Pater Piet Pedo Neo, Imam dan Seniman (Bagian 1)

Pater Piet Pedo Neo adalah tokoh penting dalam musik liturgi Gereja Katolik Manggarai. Dr. Fransiska Widyawati, M.Hum, rekan kerja dan sahabat Pater Piet menulis empat bagian kisah tentangnya di Harian Flores Pos. Atas izin Dr. Fransiska, artikel tersebut diunggah di blog ini menjadi dua bagian. Selamat mengenang! 

pater piet pedo neo imam dan seniman bagian 1
Pater Piet Pedo Neo usai pementasan “Ombeng” di MCC Ruteng | Foto: Frans Joseph

Mengenang Pater Piet Pedo Neo, SVD


Hidupnya adalah Syair, Jiwanya adalah Musik (Pertama dari Dua Bagian)

Oleh: Dr. Fransiska Widyawati, M. Hum
Selasa, 10 Januari 2017 pukul 19.30, Pater Petrus Pedo Neo, SVD menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Umum Ben Mboy, Ruteng. Ia meninggal dalam usia 55 tahun 9 bulan, di usia puncak karyanya. Dukacita, rasa kehilangan, dan kekosongan yang luar biasa besar memenuhi seluruh atmosfer kehidupan warga civitas akademika STKIP ST. Paulus Ruteng, keluarga besar SVD, Gereja Manggarai, dan seluruh masyarakat Manggarai Raya. 
Betapa tidak, seorang guru, imam, motivator orang muda, sahabat dan di atas segala-galanya seorang maestro musik liturgi tanah Manggarai pergi untuk selamanya. Mari kita mengenang kembali hidupnya dalam rangkaian tulisan ini.

Keluarga dan Masa Kecil Pater Piet Pedo Neo, SVD

Pater Pit dilahirkan pada 25 April 1962. Bapanya Stanislaus Neo dan ibu Maria de Rosary menyapa Petrus Pedo Neo ini dengan nama kesayangan Pedo, Pe atau No Pe. Anak ke lima dari delapan bersaudara, ia paling cakep dan putih, sehingga saudara-saudarinya menyebut dia bule. Sewaktu kecil, No Pedo suka bermain di dalam kamar; bermain imam-imaman. 
Ia kerap memerankan diri sebagai pastor yang memimpin misa. Itulah momen dia mulai jatuh cinta pada panggilan hidup menjadi imam. Semasa bersekolah di SD St. Kornelius Larantuka (1969-1975), No Pe rajin misa pagi dan menjadi ajuda. Kebiasaan ini juga menjadi awal ia mulai menapaki jalan menuju pengabdi Gereja. 
Sejak kecil, No Pe juga tidak suka dengan kegaduhan. Ia menasihati saudara-saudaranya jika berbicara terlalu keras. Apabila dimarahi saudarinya, ia minta agar tidak dimarahi dengan berteriak-teriak. Watak halus dan lembutnya yang dikenal umat, mahasiswa, rekan kerja, dan siapa saja yang mengenalnya saat ini sudah perlahan terbentuk sejak masa kanak-kanak. 
Bakat seni Pater Piet adalah warisan dari keluarganya. Ayahnya seorang penggiat seni: suka bernyanyi dan bermain teater. Ia sering diundang bermain drama bersama teman-temannya dari kampung ke kampung. Adik-kakaknya suka bernyanyi dan bermain musik.

BACA JUGA
Narasi Tubuh dalam Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari

Baca juga: Pesan Moral Dongeng Anak, Apakah Ada?

Rumah mereka adalah panggung seni keluarga. Mereka kerap bernyanyi dan bermain musik bersama. Lagu pop maupun lagu rohani menjadi makanan jiwa, pengikat persaudaraan dan cara mereka merayakan kehidupan. 

Setamat SD, Pater Pit bersekolah di SMP St. Pankrasius Larantuka (1975-1978). Ia dikenal anak yang cerdas. Pernah ketika ia mendapatkan nilai yang terbaik, ia pulang ke rumah dan meminta ayahnya memberikan rokok bagi sang guru. Ia dikenal sebagai anak yang jujur, rendah hati, tenang dan tidak suka berkonflik. Ia tidak memiliki musuh, ia lebih suka mengalah. Ia juga suka memberi dan berbagi. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Ayahnya adalah seorang wirasusahawan. Ia memiliki usaha dagang dan mempunyai kios. Jika No Pe yang disuruh menjaga kios, banyak pembeli datang karena ia kerap menjual barang di bawah harga. Bahkan jika dilihatnya orang tak memiliki uang maka ia bisa memberi dengan gratis saja. Kalau selama hidupnya di kampus STKIP St. Paulus Ruteng ia suka memberikan jajanan kepada para mahasiswa, inilah salah satu dari ciri kepribadiannya sejak masa kanak-kanak. 

Walau sebenarnya tak menguntungkan untuk usaha dagang, tetap saja Bapa Stanis memercayakan dia menjaga kios. Keunggulan dia dibandingkan adik kakaknya ialah Piet rapi menyimpan uang, dipilahnya dengan sangat baik uang menurut besaran nilainya. Ia juga jujur kepada ayahnya.

Tak heran, ayahnya berharap kelak anaknya mau mewariskan pekerjaannya dengan menjadi pedagang. Ibunya pun demikian, Tak ada dalam benak ayahnya anaknya menjadi seorang imam.

Menjawabi Panggilan dan Masa Studi di Seminari Menengah

Menjelang tamat SMP, No Pe, sapaan manis Pater Piet, diam-diam mendaftar masuk ke seminari menengah di Hokeng. Kekagumannya pada sosok imam, kebiasaannya bermain imam-imaman di masa kanak-kanak serta kesetiaannya menghadiri perayaan Ekaristi dan menjadi ajuda atau putra altar telah memanggil dia ke kebun anggur Tuhan. Ia tidak memberi tahu keluarganya mengenai niatnya itu; ia tahu ayahnya berharap kelak ia menjadi pedagang yang melebarkan usaha dagang keluarga mereka. 
Diam-diam ia belajar tekun agar bisa lulus tes masuk seminari. Niatnya terkabul. Ia lulus. Tetapi ia tidak langsung memberitahukan hal itu kepada keluarganya. Ia takut orang tuanya tak mengijinkan ia masuk seminari. Kabar kelulusannya diketahui ibu, ayah dan saudara-saudarinya justru dari tetangga mereka; bahwa ada nama No Pe dalam daftar pelajar yang diterima masuk seminari Hokeng.

BACA JUGA
How To Find A Missing Cat and Save Your Marriage in Haruki Murakami's "The Wind-Up Bird Chronicle"

Mendengar kabar itu, di satu sisi, orang tuanya bangga karena anaknya terpilih, di sisi lain mereka sebenarnya tidak menyangka ia akan mengikuti tes tersebut dan tidak juga mengharapkan si anak masuk ke seminari. 

Meski berat dan juga ragu, orang tua merestui No Pedo masuk SMA Seminari San Dominggo Hokeng. Demikianlah ia mulai menjalani masa studi di seminari menengah selama tiga tahun (1978-1982). Kawan-kawannya memberi kesaksian bahwa No Pedo anak yang tenang, ramah, suka senyum dan bergaul tanpa pandang bulu. 
Pada tahun 1979 terjadi bencana banjir bandang besar di Larantuka. Kampung orang tua No Pe hancur. Bersama warga lainnya keluarganya mengungsi di Weri. No Pe datang dari seminari dan mengunjungi keluarganya di Weri. Ibunya, Mama Maria de Rosary sempat meminta No Pe supaya kelak jangan memilih menjadi imam. Mama berharap No Pe memilih pekerjaan lain yang bisa cepat menghasilkan uang guna membantu ekonomi keluarga. 
Keadaan sebagai pengungsi yang hidup susah memang membuat orang berharap hidup dengan kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Sesuatu yang sangat realistis. Mendengar permintaan ibu, No Pe menjawab “Entah Bapa Mama susah atau senang, saya tetap akan menjadi Pastor”. Semua terdiam dan ayahnya menitikkan air mata. 
Baca juga: Pelajaran Cahaya dan Dua Puisi Lainnya

Suara panggilan Tuhan tak bisa ia bendung. Setamat SMA seminari di Hokeng ia mohon ijin untuk meneruskan panggilannya. Tahun 1982, dengan bus, berangkatlah ia ke Ledalero bersama Yan Fernandes, sahabat kelasnya dari Larantuka. Sebelum ke Ledalero mereka terlebih dahulu menginap di rumah keluarga di Maumere. 

Keesokan harinya, ketika bangun, No Pe dan Yan pamitan keliling kota Maumere untuk berbelanja barang yang akan dibawa ke asrama. Supaya tidak kelihatan berasal dari kampung, mereka memakai kemeja baju lengan panjang dan sepatu. Mereka berjalan kaki karena belum banyak kendaraan, hanya kuda saja yang banyak berlalu lalang di sana. 
Yan bertanya, “No Pe, apakah engkau tahu jalannya?” 
No Pe menjawab, “Tenang saja, saya sudah pernah ke Maumere, ini cuma kota kecil”. 
Jam 8 pagi mereka keluar dari rumah dan hasilnya mereka tidak menemukan apa-apa dan terutama, mereka tidak tahu jalan pulang. Mereka tersesat. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
BACA JUGA
Mimpi-mimpi yang Menepuk Pundak

Karena belum pulang rumah sampai jam 7 malam, keluarga sangat cemas dan melaporkan kehilangan keduanya ke kantor polisi dan bahkan melalui radio. Polisi menemukan keduanya duduk kelelahan dan membawa mereka pulang. Malam itu Yan bertanya, “Pedo katanya engkau mengenal baik kota ini, memangnya sudah berapa kali kau ke Maumere”? 

Ia menjawab, “Sebenarnya baru sekali kawan, yaitu tahun 1971 (sebelas tahun sebelum hari itu, ed.), saya dan ayah saya naik kapal dan berlabuh di Maumere. Ayah turun dari kapal dan saya melihat Maumere dari dalam kapal saja.” Keesokan harinya keduanya dihantar ke novis di Ledalero oleh keluarga, agar tidak tersesat lagi. 
Masa novis dijalankan di Ledalero pada tahun 1982-1984. Ia tekun mempersiapkan diri menjalani mengikuti suara panggilan Tuhan. Pada tanggal, 2 Agustus 1984, ia mengucapkan kaul pertama di Ledalero.

Menjelang upacara ini, ayah dan ibunya masih belum yakin dengan panggilan anaknya. Maka mereka kembali bertanya apakah ia serius dengan jalan ini. No Pe menjawab, “Saya kelak tidak hanya menjadi imam, nanti saya juga akan menjadi uskup”. Mendengar jawaban ini, orang tuanya sadar bahwa niat sang anak untuk menjadi imam sungguh tulus dan kuat. (bersambung)


Catatan:
  1. Bagian selanjutnya ‘Profil Pater Piet Pedo Neo, SVD (Bagian Kedua, Habis)’ akan berisi dua kisah penting yakni “Perjalanan Menjadi Imam dan Seniman Gereja” serta “Sang Maestro”.
  2. Dua kisah di tulisan ini sebelumnya dimuat pada dua edisi berbeda (berurutan) di Harian Umum Flores Pos.
Bagikan ke:

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *