Pulau Sumba baru saja mendapat gelar sebagai Pulau Terindah di Dunia versi majalah Focus terbitan Jerman. Saya berkunjung ke sana dan sekarang berbagi cerita.
Cerita kunjungan ke pulau Sumba terdiri dari dua bagian. Bagian pertama tentang pertemuan dengan seorang pegiat literasi di tanah Humba itu, dan bagian kedua berisi kisah Nihi Sumba Island pada masa-masa awal.
Ketika pesawat mendarat di Tambolaka, saya langsung merasa seperti Ed Sheeran. Seseorang di dalam tubuh saya menari mendengar lagu Shape of You bermain di kepala. Inilah landasan yang di atasnya Ed Sheeran pernah menjejak, kata saya dalam hati seturunnya dari pesawat siang itu. Saya pikirkan lagu-lagunya yang lain, tapi yang muncul malah Shape of My Heart-nya Sting. Halaaaah …
Tanggal 24 April 2018, dari Kedutul – ke Bandara Frans Sales Lega, Ruteng – ke Bandara Eltari, Kupang – ke Bandara Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya. Kemudian saya ketahui bahwa selain Ed Sheeran, juga kaki Mark Zuckerberg dan istrinya pernah melintasi landasan itu. Mereka ke Nihiwatu saat itu. Cerita itu saya ketahui ketika sepulang berwisata ke Nihiwatu, kami mampir ke Pantai Rua dan bertemu Om Nanga.
Saya hendak ke Waikabubak bersama satu teman kantor. Kami akan bergabung dengan teman-teman senasib-sepenanggungan dari kabupaten lain se-NTT, mengikuti kegiatan rapat kerja. Bus Damri menjemput, satu setengah jam kemudian kami tiba di Waikabubak. Registrasi berlangsung baik dan menjadi semakin baik ketika pada arahan pembukaan, panitia mengumumkan bahwa kami akan ke Nihiwatu. Nihiwatu (Nihi Sumba Island) adalah resort yang mendapat penghargaan sebagai yang terbaik di dunia selama dua tahun berturut-turut, yakni 2016 dan 2017, melalui voting pembaca majalah Travel+Leisure. Kami bertepuk tangan, menggelegar, membahana, ketika mendengar pengumuman itu.
Berkunjung ke Pulau Sumba saja sudah bikin senang. Kini ditambah tingkat kesenangannya dengan memasukkan resort ekslusif itu dalam rangkaian kegiatan. Meski demikian, ada juga yang bertanya: “Ada apa di Nihiwatu?” Tidak masalah. Itu pertanyaan biasa karena Nihiwatu memang bukan tempat yang bisa diakses publik dengan bebas. Tidak semua orang senang baca berita pariwisata, to?
Hari kedua di Waikabubak adalah rapat sehari penuh. Berisi diskusi tentang bagaimana sebaiknya bekerja dalam tupoksi kami di wilayah masing-masing. Di bagian akhir, seluruh peserta membuat rekomendasi, lalu kami meninggalkan ruang rapat dengan senang, masuk kamar masing-masing, mandi dan gosok gigi.
Baca juga: Kota Ruteng dalam Koper, Catatan Perjalanan Dibuang Sayang Bagian Pertama
Saya cek handphone. Ada janji bertemu Diana. Diana D. Timoria nama lengkapnya. Saya belum pernah bertemu dengannya tetapi beberapa kali berinteraksi via Facebook. Janji bertemu Diana juga terjadi di Facebook. Saya baru saja hendak membalas pesan terbarunya ketika pintu kamar di ketuk. Apa? Diana sudah datang? Cepat sekali. Bagaimana dia tahu nomor kamar saya?
Di depan pintu kamar ada dua orang lelaki. Kris Aurelius dan Richard Baoon. Keduanya adalah teman kuliah saya di Universitas Merdeka Malang. Sama-sama anak komunikasi, sama-sama pemain bola fakultas, sama-sama pernah bergabung dalam rombongan ngamen spesialis di kos-kosan mahasiswi di Jalan Sibayak dan sekitarnya. Nama pertama adalah juga peserta kegiatan yang sama. Saya bertemu dia setelah belasan tahun berpisah. Sedangkan Richard, adalah teman kami yang tinggal dan bekerja di Sumba Tengah tetapi menetap di Waikabubak.
Saya lupa membalas pesan Diana karena kami lalu bernostalgia, lengkap dengan maki-makian khas pertemanan mahasiswa, meski kami semua telah beristri. Kalau kalian pernah sama-sama lapar dan lantas berjuang hidup dengan berbagi sepotong pisang goreng atau menjes dan tahu isi, bentuk persahabatan tidak pernah berubah.
Di jeda percakapan bertiga, saya melongok kotak pesan di HP saya. Diana. Harus dibalas sekarang. Titik pertemuan disepakati, dan bersama Richard saya meluncur ke Foodie. Kris tidak ikut.
Diana sudah lama menunggu di Foodie. “Masih buka?” Tanya saya kepada pengelola tempat makan itu setibanya di sana. “Maaf kami sudah close,” katanya sopan. “Oh, saya sorry kalau begitu,” kata saya lalu beralih ke Diana, “kita ngobrol di mana?”
Kesepakatan dibuat sangat cepat. Ke kafe FA. Sedikit mengejutkan bahwa saya dan Diana bisa membuat keputusan dengan cepat seolah-olah kami telah sering melakukannya. Saya sudah cerita kalau ini adalah pertemuan pertama kami to? Dalam perjalanan ke tempat kedua itu saya menyadari bahwa teknologi telah menjadi bagian penting dalam hidup manusia-manusia jaman now. Kami dekat via Facebook dan jejaring pertemanan yang sama: literasi.
Berkat teknologi informasi yang berkembang cepat, kita bisa menjalin pertemanan yang akrab dengan seseorang di tempat yang jauh. Bertukar sapa, berbagi ide, dan menjadi teman. Pertemuan muka ke muka menjadi lebih mudah dilakukan–seolah kita telah melakukannya berulang kali–sebab Facebook telah menjadi prolog panjang yang hebat. Ckckck.
Bulan datang malam itu. Di FA Cafe, saya, Richard, dan Diana bercakap-cakap dengan berteriak-teriak. Bukan karena kegirangan tetapi karena band di kafe itu bernyanyi dengan volume hebat ditambah koor pengunjung yang lain. Beberapa kali suara teriakan saya terdengar seumpama solo yang aneh. Saya masih bicara dengan nada yang kencang ketika lagu selesai. Orang-orang menoleh. Saya mengangguk ke arah mereka dengan sopan. Kita semua pernah begitu, to?
“Besok kami ke Nihiwatu,” kata saya pada Diana dan Richard. Ketika saya mengatakan Nihiwatu dengan power yang sama, band berhenti. Orang-orang menoleh. Beberapa wajah seperti menuduh bahwa saya hendak pamer. Pamer bahwa saya akan ke Nihiwatu?
“Tidak semua orang bisa ke Nihiwatu. Hanya tamu resort. Kami yang di Sumba saja belum pernah ke sana,” jelas Diana kemudian. Saya lalu mengerti pandangan orang-orang tadi. Jadi begitu. Nihiwatu bukan tempat wisata yang dapat diakses publik luas.
Nihi Hotels Managing Partner, James McBride dalam sebuah penjelasannya yang saya baca di Kompas(dot)com bercerita bahwa nama tempat itu telah di-rebranding menjadi Nihi Sumba Island. Dianugerahi sebagai yang terbaik di dunia karena membangun tiga unsur di Sumba Barat yakni komunitas, lingkungan, dan ekonomi. Akan saya ceritakan ini di bagian lainnya.
Sekarang saya lanjut saja tentang Nihi Sumba Island yang tidak bisa diakses tamu umum itu. Bukan hanya Diana yang menuturkan cerita itu. Richard juga mengatakannya. Seorang penjual kain tenun di hotel juga mengungkapkannya. “Tempat itu mahal,” kata si penjual kain. Semahal apa, tidak dia ceritakan. Maka begitulah. Tak banyak orang Sumba yang pernah ke sana.
Diana dan kawan-kawannya barangkali tidak sangat berpikir tentang tempat itu karena sedang berjuang meningkatkan (sebut saja) melek literasi di Sumba (Diana pasti menolak predikat yang saya sematkan tentangnya di cerita ini).
Di FA Cafe dia merendah. “Kami hanya sedang berusaha supaya semakin banyak anak yang gemar membaca. Agak sulit karena untuk story telling kami harus mengajak orang yang menguasai bahasa lokal,” katanya. Bahasa/dialek lokal di Sumba cukup beragam. Dan, lihatlah. Dia pilih: “hanya sedang”, seolah-olah itu bukan sesuatu yang hebat.
Itu hebat sekali, Diana! Sekumpulan anak muda berjuang agar semakin banyak anak gemar membaca adalah sesuatu yang hebat. Suatu saat, sebagai akibat baik dari kegiatan mereka, cerita tentang Sumba dan sudut lain Nihi Sumba Island di internet tidak lagi bersumber dari situs-situs luar negeri atau travelling blogger dari tanah lain. Pencarian tentang Sumba akan membawa kita bertemu dengan tulisan-tulisan yang dibuat oleh bloger asli Sumba. Ana Humba.
Saya katakan itu kepada Diana. Juga pada siapa saja yang saya temui di semua tempat yang saya kunjungi. Berperanglah di mesin pencari agar orang-orang yang mengetik kata kunci tempat kita akan langsung diarahkan kepada tulisan kita, tulisan orang-orang dalam. Akan jauh lebih baik ketika cerita tentang Sumba, Ruteng, Kajuala, Jeneponto, dan tempat-tempat lainnya kita ketahui dari tulisan orang-orang dalam; orang-orang dari Sumba, Ruteng, Kajuala, Jeneponto, dan tempat-tempat lainnya itu.
Sebagai (orang yang mengaku diri) blogger, saya berusaha melakukannya. Saya bercerita tentang Ruteng dan segala isinya dan berharap ketika kalian mengetik “Tentang Ruteng” di mesin pencari, blog Ranalino.co ini ada di halaman satu. Dan itu terjadi. Silakan coba, kalau kurang yakin.
Baca juga: Orang-Orang Ini Dilarang Mengunjungi Tempat Wisata Kami!
Oh, iya. Diana berasal dari Sumba Timur, berkegiatan di seluruh pulau Sumba–termasuk pekerjaan formalnya sekarang membuatnya stay di Sumba Barat. Tahun lalu dia mengumpulkan beberapa cerpennya dalam satu buku. Buku berjudul Tanpa Judul. Hasil penjualan Tanpa Judul dia pakai membantu kegiatannya di bidang literasi tadi. Terbuat dari apa hati anak ini?
Kami minum kopi sampai habis. Saya memesan bir sebagai minuman penutup, beberapa gelas, yang mengantar saya pada kesimpulan bahwa teknologi informasi itu baik sekali. Mempertemukan saya dengan Richard, Richard dengan Diana, Diana dengan saya. Lalu kalian masih bilang bahwa Facebook tidak berguna? Kalian pastilah penggemar berat hoax yang lantas membenci teman Facebook kalian hanya karena berita-berita clickbait itu.
Diana memberi saya buku karangannya, saya memberi Richard kaos Wengko Weki Dite buatan saya, dan Richard memberitahu bahwa dia sibuk sekali sehingga tidak sempat bertemu saya lagi sampai saya berangkat dari Waikabubak ke Tambolaka dengan Damri yang sama menjemput.
Di FA Cafe, seorang pengunjung menyanyikan lagu Ed Sheeran. Lagu berjudul Perfect yang saya curigai sebagai hasil penyanyi asal Inggris itu mendengar I Love You-nya Celine Dion. Alur nadanya mirip. IMHO.
Bagian ini selesai. Bagian berikutnya adalah tentang pertemuan saya dengan Om Nanga di pulau Sumba. Om Nanga adalah orang yang tahu banyak tentang Nihiwatu. Cerita itu dia mulai dari kisah di tahun 1983. Yup! Sejak tahun itu nama besar Nihi Sumba Island mulai dirajut. Minuman penutup dengan Om Nanga juga adalah bir. Hidup bir!
—
29 April 2018
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Selanjutnya: Berkunjung ke Pulau Sumba, di Pantai Rua Om Nanga Bercerita tentang Nihiwatu.
—
Foto dari Facebook Diana Timoria.