Bagaimana rasanya menjadi Yosef? Dia adalah bagian penting dari kisah penyelamatan tetapi menjalaninya tanpa kata-kata.
Semula tulisan ini akan berjudul “Menjadi Lelaki Tanpa Teks”. Tetapi karena sikap adalah juga teks sedangkan yang saya maksudkan adalah komunikasi verbal, judul inilah yang akhirnya saya ambil.
Yosef adalah yang sedang saya maksudkan dengan lelaki tanpa kata itu. Bapa Yosef, Yosef yang itu, yang tunangannya dipilih Allah menjadi Bunda Yesus Kristus. Yosef dari Kitab Suci. Yesus, Maria, Yosef selanjutnya dikenal sebagai Keluarga Nasaret.
Keluarga Nasaret adalah teladan hidup seluruh keluarga Katolik di mana saja berada. Pada “mereka” terdapat semua contoh yang dapat digunakan sebagai pedoman hidup berkeluarga: kerelaan, cinta, keikhlasan, protes, percaya, luka, memahami risiko, dan lain sebagainya.
Malam menjelang hari ulang tahun pernikahan kami yang ketujuh, saya dan istri tercinta ke Patung Hati Kudus Yesus di samping Toko Tarzan Ruteng, Manggarai. Berdoa, memohon ampunan, mengucap syukur, menyampaikan harapan (dan merupakan bagian terbanyak malam itu).
Lilin bernyala dan Celestin memimpin doa. Pada salah satu bagian permohonannya, dia menyampaikan harapan agar kami mampu meneladani Keluarga Nasaret. Doa yang biasa tentu saja, tetapi saya adalah suami dan juga Ayah. Persis seperti posisi Yosef dalam organisasi paling kecil bernama keluarga itu. Maka saya lalu ingat Kitab Suci tentang bagaimana keturunan Daud itu menerima semua tugas yang diturunkan kepadanya dengan diam, tanpa kata-kata.
Lupakan tentang dilema Yosef ketika ‘ditugaskan’ mengambil Maria menjadi istrinya–mereka bertunangan tetapi Maria mengandung dari Roh Kudus, dan mari mengingat kisah lain dalam Kitab Suci tentang Yosef yang menerima semua tugas dalam ‘pernikahannya’ itu dengan tulus.
Saya jelas mengagumi Yosef dengan sepenuh hati karena keikhlasan yang melampaui dirinya sendiri. Tetapi menjadi lelaki tanpa kata seperti Yosef barangkali adalah hal yang akan terasa sangat berat buat saya yang senang berdebat, bicara, menulis, menyanyi, dan batuk. Celestin juga tentu tidak berharap saya mendadak berubah menjadi diam tanpa kata ketika malam itu dia meminta agar Tuhan membantu kami mengambil teladan dari Keluarga Nasaret. Karena kalau begitu, dia akan kehilangan teman berdebat, bukan? Iya to, Ma?
Yang sedang kami minta melalui daras doa pada malam menjelang ulang tahun pernikahan kami yang ketujuh adalah teladan yang telah ditunjukkan teks tentang kerelaan, cinta, keikhlasan, protes, percaya, memahami risiko, dan lain sebagainya, serta melalui semuanya dengan tenang.
Bahwa kebahagiaan boleh diceritakan tetapi tidak dengan tujuan pameran, bahwa kesedihan boleh sesekali dicurhatkan tetapi tidak dengan niat mendapat iba, bahwa pertengkaran tak perlu sampai ke dinding-dinding dunia maya. Mungkin itu yang sedang kami minta. Menjadi tenang. Jika mungkin, tanpa kata, menyimpan semua perkara dalam hati, dan percaya.
Sudah tujuh tahun dan kita sungguh baik-baik saja, Ma. Apa lagi yang kita butuhkan selain percaya bahwa di tahun-tahun selanjutnya semua akan sungguh baik-baik saja? Ada Rana dan Lino. Kita kurang apa? Iya, to?
Maka saya senang sekali ketika di depan Patung Hati Kudus Yesus, Celestin, istri saya itu, berulang kali menyampaikan ucapan syukur. Bersyukur bahwa kita menemukan satu sama lain, bahwa kita menikah, bahwa kita punya dua anak yang sehat dan luar biasa, bahwa kita mendapat kontrakan baru, bahwa kita pernah bertengkar hebat, bahwa kita pernah berangkat tidur tanpa bilang I love you karena sedang tidak enak hati, bahwa ada begitu banyak orang di sekitar kita yang menjadi perantara berkat, dan bahwa-bahwa lainnya.
Saya mengagumi doa itu. Bersyukur yang selama ini selalu saya hubungkan dengan suka cita ternyata tidak cukup. Celestin bersyukur tentang pertengkaran-pertengkaran yang juga kami lalui: mendewasakan, memberi pelajaran.
Saya memutuskan ‘menjadi Yosef’ pada masa doa itu. Menjadi lelaki tanpa kata yang setuju pada semua ujud istri tercinta. Doa yang dia sampaikan, bukankah adalah kata-kata dari Atas yang dititipkan ke dalam mulutnya? Demikianlah saya menjadi lelaki tanpa kata pada doa itu dengan seluruh tubuh mengatakan setuju. “Ada yang mau disampaikan, Pa?” Tanya Celestin. Saya menggeleng. Sudah lengkap dalam doamu; kita bukan lagi dua melainkan satu.
Saya menunduk dalam ketika kami sampai di akhir doa dan lilin telah habis setengah. Tujuh tahun. So far so great.
Lalu saya angkat kepala. Meski ini bukan malam anugerah Oscar atau Piala Citra, izinkan saya mengangkat piala tujuh tahun ini dan menyampaikan terima kasih kepada Tuhan Yesus, Bunda Maria, Bapa Yosef, orang tua, saudara, sahabat, dan semua yang mendukung perjalanan pernikahan kami. Tujuh tahun ini adalah hadiah untuk kita semua.
—
11 Juli 2017
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
senangg sekali membaca tulisan ini sahabat. sangat menginspirasi kluarga kami.semoga selalu bahagia Tuhan memberkati.
Terima kasih banyak sudah mampir, Max. Salam buat keluarga.Tabe
Saya jg senang membacanya. Plus foto yg bagus. Nice couple! Tabe…
Terima kasih sudah mampir. Tabe.
Selamat ulang tahun pernikahan kk Armin dan kk Lestin. Selalu mnjdi inspirasi dan penebar sukacita.
Siap hehehehe