain-lain. Kami takut seperti mereka lalu sepakat bahwa satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah dengan berjuang agar terus hidup dan bertahan bergantung pada alfa dan omega, dan sadar tidak semua kesalahan bisa kita limpahkan pada gading yang retak.
Kita tidak mau menjadi Gading. Iya to? Gading juga mungkin tidak bahagia ketika wajahnya penuh jerawat dan ayahnya pernah masih penjara karena narkoba. Eh… Tapi itu Gading yang lain kan?
Ruteng tetap dingin, tugas saya juga tak mudah; menjadi suami dan ayah yang baik. Hidup memang tidak akan pernah mudah kan? Sesungguhnya saya ingin sekali melakukan konfirmasi ini: Ahok, kita bukan gading kan? Mungkin kalau berlaku seperti Ahok, akan banyak hal menjadi mudah.
Salam
Armin Bell
PS: Di Nota Nostra, tulisan ini berjudul “Si Gading Memang Begitu”