berkunjung ke pulau sumba di pantai rua om nanga bercerita tentang nihiwatu travel writing

Berkunjung ke Pulau Sumba, di Pantai Rua Om Nanga Bercerita tentang Nihiwatu

Tahun 80-an, Claude Graves bersama istrinya datang ke Sumba. Dalam ingatan Om Nanga, peristiwa itu terjadi pada tahun 1983. “Saya masih SMP saat itu,” kata Om Nanga. Kami bertemu di Pantai Rua, Sumba Barat.


Menurut Om Nanga, Claude dan istrinya datang untuk mencari lokasi surfing dan jatuh cinta pada Pantai Nihi. Bertahun-tahun kemudian, nama Nihi menjadi terkenal. Nihiwatu. Dibicarakan di seluruh dunia. Lebih dari yang sempat dipikirkan Claude, barangkali. Tetapi siapa Om Nanga? Apa hubungannya dengan Claude?

Sesungguhnya, di seluruh percakapan kami senja itu, saya hanya mendengar Om Nanga bercerita tentang Mister Klot. Atau Mister Klod? Bunyi itu yang terdengar dari mulutnya ketika bercerita tentang masa-masa awal pembangunan Nihiwatu, masa di mana Om Nanga terlibat dengan Mister Klot itu.

Saya tidak punya waktu yang banyak di Pulau Sumba. Hanya empat hari. Dua hari pertama diisi kegiatan kantor di Waikabubak – Sumba Barat, hari Kamis bertemu Om Nanga, dan sehari setelahnya harus meninggalkan kota itu. Saya tidak sempat mengenal Om Nanga secara pribadi (termasuk membuat riset tambahan agar materi tulisan ini sedapat-dapatnya obyektif) meski berkesempatan ngobrol cukup lama dan intens.

Berdasarkan ceritanya sendiri–dua atau tiga orang di sekitar kami membenarkan cerita itu, Om Nanga adalah satu dari sedikit orang yang mengenal resor Nihiwatu (sekarang: Nihi Sumba Island) dari awal hingga sekarang. Andai beberapa bagian dalam cerita ini ternyata salah, itu sepenuhnya kekeliruan saya karena hanya bertumpu pada satu sumber.

Meski demikian, mengatasi terlampau menyimpangnya kekeliruan, saya memakai bahan tambahan dari beberapa situs di internet yang juga bercerita tentang Nihiwatu. Termasuk ketika saya akhirnya mengetahui bahwa Mister Klot yang saya dengar dari mulut Om Nanga ternyata adalah Claude Graves.

Sebelum bertemu Om Nanga di Pantai Rua, sekitar satu setengah jam lamanya saya bersama rombongan kegiatan kami, menghabiskan waktu di Nihi Sumba Island. Siang hari. Panas tetapi berangin. Tidak gerah. Menyusuri sisi kanan resort, melintas di rumah cokelat, menuju istal di mana beberapa ekor kuda Sumba disiapkan untuk tamu resor, kami akhirnya tiba di pantai berpasir lembut berwarna pink.

Di depannya, laut yang luas. Bersih. Biru. Menawarkan gulungan ombak panjang yang begitu menggoda para pencinta surfing. Tempat ini surga sekali, pikir saya. Tetapi kami hanya dapat mengakses wilayah-wilayah terbatas.

“Tamu sedang penuh dan mereka butuh privasi. Kami minta Bapa-Ibu hanya melihat-lihat lokasi yang bebas tamu,” jelas salah seorang pengelola yang juga menunjuk seorang lainnya menjadi pemandu (atau pengawas?) rombongan.

Saya lalu ingat Diana, seorang perempuan pegiat literasi di Sumba, dan percakapan kami malam sebelumnya di FA Cafe, Waikabubak. “Tidak semua orang bisa ke Nihiwatu. Hanya tamu resort. Kami yang di Sumba saja belum pernah ke sana,” jelas Diana. Benar sudah. Ini pantai eksklusif. Mengapa tidak ada yang berteriak protes?

Beberapa jam setelah “wisata terbatas” itulah saya bertemu Om Nanga di Pantai Rua dan lalu mengerti mengapa Nihiwatu yang sekarang bernama Nihi Sumba Island itu berdiri tenang dan damai dan meraih penghargaan sebagai resor terbaik di dunia selama dua tahun berturut-turut, 2016 dan 2017, menurut majalah Travel+Leisure.

BACA JUGA
Orang Manggarai Harus Tahu tentang Pekosamaraga

“Saya masih SMP ketika bersama guru saya dulu menemani Mister Claude ke kawasan itu. Itu wilayah terisolir. Kalau lahan itu tidak dilirik Claude, sampai sekarang pasti masih jadi daerah isolasi,” terang Om Nanga. Rasanya, itu alasan pertama mengapa Nihi Sumba Island yang eksklusif dan seperti jauh dari jangkauan masyarakat lokal itu, berdiri tanpa diprotes. Tuan Claude Graves merintis ‘terbukanya’ kawasan itu. Pendiri berhak menentukan aksesibilitas. Apa harus begitu?

Setelah kawasan itu ‘dibangun’ Claude, tidak semua Ana Humba bisa berkunjung, kata saya dalam hati. Seperti mengerti, Om Nanga menjelaskan tentang kemestian private resort diakses terbatas. “Itu bukan public resort. Tidak semua orang bisa menginap di sana. Rate terendah adalah lima belas juta,” katanya.

Menurut Om Nanga, rentang harga atau biaya sewa menginap di Nihi Sumba Island berada antara lima belas sampai dua ratus lima puluh juta rupiah. Tempat itu menjadi sangat terkenal setelah berpindah pengelolaannya dari Claude ke enterpreneur AS, Christopher Burch yang kini mengelola resort itu (sekaligus mengganti namanya sebagai usaha membuat Sumba lebih sering disebut dalam percakapan) bersama Managing Partner James McBride yang memiliki pengalaman di bidang panjang di bidang perhotelan.

Kalau begitu, apa gunanya Nihi Sumba Island bagi Pulau Sumba dan orang-orang di dalamnya?

Om Nanga merangkum jawabannya dalam cerita yang dipadatkannya dengan baik.

“Sumba menjadi terkenal. Banyak wisatawan berkunjung. Kunjungan itu berdampak pada perubahan perilaku masyarakat. Menjadi lebih terbuka. Nihiwatu juga menyerap ratusan tenaga kerja lokal, meski sebagian besar adalah tenaga kerja tanpa keahlian khusus. Gaji mereka di atas upah minimum regional.”

“Nihiwatu juga berada di balik (dan berkembang bersama) The Sumba Foundation , sebuah organisasi nirlaba yang mengurusi malaria eradication, providing water, health services, education, dan economic growth untuk masyarakat Sumba terutama yang berada di daerah remote.”

Siang bergerak cepat menuju petang. Angin bertiup lembut di Pantai Rua. Om Nanga terus bercerita. Untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal, The Sumba Foundation melaksanakan farming project. Pada proyek ini, mana masyarakat diajari cara menanam sayur yang baik. Setelahnya mereka sebagai pemasok sayur lokal untuk kebutuhan resor. “Sayur hasil dari farming project itu dibeli hotel dengan harga yang sangat baik,” tuturnya dalam lafal Inggris yang enak.

Saya tertarik karena lafal yang enak itu. Om Nanga mengaku bekerja sebagai petani dan maafkan saya karena masih menganggap petani kita tidak bisa berbahasa Inggris. Setelah bertemu Om Nanga, saya berjanji tidak akan memandang remeh para petani. Apalagi jika mereka berada di lokasi-lokasi wisata. Atau seharusnya begitu. Siapa saja yang berada di sekitar lokasi wisata, harus bisa bicara dalam bahasa Inggris. Mari berharap.

“Apa yang terjadi setelah Om Nanga tamat SMP?” Tanya saya sambil berharap Om Nanga melanjutkan ceritanya pasca pertemuan dengan Mr. Claude termasuk alasan mengapa lafal Inggrisnya baik.

BACA JUGA
Menjadi Ketua KBG

Baca juga: Publik Speaking untuk Semua, Bukan Soal Bakat atau Usia

Lalu mengalirlah cerita itu. Nanga SMP didorong untuk terus sekolah. Claude meminta Nanga menemuinya kembali jika telah tamat kuliah. Nanga kemudian terus bersekolah. Kuliah di Salatiga hingga tamat, sempat setahun di Australia, lalu kembali ke Sumba saat Claude Graves dan istrinya mulai membangun Nihiwatu.

Claude menepati janjinya. Nanga diajak terlibat dalam proses pembangunan Nihiwatu sejak awal. Mulai dari mencari bahan lokal untuk pembangunannya (bambu, batu, alang-alang, dan lain-lain) sampai menjadi penanggung jawab bagian tertentu pada proyek itu. “Saya bahkan sempat menjalani peran quality control pada beberapa pekerjaan di sana,” jelasnya.

Ketika Nihiwatu berubah menjadi Nihi Sumba Island bersamaan dengan keputusan Claude melepas resort itu, Nanga tetap terlibat pada beberapa kegiatan di tempat itu. Atas seluruh kerja kerasnya di Nihiwatu dan perjuangannya bersama The Sumba Foundation, kini Om Nanga memiliki lahan sebesar dua ratus hektar yang berisi entah berapa ribu pohon jati.

“Tetapi tidak semua orang Sumba mengalami nasib baik seperti Om Nanga,” kata saya. Tetapi dia optimis, setelah Sumba menjadi sangat terkenal berkat Nihi Sumba Island dan anugerah sebagai Pulau Terindah di Dunia versi majalah Focus terbitan Jerman, semua orang Sumba pasti akan bernasib baik. Asal kami mau menyambut ini dengan baik dan membangun etos kerja seperti orang-orang asing yang kami lihat di tempat ini, pasti bisa,” katanya.

Saya kembali mengenang percakapan saya dengan Diana tentang perjuangannya di bidang literasi. Dengan Pustaka Bergerak, Diana dan kawan-kawannya keluar masuk kampung di pulau indah itu dan berjuang agar anak-anak Sumba mampu memberi atau menangkap makna pada teks.

“Yang mereka butuhkan adalah teks-teks yang berasal dari dalam. Hanya melalui teks-teks orang-orang dalam, proses transfer makna akan lebih mudah dan kesadaran Sumba akan terbentuk,” kata saya malam itu di sela-sela musik kencang di FA Cafe. Diana tersenyum. Senyum yang berat barangkali. Mungkin dia merasa saya terlalu banyak bicara sedangkan dia sudah banyak bekerja. Tidak apa-apa. Selalu ada orang luar yang bisa mengusulkan apa saja untuk dikerjakan orang dalam dan (siapa tahu) menyempurnakan, bukan?

Kisah pertemuan dengan Diana dapat dibaca di sini.

Ketika selesai mengatakan: asal kami menyambut baik ini, Om Nanga lalu berseru, “I need beer!” Saya sambut dengan sukacita. “Me too!” Kami ke kios di Pantai Rua, membeli bir. Dua botol. Minum dalam diam. Angin pantai bertiup mesra senja itu.

Sumba tentu beruntung bahwa ada pengusaha yang tidak hanya mengejar laba tetapi juga berpikir tentang masyarakat lokal. Bagaimana jika garis pantainya dibeli oleh pengusaha yang lupa dengan orang-orang di sekitarnya? Para mafia tanah, misalnya?

Saya meneguk bir saya dengan sungguh-sungguh, berkali-kali, sampai tandas. Saya butuh sendawa yang besar agar pertanyaan ini pergi bersama angin senja di Pantai Rua. “Kita harus punya visi yang hebat,” kata Om Nanga pelan. Beberapa saat setelahnya kami bicara dalam bahasa Inggris. Puluhan kalimat dan saya senang. Lalu saya pamit. Harus bergabung bersama rombongan yang sedang dijamu di Rua Beach Resort. Om Nanga diam saja dengan botol bir di sampingnya.

BACA JUGA
HIV/AIDS Terlampau Dekat (Bagian 2)

Ketika saya telah di Ruteng, Om Nanga menelepon. Kami saling mengucapkan terima kasih atas percakapan kami yang intens. Saya berterima kasih karena berkesempatan bercakap-cakap dengan orang yang pernah bercakap-cakap dengan Mark Zuckerberg, Leonardo Di Caprio, Kate Winslet, Mick Jagger, Nicolas Saputra, Agnez Mo, dan ratusan public figure lainnya yang pernah menginap di Nihi Sumba Island.

Satu hal yang selalu saya ingat dari Om Nanga adalah kesadarannya yang tumbuh sejak lama tentang pentingnya keterlibatan orang lain agar lokasi-lokasi wisata di NTT menjadi ‘lebih menghidupkan’. Tentu saja ‘orang lain’ itu harus juga menyadari bahwa melibatkan (baca: tumbuh bersama) masyarakat lokal adalah satu-satunya garansi agar usaha mereka bertahan, dianggap ramah, tidak dipandang sebagai perampok. NTT adalah The New Tourism Territory. Eksotisme, sejauh ini, menjadi daya tarik utama. Investor berdatangan.

Kejelian memilih investor paling potensial adalah keutamaan yang harus dijalankan pemerintah. Investor paling potensial adalah yang menyediakan dirinya tumbuh bersama masyarakat di sekitar destinasi wisata. Jika tidak demikian, yang tersisa barangkali bukan NTT yang exotic, tetapi NTT rasa luar negeri. Pada saat itulah kita merasa dicaplok, ditelantarkan, lalu protes. Dan siapakah yang ingin berkunjung ke daerah yang penduduknya menderita dan melancarkan protes setiap saat?

Bahwa saat ini Nihi Sumba Island menjadi terkenal dan tumbuh berdampingan dengan damai bersama masyarakat di sekitarnya, melalui Om Nanga saya tahu, yang paling penting adalah tumbuh bersama. Dalam bahasa lain barangkali, pengembangan wisata berbasis masyarakat. Terima kasih, Om Nanga.

30 April 2018

Salam dari Ruteng

Armin Bell

Catatan:
Menurut situs berita liputan6dotcom, ada lima alasan Nihi Sumba Island mendapat anugerah sebagai resor terbaik di dunia, yakni:

  1. Kearifan Lokal: berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan bentuk kearifan lokal masyarakat sekitar, terlihat dari interior hotel yang didominasi oleh desain kayu yang khas.
  2. Ecoturism: wisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, selain juga aspek pemberdayaan sosial ekonomi budaya masyarakat sekitar.
  3. Kenyamanan: memiliki vila dengan tiga kamar berbentuk rumah pohon, berada di atas tebing, membuat pengunjung bisa menyaksikan keindahan Samudera Hindia dari dalam kamar, memiliki lebih dari 33 akomodasi vila dengan kolam renang pribadi dengan pemandangan indah ke Pantai Nihi.
  4. Menyediakan Beragam Atraksi Wisata: paket “safari spa” seharian penuh hingga eksplorasi pulau, treking menuju beberapa lokasi air terjun yang belum banyak dijamah, serta menyusuri sawah dan menemukan desa lokal dengan beragam budaya dan hasil seni yang memukau.
  5. Membangun Ekonomi Masyarakat: terus menciptakan kesadaran akan isu-isu yang dihadapi masyarakat lokal, menyediakan lapangan kerja dan layanan yang menumbuhkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga, dan mendukung kebutuhan dasar, seperti klinik kesehatan, makan siang bergizi untuk anak-anak sekolah, dan menyediakan akses terhadap air bersih.

Gambar dari Booking.com.

Bagikan ke:

4 Comments

  1. Saya membaca tulisan ini dengan senang bercampur sedih. Senang karena melihat suatu daerah yang konon terpencil dan tidak berkembang kini dengan memunculkan eksotismenya memperlihatkan keindahannya. Tetapi di sisi lain, sebagaimana tempat-tempat lain, apakah harus dipegang oleh orang luar terlebih dahulu agar suatu tempat bisa berkembang? I have no idea, hehe…

  2. Sesungguhnya yang bisa diharapkan adalah masyarakat lokal yang sudah tumbuh bersama kemudian menjadi lebih berdaya. Soal utama adalah modal awal, karena masih banyak yang belum berani mengelola dengan memanfaatkan jasa lembaga keuangan. Mungkin begitu sehingga 'orang luar' masih dibutuhkan.

  3. Aku sendiri setuju dengan keberadaan Nihiwatu Resort, selain menggerakkan masyarakat lewat Nihiwatu Foundation-nya juga cara-nya membangun masyarakat Sumba… soal penginapan atau pantai yang eksklusif sebenarnya wajar itukan demi tamu yang membayar lebih untuk bisa tenang.. toh saat bukan bulan2 kosong wisatawan orang dibolehkan berkunjung.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *