|
Cinta Indonesia | Foto: Armin Bell |
Rana Cinta Indonesia, Sebuah Cerita tentang Bangsa
Tulisan ini hadir pada suatu malam di Ruteng yang dingin. Versi pertama langsung diunggah di blog keroyokan Kompasiana dan ketika dipindahkan ke blog pribadi, beberapa pembenahan harus dilakukan untuk beberapa kepentingan, terutama agar tidak dianggap sebagai pure copy paste. Berikut hasilnya.
Hampir tiga tahun silam saya menulis ini dengan rasa yang aneh, semacam haru yang membuat dada terasa penuh. Atau sesak? Entahlah. Mengenang kembali malam itu dan kesadaran bahwa anak kami beranjak besar dan mulai bersenandung lagu Indonesia Raya membuat saya merasa memiliki semacam kewajiban untuk me-repost dengan beberapa perubahan kecil yang saya sebut sebagai penyesuaian kecil tanpa mengubah arti. Parafrase? Entahlah…
Sebuah Cerita tentang Bangsa yang Sedang Sakit – Ruteng, 13 Januari 2011
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Tadi malam, bersama istri tercinta, nina nobo kami nyanyikan buat anak kami Rana. Bukan lagu Nina Bobo yang kalian kenal “Nina Bobo Ooo Niiina Bobooo, Kalau Tidak Boobo Digigit Nyamuk“… Bukan! Terlalu biasa mungkin…. Bukan juga lagu lullaby yang diambil dari lagu-lagu tradisional Manggarai seperti Landu, Nenggo dan sebagainya. Tidak!
Baca juga: Telinga Tak Selalu Mendengar
Tidak cukup fasih kami menyanyikannya. Nada-nada pentatonik jelas menjadi sesuatu yang sulit bagi kami penikmat akor mayor.
Lagu-lagu jazz favorit juga kami pastikan bukan pilihan yang menarik untuk membuat si kecil tidur nyaman. Sulit membayangkan Rana tertidur pulas jika sang bapak menyanyi Everlasting Love-nya Jamie Cullum atau Love Is A Many Splendered Things versi Sarah Connor. Selain liriknya susah, pilihan nadanya juga sulit. Kami, saya dan istri tercinta, sadar, lagu-lagu seperti itu hanya untuk dinikmati dan bukan untuk dinyanyikan sendiri apalagi kalau harus dipakai jadi lagu lullaby.
Maka pilihannya jatuh pada lagu-lagu dengan nada sederhana dan lirik yang juga sederhana, tetapi perpaduan keduanya jelas adalah sebuah keanggunan.
Gitar saya petik perlahan, mengalunlah lagu-lagu ini: Tanah Airku Indonesia (Ibu Sud), Rayuan Pulau Kelapa (Ismail Marzuki), Sepasang Mata Bola (Hendri Rotinsulu), Selendang Sutra (Ismail Marzuki). Pada beberapa nada, istriku tercinta konstan mengambil nada sopran–dia punya pengalaman solis dan saya percaya–dan saya kadang melompat ke alto, beberapa kali mencoba tenor.
Lumayan merdu, harmonisasi antara suara saya, istriku, nada-nada gitar dan nafas teratur si kecil yang perlahan tapi pasti tertidur lelap membuat kamar kami indah malam tadi. Tapi sayang, pilihan lagu ini membuatnya tak sekedar jadi lagu nina bobo.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Beberapa kali saya harus berusaha bertahan agar suara tak bergetar. Saya menangis, hati yang menangis dan mata tiba-tiba berair. Ini serius, tanya istri saya kalau kamu anggap saya lebay. Menjadi sangat melankolis. Tuhan pasti sedang dalam mood ketika menciptakan mereka, komponis-komponis sukses dengan lagu-lagu hebat dan super heroik, cinta bangsa dan negara sepenuh hati.
Perhatikan lirik-lirik lagu yang kami pakai sebagai lagu nina bobo. Mereka, para penciptanya, pasti hanya memikirkan satu hal pada proses kreatif mereka: Negeri Tercinta Indonesia. Lagu Rayuan Pulau Kelapa paling menyentuh… ‘pulau kelapa yang amat subur, pulau melati pujaan bangsa, sejak dulu kala…‘ Tuhan e… betapa para pencipta lagu-lagu ini sangat mencintai Indonesia.
Dan lihatlah, apa yang telah saya lakukan pada negeri ini? Bangsa kami berantakan, hancur lebur, tak bernada merdu, lagu sumbang di mana-mana. Maaf bangsaku. Aku tak bisa apa-apa. Aku mungkin seperti seorang pemuda yang hanya mampu memandang Seonggok Jagung Di Kamar dan bercita-cita akan sejahtera jika mampu menanam jagung tersebut dan berhasil banyak, seperti yang pernah ditulis W.S Rendra. Ah, benar-benar tak mampu berkata apa-apa.
Istriku terus menyanyi, nadanya semakin lirih melihat mata suaminya berair. Rana telah terlelap. Dan Indonesia hari ini dan sepertinya dalam waktu akan lama, hanya menyajikan cerita tak elok: Mafia Hukum tak pernah (atau tak akan?) selesai; TKI kita bernasib tak indah; beberapa televisi secara konsisten
mempertontonkan kebodohan–karena perbedaan politik lalu merasa berhak menjelek-jelekkan orang lain dan menyanjung pemilik sesuka hati. Sesama saudara saling serang hanya karena berbeda
cara sembahyang; tak banyak anak yang bilang terima kasih atau belajar minta maaf.
Rana, sebentar lagi kau tiga tahun, lalu beranjak besar dan tumbuh dewasa. Mungkin Indonesia akan berubah wajah saat kau besar nanti. Berharaplah dia menjadi bangsa yang besar dan indah, agar pantaslah kita menyanyi ‘Tanah airku Indonesia, negeri elok amat kucinta, tanah tumpah darahku yang permai, yang kupuja sepanjang masaaaa…‘ Semoga nyiur tetap melambai sebagai bukti kecintaan kami pada lingkungan dan bukan malah kau melihatnya hanya dalam buku-buku cerita.
Anakku, berharaplah bangsa ini membaik. Jangan berpikir sebaliknya. Mulailah masa kecilmu dengan pikiran-pikiran positif. Mungkin kami salah karena sulit berpikir bahwa bangsa ini akan membaik. Kaulah sekarang yang berpikir agar mampu berbuat sesuatu. Tapi satu yang pasti, Kami Cinta Indonesia. Kami hanya tak tahu harus buat apalagi. Bangsa ini sakit dan benar-benar sakit.
Kalau kau besar nanti, jadilah baik dan sembuhkan bangsa ini dengan sahabat-sahabatmu seusia. Tidak bermaksud membuat tugasmu menjadi berat, tapi kutahu, kau dan kawan-kawan seusiamu akan mampu karena kalian cerdas dan jauh lebih hebat dari kami semua. Maaf mewariskannya pada kondisi yang rusak.
Rana anakku… Kutahu, kau cinta Indonesia. Rana Cinta Indonesia.
Reblogged this on Susilo Reynald and commented: Tlisan favorit sya rsanya ini deh pak… saya bayangin klo saya punya anak trus ributnya seperti saya… tmbah hncur. Trus tdk bsa menamni rana menymbhkan indonesia. Moga2 tidak
Terima kasih hehehehePokoknya mari kita selamatkan negeri ini |… berat ini tugas to, lebih berat dari tugas pidato hahahaha