ketika tahu ketua komunitas blogger milenial dari ntt blogger ruteng ranalino

Ketika Tahu Ketua Komunitas Blogger Milenial Berasal dari NTT, Saya Terharu

Beberapa waktu lalu saya dapat kabar dari televisi. Kabar yang hebat. Ketua Komunitas Blogger Milenial berasal dari NTT. Kok bisa?


Ruteng, 7 Maret 2019

Namanya Rifaiz Lamahoda. Muncul di televisi. Mammamia e. Bahagia sekali rasanya. Ada orang NTT muncul di tivi dengan jabatan yang hebat sekali: Ketua Komunitas Blogger Milenial. Tapi kenapa berita baik di Metro TV itu malah bikin saya sedih?

Begini. Bagaimanapun, saya selalu merasa bahwa saya adalah blogger paling terkenal di kelompok doa kami, KBG St. Helena, Kedutul – Ruteng – NTT. Saya juga merasa bahwa ngeblog itu pekerjaan yang mulia karena menciptakan bacaan alternatif ketika media menstrim cenderung seragam. Saya juga percaya bahwa dari NTT akan lahir blogger-blogger hebat. Mungkin saya sedang sakit dan iri hati kalau tidak bahagia dengan kemunculan kaka ganteng Rifaiz di layar kaca. Sunggumati, sa bahagia betul!

Tetapi kebahagiaan saya tidak bertahan lama. Direnggut dengan kejam dalam hitungan menit oleh para blogger dari seluruh nusantara jaya. Kak Rifaiz, panutan baru saya itu, diolok-olok karena alasan sederhana. Dia dituding telah menjadi pemimpin komunitas yang maya. Bahwa blogging itu daerah mainnya adalah dunia maya, saya tahu. Tetapi Komunitas Blogger Milenial ini dituding maya dalam arti sebenar-benarnya, sebagaimanan pengertian kata itu dalam KBBI: ma.ya (1) 1. a hanya tampaknya ada, tetapi nyatanya tidak ada; hanya ada dalam angan-angan; khayalan.

Sa tir trima. Asli. Sulit sekali rasanya menerima tudingan bahwa ada orang NTT memimpin komunitas yang tidak nyata adanya, padahal dia sudah muncul di tivi, berorasi, menentang meluasnya kebodohan soal yunikon-yunikon yang onlen-onlen itu, melakukannya dengan puluhan orang yang semula saya percayai adalah anggota komunitasnya.

Sebenarnya, jauh di lubuk hati yang dalam saya heran juga dengan kemunculan Rifaiz dan komunitas yang dipimpinnya ini di televisi; melakukan aksi demonstrasi. Bagaimana mungkin ada blogger yang alih-alih menyampaikan pendapatnya lewat tulisan di blog mereka, malah memutuskan turun ke jalan dan berdemonstrasi? Blogger itu kerjanya menulis di blog, kan? Blogger turun ke jalan-jalan itu kan biasanya untuk mencari bahan. Bahasa kerennya riset. Bukan untuk menyampaikan aspirasi. Pendapatnya bisa (dan memang harus) disampaikan via blog-nya. Karena, kalau pendapatnya disampaikan di gedung dewan sambil tidur itu namanya anggota dewan. Di kantor kelurahan namanya peserta rapat. Di ruang makan namanya anggota keluarga. Di jalan? Yang pasti bukan blogger atau atas nama komunitas blogger.

BACA JUGA
Menjadi Blogger Tidak Akan Buat Seseorang Mendadak Keren Bagian Kesebelas

Kalau blogger sesekali berkumpul di dunia nyata, itu juga biasanya untuk diskusi. Kadang-kadang untuk memburu goodie bag juga. Tempatnya di gedung ber-AC, ada pembicara, ada pendengar, ada yang tidur sambil menanti waktunya kuis berhadiah. Tetapi bukan untuk demonstrasi. Apalagi demonstrasi yang ada politik-politiknya seperti yang dibuat Kaka Rifaiz kebanggaan kami itu.

Tetapi saya menolak keras terenggutnya kebahagiaan itu begitu saja. Sebagai blogger sejati, saya segera blog walking dengan harapan, segera menemukan alasan yang mampu mematahkan olok-olokan pada tokoh muda baru kami itu. Yang saya harapkan adalah ketika mengetik Rifaiz Lamahoda, google mengarahkan saya ke blog kaka ganteng kami dari NTT itu.

Yang saya temukan adalah di halaman pertama tidak ada blog Rifaiz Lamahoda di search engine result page a.k.a SERP. Yang ada hanya tautan ke akun facebook, padahal facebook bukan blog. Di halaman dua juga begitu. Di halaman tiga? Ah, google keterlaluan sekali. Bisa-bisanya hanya menyediakan dua halaman untuk nama seseorang yang sudah muncul di tivi dan menjadi ketua komunitas blogger milenial. Entah sejak kapan google jadi kejam pada orang NTT, eh, maksudnya blogger. Apa belum cukup siksaan mereka dengan menutup Google+?

Maka mau tidak mau, dada saya sesak lagi. Dengan alasan yang berbeda. Kalian tahulah alasan itu. Kalau kalian dari Rwanda terus ada satu orang Rwanda diolok-olok di media sosial, apa iya dada kalian tidak sesak karena malu?

Baca juga: Surat Terbuka dari Ruteng untuk Najwa Shihab

Demi mengurangi dada sesak itu, saya berusaha berpikir positif. Tarik napas dan hembuskan, seperti ibu-ibu di kelas yoga; berkali-kali, dengan tenang, dan taraaaa… Namaste. Hasilnya benar-benar positif.

BACA JUGA
Karena Kita Inferior, Hidup ini Menyedihkan Sekali

Begini …

Ketua komunitas blogger milenial kan tidak harus pernah menjadi blogger. Sama seperti Ketua PSSI kan tidak harus bisa main bola. Kepala Dinas Pariwisata tidak harus orang yang paham soal pariwisata. Ketua badan pemenangan nasional tidak harus bebas narkoba, eh? Artinya, meski tidak punya blog, Kak Rifaiz tetap berhak menjadi ketua komunitas blogger milenial. Masih wajar. Kebanggaan saya sebagai orang NTT membuncah lagi. Persetan dengan kamu blogger tukang olok dorang, kami pu orang jadi ketua komunitas. Apa? Apa?

Lalu kebanggaan itu melorot lagi. Ke titik yang lebih rendah. Merayap mungkin bahasa yang tepat. Bersetubuh dengan bumi kalau orang Malaysia bilang. Atau kalau mau lebih buruk, kebanggaan saya itu mendadak menguburkan dirinya sendiri. Karena ya itu tadi. Komunitas Blogger Milenial itu memang benar-benar maya. Tidak ada. Mesin pencari tidak berdaya memanggil apa pun selain berita soal bahwa mereka melakukan aksi demonstrasi. Duh! Bagaimana mungkin ada komunitas blogger yang tidak terekam jejak digitalnya? Sa malu betul. Lebih malu dari seorang lelaki tampan yang mabuk bir lalu ditampar anak kelas tiga es-de. Pukultuju e.

Yang bikin terharu bin kesal adalah karena cerita-cerita hebat tentang geliat literasi di NTT yang juga diperjuangkan para blogger tanah ini akhirnya seolah tertutup oleh loncatan kuantum Kak Rifaiz Lamahoda tercinta. Padahal, belum juga kering luka kami (cie cieee) akibat peristiwa beberapa waktu lalu.

Ceritanya, ada lomba blog di NTT. Hadiahnya puluhan juta rupiah. Berjalan buruk. Panitianya diprotes karena mengabaikan kriteria mereka sendiri dan memenangkan blogger yang jumlah kata dalam postingannya—no mention buruknya tata bahasa mereka—tidak sesuai standar yang ditetapkan. Suram sudah nasib para blogger NTT dan semakin jauhlah kita dari usaha mengenalkan NTT melalui persaingan SEO. Kalau mau tahu cerita ini, silakan klik tautan ini.

BACA JUGA
Diskusi di Facebook itu Seperti Itu (Bagian 2)

Akibatnya telah saya perkirakan. Ketika blogger seperti saya ini menulis bahwa yang di NTT itu namanya Sumba dan yang di NTB itu Sumbawa, para blogger senusantara jaya akan bilang, “Boong. Tuh kemarin blogger NTT yang muncul di tivi aja boong apalagi yang gak muncul di mana-mana.” Ada juga yang akan bilang (seperti pertanyaan bodoh yang pernah saya dengar), “Ayam peliharaan orang Flores itu bisa terbang sampai ke Australia. Mereka kan tetanggaan. Mata uangnya aja sama.”

Hmmm… Bagaimana ya menjelaskannya? Bukan soal NTT yang kerap disebut-sebut sebagai tempat yang seolah-olah ada di luar negeri saking sering dianggap eksotis, tapi soal pilihan Rifaiz Lamahoda menamai komunitas yang dipimpinnya. Blogger? Seriously?

Baca juga: Berkunjung ke Pulau Sumba, di Pantai Rua Om Nanga Bercerita tentang Nihiwatu

Rifaiz benar-benar tidak tahu soal dunia blogging ini. Bahwa yang dilakukan para pegiatnya adalah menampilkan cerita dari ruang-ruang tak tersentuh, kisah yang sulit didapatkan dari media-media mainstream, atau (paling buruk) tulisan-tulisan yang sudah dikirim ke mana-mana tetapi tak kunjung dimuat dengan alasan mulia seperti: mohon maaf kami belum bisa menayangkannya tetapi teruslah mengirim tulisan dengan tema lain, apakah Rifaiz dan komunitas yang dipimpinnya itu tahu?

Rasanya tidak. Kalau mereka tahu, komunitas blogger tidak akan dipilih sebagai nama sekelompok demonstran yang diduga sedang kelaparan dan butuh nasi bungkus itu. Toh sudah ada komunitas yang jauh lebih kredibel untuk melakukan hal-hal besar di jalanan politik, seperti lihat ikatan alumni dari beberapa universitas ternama, kelompok-kelompok sayap agama, ikatan keluarga, dan lain-lain. Semua punya tugas dan ruang masing-masing.

Kalau Rifaiz dan anggotanya komunitasnya mau dikenali sebagai blogger, mulailah jalan-jalan, kumpulkan cerita, lalu bikin blog. Bikin malu selalu lebih baik daripada bikin malu!

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Bagikan ke:

8 Comments

  1. Saya juga ingin rasanya bertemu bersama sesama blogger, pasti seru kalau sudah berkumpul:) apalagi saya yang masih sangat newbie sekali.

  2. Untuk urusan yang satu ya gak hanis pikir saya. Usai tonton berita itu, saya langsung search nama Komunitas itu, “Bloger Millenial” di pencarian Google, tapi gak satupun ada. Saya sepaham dgn pendapat mimin, bahwa “Komunitas Bloger Millenial, benar-benar Maya semaya-mayanya”.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *