Berwisata adalah hak segala bangsa. Oleh sebab itu maka menjadi wisatawan adalah hak semua orang. Tetapi beberapa orang dilarang mengunjungi tempat wisata kami karena telah terbukti melanggar kebebasan alam.
Ada beberapa alasan saya tidak sangat menyukai perjalanan ke tempat-tempat wisata.
Pertama, saya sering tidur dalam perjalanan. Ketika terjaga kami sudah tiba di tempat tujuan dan biasanya tingkat kepuasan tidur belum tercapai sehingga saya harus segera mencari tempat dan melanjutkan mimpi. Ketika ke gunung Bromo beberapa tahun silam, kami tiba malam di tempat menakjubkan itu. Beberapa teman sibuk memesan teh panas–yang dengan segera menjadi teh dingin, saya sibuk lirak-lirik tempat terbaik untuk tidur.
Kami sekelompok mahasiswa dan tidur di alam selalu menjadi pilihan. Alasannya bukan semata karena kami muda dan berbahaya karena jiwa petualang yang keren, tetapi karena kami muda dan bermodal sangat sedikit tak bisa membayar kamar penginapan.
Kedua, sejak My Trip My Adventure berhasil jadi tagline populer, semua orang berlomba berwisata. Foto-foto, update medsos, lalu tinggalkan sampah di lokasi. Setelahnya, dengan bodohnya mereka yakin bahwa foto selfie mereka telah membantu promosi pariwisata. Mereka lalu bilang: “Kalau pemerintah tidak bisa promosi, kita lakukan yang kita bisa”. Mereka lalu minum air mineral kemasan dan botolnya dibuang begitu saja. Mereka merokok dan bungkus kosongnya dilepas di sana. Mereka lalu makan mie instan dan kau tahu apa yang terjadi kemudian.
Beberapa setelahnya mereka lihat seseorang mengunggah foto lokasi yang pernah mereka kunjungi itu telah penuh sampah. Mereka marah dan mengutuk pengelola yang tak becus dan pengunjung yang tidak menjaga kebersihan. Oh….! Saya tidak mau berwisata karena takut berjumpa kebodohan seakut dan selaten itu.
Ketiga, saya mencintai alam ini dan telah lama percaya love shall you free. Maka sampai saya menemukan cara untuk berkunjung dan pulang tanpa membuatnya menderita, saya menikmati mereka via gambar atau cerita.
Baca juga: Wisatawan Tidak Asal Pakai Bikini, Tidak Perlu Unggah Semua Foto
Itu kira-kira tiga alasan kenapa menjadi pelancong tidak pernah menjadi cita-cita terbesar saya. Bahkan dalam setiap perjalanan yang harus, sesungguhnya yang paling saya nikmati adalah bertemu orang-orang. Pelancong lainnya. Hanya saja, tidak semua orang adalah pribadi yang menyenangkan untuk dijumpai. Beberapa tipe bahkan seharusnya tidak diizinkan menjadi pelancong.
Ada lima tipe yang saya temukan, dan saya tulis di catatan ini plus alasan-alasannya. Mari simak….
Orang-orang Ini Dilarang Mengunjungi Tempat Wisata Kami
1. Yang Wajahnya Menutup Lokasi Wisata
Ini tentang turis, wisatawan, pelancong, atau apa pun namanya yang berkunjung ke tempat wisata dan ingin seluruh dunia mengetahui perjalanannya itu. Dia lalu selfie, swafoto, jepret muka sendiri, lalu diunggah ke Instagram, Facebook, Linkedin, Blog, Twitter, cetak foto 10 R di Toko Remaja, lalu bikin caption #IniPulauPadar.
Sunggumati, kau akan sulit menemukan keelokan pulau Padar di foto itu tetapi karena pengaruh kepsyen kau berusaha mencarinya lalu bertanya-tanya: “Sebesar itukah lubang hidung pulau Padar yang terkenal itu?” Betapa baiknya selfie, tetapi betapa buruknya swafoto yang tidak berhasil menjelaskan caption.
2. Yang Tidak Tahu Baca
Ini serius! Eh, tidak juga. Semua orang boleh jadi wisatawan. Tidak ada kriteria level kemampuan membaca kalau ingin jadi pelancong. Yang jadi soal adalah ada orang-orang yang bersikap seperti tidak bisa membaca.
Biasanya, di tempat-tempat wisata publik, pihak pengelola memasang tulisan peringatan agar tidak membuang sampah di sembarang tempat. Tetapi kita membuang sampah di mana-mana. Tanpa rasa bersalah, seolah-olah dunia ini punya tugas untuk mengurai sampah-sampah kita; sampah cerita oleh udara, sampah plastik oleh tanah.
Gosh, mereka ada di mana ketika para peneliti merilis informasi bahwa sampah plastik baru dapat diurai setelah beribu-ribu tahun lamanya? Di Pantai Pede di Labuan Bajo, sampah-sampah plastik bertebaran. Di pantai itu Komunitas Saeh Go Lino pernah mementaskan opera berjudul “Ora The Living Legend”. Saya sedih!
Pernah dengar cerita tentang seseorang yang ditegur karena membuang sampah di sembarang tempat lalu menjawab: trus saya harus buang ke langit? Yang seperti itu bukan hanya tidak bisa membaca sepertinya tetapi juga tidak paham gravitasi. Orang-orang ini yang bikin Isaac Newton tidak bisa beristirahat dalam damai.
Untuk tipe seperti itu dan semua yang membuang sampah di tempat-tempat wisata, hanya ini kalimat yang bisa kita berikan: Biasakan mengkonsumsi bekalmu dengan kemasannya sekaligus. Lakukan juga itu pada tissue yang kau pakai untuk menghapus keringat dan masa lalumu yang menyedihkan itu.
Dude, please! Bawa kresek, pakai kantong/saku baju dan celanamu, atau ransel merk rekomendasi para pelancong profesional untuk menyimpan sampah-sampahmu. Kau sedang di tempat wisata yang akan dikunjungi lagi oleh ribuan orang lainnya. Kalau kau membuang sampahmu di sana, ingatlah pada peribahasa: sedikit demi sedikit sampah-sampah menjadi bukit.
3. Yang Suka Bawa Bekal Sendiri
Ini tentang ekonomi kreatif. Anda tentu tidak dilarang membawa bekal. Bahkan harus, apalagi kalau kau punya pantangan tertentu atau membawa anak-anak dalam perjalanan. Bawalah bekal secukupnya. Yang dilarang adalah membawa bekal berlebih dengan harapan akan ada yang kelaparan lalu sisa bekalmu kau jual. Situ mau wisata apa dagang?
Jadi begini. Sebelum ke lokasi wisata, lakukan riset tentang ketersediaan aneka kebutuhanmu di tempat itu. Kalau di sekitar lokasi wisata ternyata ada pedagang makanan, jangan bawa bekal makanan. Beli di lokasi. Selain mengurangi resikomu membawa pulang sampah–harusnya kau mengerti maksud kalimat ini–kau juga telah mengambil bagian dalam usaha mendukung program ekonomi kreatif.
Mereka yang berjualan di sekitar lokasi wisata itu adalah orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari pariwisata. Berbelanjalah di sana. Ada selendang tenun, ada miniatur obyek wisata, ada kartu pos, ada kaos Wengko Weki Dite, ada macam-macam yang lainnya. But, watch your wallet, yang artinya apa itu dompet *lol. Pastikan bahwa kau tetap bisa pulang dan bukan malah bertahan di sana menjadi penjual agar punya uang untuk tiket pulang. Itu!
4. Yang Tidak Tahu Cuaca
Pilihan lokasi wisata selalu berhubungan dengan cuaca. Kau tidak bisa memaksa berkunjung ke Labuan Bajo atau ke Wae Rebo kalau ingin melihat salju. Karena kalau benar di sana ada salju, itu artinya cuaca sedang sangat buruk dan bukan waktu yang tepat untuk melancong.
Contoh lain rasanya mudah ditemukan. Kau tidak boleh mengunjungi pantai ketika BMKG sudah mewanti-wanti tentang tinggi gelombang yang menggila. Kau tidak bisa ke gunung saat curah hujan sedang tinggi. Kau tidak boleh ke rumah mantan ketika pacarmu sedang bersamamu, #eh.
Pokoknya begitu. Seorang pelancong haruslah memiliki kemampuan menentukan waktu berkunjung dengan tepat seperti seorang guru yang harus tahu mata pelajaran yang dia ampu. Jangan asal terjun dengan modal semangat.
5. Yang Lebay
Pliss deh…! Berkunjung ke taman safari pakai baju My Trip My Adventure itu berlebihan. Sama seperti kau hendak ke gunung tetapi pakai sepatu tumit tinggi. Ke Lodok (spiderweb rice field) Lingko Cara pakai kemeja lengan panjang dan dasi kupu-kupu juga lebay.
Tetapi sesungguhnya poin terutama di bagian ini adalah: Wisata merupakan salah satu jalan menghargai kehidupan dan penciptanya. Wisata itu sesuatu yang spiritual. Mewartakannya kepada dunia tentu saja baik, tetapi mengolok-olok orang yang tidak melakukannya itu berlebihan.
“Horeee… kami sudah melihat spider web rice field di Lingko Meler. Kaciaan deh yang belum pernah!” WHAT? Itu lebay, Fellas. Yang kau sukai, tidak harus disukai oleh temanmu, bukan? Juga oleh gebetanmu. Apalagi oleh mantan dari kekasihmu kini.
Maka saya kadang (atau sering?) alergi dengan mereka yang merasa telah menjadi pahlawan karena berkeliling Flores, mengunggah foto-fotonya di media sosial, dan dengan segera merasa sebagai orang yang paling mencintai Flores karena membantu promosinya. Haiiiisss… itu lebay. Lalu kami yang tidur malam pakai kain tenun songke Manggarai ini tidak cinta Flores?
Kalau kalian merasa menjadi satu dari lima tipe di atas, hentikan niat menjadi pelancong. Dilarang mengunjungi tempat wisata kami. Kalau lima-limanya semua cocok dengan Anda, pikirkan peluang untuk memiliki hobi yang lain. Menjadi orang aneh, misalnya. Itu juga hobi, meski tentu saja tidak cukup baik.
Di luar lima tipe itu, kalian adalah orang-orang dengan tiket berwisata ke mana saja. Juga ke tempat kami, Pulau Flores yang indah ini.
—
2 Februari 2018
Salam dari Ruteng
Armin Bell
—
Gambar dari RedDoors.com.
Keren. Kae memang punya cara pandang tersendiri melihat situasi dan kondisi yang terjadi di sekitar kita. Salut dan menginspirasi.
Terima kasih, Erik. Saya pernah mampir ke blog Erik dan senang bahwa semakin banyak yang memutuskan bikin blog. Itu keren. Keep the spirit up! Tabe.
Saya suka poin utama di tipe pelancong 5.. dan pernah ketemu dgn pelancong yg kena jangkit tipe ini… terima kasih krn mengingatkan kembali ttg eksistensi tipe2 pelancong ini…they really2 exist.. malu jg sih krn pernah kena jangkit salah satu dua tipe di atas…hehehe..
Terima kasih sudah mampir. Kita semua pernah menjadi seperti satu atau dua tipe di atas. Semoga ke depan, semakin berusaha menghilangkan hal-hal buruk itu hehehe. Saya selalu percaya: travelling is spiritual 🙂
Keren *yang lebay
Terima kasih, Yani 🙂
Terima kasih sudah mampir kae. Mohon arahannya.
Oleeee… sama-sama belajar ta. Saya biasanya sempatkan blogwalking untuk dapat bahan dan lihat orang punya cara olah blog e hehehe
Terima kasih kae. Sukses untuk Ranalino.id
Amiiiin 😀
Mantap kk, saya ijin share.
Sip sip sip. Terima kasih, RegiRabi.