Tidak ada yang baru di bawah kolong langit. Tetapi tentu saja tidak berarti bahwa kita boleh mengakui karya seni orang lain sebagai karya seni kita. Kenapa? Karena memang tir boleh begitu. Halaaah!
12 Januari 2020
Karya Seni Baru?
Yang main facebook dan tinggal di sekitar tempat kami tinggal sekarang, juga yang senang cek-cek WA Story tentu saja, bebeberapa waktu terakhir mungkin agak akrab dengan soal penjiplakan karya tari.
Pasukan Saeh Go Lino melihat gerakan, ide cerita, konsep busana dan musik yang mereka pilih untuk tarian mereka, dibajak komunitas lain; diunggah ke youtube dan menjelaskannya sebagai ‘hasil kreasi’ mereka. Dengan segera, video itu jadi percakapan ramai di komunitas kami.
Tentang Proses Penciptaan Karya Seni
Sebelum menduga (atau memastikan?) bahwa video itu adalah jiplakan atas karya yang sudah kami pentaskan sebelumnya, beberapa penari yang pernah membawakan tarian-tarian produksi Saeh Go Lino bersama koreografer kami Claudia Febriani Djenadut, mengingat-ingat lagi karya cipta tari yang sudah kami buat sejak tahun 2015 silam.
Ada beberapa. Saeh Go Lino Ge, Natas Labar Cama, Naka Naring Mose, dan apa lagi? Lupa. Tetapi yang saya tahu adalah bahwa dalam menciptakan tarian-tarian itu, Febry bersama tim memulainya dari merumuskan ide cerita, kemudian melakukan riset, lalu merumuskan simbolnya (baik dalam bentuk gerak, musik, maupun busana) pada tarian yang akan diciptakan. Setelah memastikan semuanya–membuat (sebut saja) storyboard hingga pola lantai–barulah proses latihan dimulai, musik di-mix, dan lain-lain.
Yang saya ingat betul adalah ketika hendak menciptakan tarian Saeh Go Lino Ge yang kemudian dipilih sebagai tarian utama (kami sebut anthem) komunitas kami. Video tarian itu sudah ada di kanal youtube Saeh Go Lino dan akan saya sertakan di bagian-bagian akhir catatan ini, di kolom deskripsinya juga disertakan narasi sinposis tarian itu.
Singkat cerita, untuk mendapatkan gerakan mengepak-ngepak sayap untuk tarian itu, kami belajar tentang Ngkiong (Kancilan Flores), burung endemik di Manggarai; kecantikannya, keindahan gerakannya, kebiasaannya, dll. Maka jadilah. Proses penciptaan itu terbantu karena musik yang dipilih adalah lagu Ngkiong Le Poco karya Ivan Nestorman.
Tarian ini kami sebut sebagai tarian bumi karena mulai dari kisah penciptaan (pohon-pohon tumbuh), dan untuk itulah, sebagai simbol, pada bagian awal tiga orang penari diam (duduk, rebah). Dua gerakan itulah yang paling sering kami temukan ada di karya orang lain setelahnya. Semoga saja mereka paham maknanya. Atau, jika mereka menginginkannya untuk makna yang lain dalam karya seni mereka, semoga berhasil.
Sedangkan untuk tarian lainnya, Natas Labar Cama, kami bercerita tentang satu dari lima hal penting dalam hidup orang Manggarai yakni: Mbaru Bate Ka’eng (Rumah), Uma Bate Duat (Ladang), Wae Bate Teku (Mata Air), Natas Bate Labar (Halaman/Tanah Lapang), Compang Bate Takung (Altar Persembahan). Tarian ini, yang seperti Saeh Go Lino Ge juga diciptakan pada tahun 2015, bercerita tentang pentingnya harmoni. Lagu yang dipilih adalah Ngkiong sebuah lagu tradisional Manggarai yang diaransemen dengan indah oleh Ivan Nestorman, dan Cau Lime Taude (diciptakan oleh Ivan Nestorman) dan ada di album milik Tohpati. Relasi muda-mudi diceritakan dalam tarian itu, dan gerakan dansa double step kami pakai di bagian akhir. Pilihan musik ini juga ada di video tari di youtube yang saya ceritakan di bagian awal tadi.
Baca juga: Saeh Go Lino dan Kalender untuk Bumi
Apakah yang mereka lakukan itu plagiat? Barangkali tidak benar-benar diniatkan begitu. Kami bisa saja telah keliru. Tetapi bisa diperhatikan lagi? Fakta-fakta ini: dua gerakan penting pada Saeh Go Lino Ge (mengawali tarian dengan duduk dan rebah), konsep busana/wardrobe daun-daun, dan pilihan musik yang sama persis dengan yang ada di Natas Labar Cama. Dua tarian tersebut telah dipentaskan berulang, termasuk lima kali pada tahun 2015 ketika dua tarian itu masuk dalam pentas Drama Musikal Ombeng. Artinya, tarian itu sudah jadi ‘pengetahuan umum’ sebagai produksi komunitas kami.
Namun, kami hanya bisa mempercakapkan itu–bahwa karya kami dibajak–karena belum pernah menyiarkan videonya kepada publik. Meski demikian, cukup banyak pihak, yang pernah menyaksikan “Ombeng” atau pementasan kami di beberapa tempat, dengan segera terhubung pada karya komunitas kami itu ketika melihat video youtube itu. Maka ramailah beranda Facebook dan WA-Story. Itu plagiat! Mereka bilang begitu, kami juga berpikir begitu.
Apakah Tukang Plagiat Karya Seni Itu Bersalah?
Ketika tiba di bagian ini, saya sesungguhnya mau sekali bilang: ya! Tetapi mungkin tidak bisa begitu di mata orang-orang yang merasa bahwa menciptakan sesuatu itu sama dengan “kau lihat beberapa orang punya karya lalu kau gabung-gabung lalu kau unggah di youtube lebih awal lalu kau jelaskan bahwa itu karyamu”. Begitulah.
Baca juga: Ucapan Terima Kasih Setelah Pementasan Drama Musikal Ombeng
Masih banyak yang merasa bahwa sepanjang tidak mengambil selurus-lurusnya, kau berhak mengakui karya seni orang lain sebagai karyamu sendiri. Tentu saja itu bukan soal. Bahkan, itu biasa. Tetapi ada satu hal penting dalam proses mengumumkan karya yang kau ciptakan dari hasil menonton-membaca-mendengar karya orang lain yakni menyertakan nama pencipta pertamanya dalam pengumuman itu.
Apakah kalimat terakhir tadi terlalu sulit dimengerti?
Begini: Ketika kau merayu pacarmu dengan kalimat aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu, dan pacarmu memelukmu erat karena berpikir kau romantis sekali, kau harus dengan segera mengakui bahwa kalimat itu kau ambil dari puisi “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono.
Atau, begini: Ketika kau menulis cerita, tentang seorang pemilik kebun yang membebaskan dua penjaga kebunnya memetik buah apa saja kecuali dari pohon apel di tengah kebun itu, jangan tersinggung dan berapi-api menjelaskan bahwa itu adalah karya orisinalmu ketika ada yang bilang bahwa kau menulis cerita itu berdasarkan kisah Adam dan Hawa di Kitab Suci Perjanjian Lama.
Bisa juga begini: Ketika ada yang setelah menyaksikan video di youtube itu segera menuduhmu membajak tarian Saeh Go Lino, kau tidak perlu repot-repot bilang: siapa yang pertama kali upload di youtube adalah pemilik karya sesungguhnya.
Percayalah! Kita tidak akan pernah menjadi kecil hanya karena tampil dengan karya orang lain. Tidak. Kita hanya menjadi kecil ketika tidak mengerti bagaimana cara memberikan kredit atas proses penciptaan orang lain dan menjadi semakin kecil ketika kita dengan jumawa mengakui karya orang lain sebagai karya kita sendiri.
Di dunia bernama penciptaan karya seni, kita semua adalah ‘pencuri’ sebab tidak ada yang benar-benar baru di bawah kolong langit. Kami ‘mencuri’ gerakan burung Ngkiong untuk tarian Saeh Go Lino Ge dan berjuang membuatnya tetap indah kalau tidak bisa lebih indah. Karena jika membuatnya lebih buruk, Sintus, salah satu penari kami pasti akan marah dan bilang: tidak masalah plagiat ka, tapi jangan bikin itu tarian jadi lebih buruk dari aslinya ka deee. Sa setuju!
Selebihnya? Berterima kasih kepada kreator sebelum kita bukan hanya soal sopan santun belaka tetapi terutama adalah penghargaan atas sebuah proses penciptaan. Sebelum sa tutup ini tulisan, kita nonton video tari Saeh Go Lino Ge dulu em.
Bagaimana. Su paham ceritanya? Terima kasih. Selanjutnya, izinkan saya menyiapkan diri untuk menangkis hujatan dari pasukan Saeh Go Lino setelah mereka baca tulisan ini. Mereka akan bilang: kae eee aeh, harus skali tulis dengan sopa-sopan ka? Hiks.
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
Foto: Courtesy of Saeh Go Lino
Biar di mulut katanya tdk apa2 asal tdk copy lurus2, tapiiii tiap kali mreka pentas, tetap ingat pemilik aslinya��. Memang e, penting patenkan karya seni satu ini. Kalau tidak,lama2 otak tumpul. Kita tunggu sj org punya ide, habis itu kita tinggal copy dan tambah sdikit. Se-Santuy itu.
Hiks… Semoga diskusi tentang hal-hal begini bisa berkembang baik.