Menonton pertandingan sepak bola bisa menjebak kita ke reaksi buruk rupa. Kalau kalah kita menangis, kalau menang kita bikin orang lain tersinggung.
Seorang teman, dari Ruteng, Manggarai mendukung Persim hingga ke Bajawa. Di Ibukota Kabupaten Ngada itu, Persim Manggarai bertanding melawan yang punya kandang. PSN Ngada. Persim di atas angin, teman saya melonjak kegirangan. Dia tidak sadar bahwa dia sedang ada di antara penonton tuan rumah. Tidak hanya melonjak, dari mulutnya keluar komentar mengagung-agungkan Persim, mengolok-olok pemain PSN. Salah tempat dia.
Pada lonjakan kesekian, kakinya belum menjejak tribun ketika dari samping terdengar komentar singkat, padat, jelas, terarah, dalam nada marah: “T(h)ema(n), k(h)omentar jan lebi…” Dia mendadak merasa detik berlalu sangat lamban. Slow motion. Mencekam. Seumpama musik-musik di film horor. Dia tak bersuara lagi sampai akhir pertandingan. Kata terakhir yang keluar dari mulutnya adalah “persi”. Dia mau bilang: Persim memang tiada duanya. Tetapi “m” belum juga keluar ketika dia dengar permintaan untuk tidak berlebihan berkomentar.
Bahwa memang Persim Manggarai tampil lebih bagus dari PSN Ngada ketika itu, tak perlulah mengekspresikannya dengan terlampau jujur di depan suporter tuan rumah. Kejujuran seperti itu menyakiti pihak lawan. What?
Menonton pertandingan sepak bola memang ngeri-ngeri sedap. Akhir-akhir ini, sedapnya malah hilang dan menjadi hanya ngeri-ngeri, karena komentator bola di televisi yang berbahasa ajaib. Umpan LDR, messi kelok sembilan, gelandang pengangkut air dari sumur hatimu, halaaah; kita sedang nonton bola atau menyaksikan kebodo… ah, sudahlah.
Baca juga: Main Bola Paskah
14 Desember 2016, saya terpaksa nonton partai final AFF leg pertama Indonesia vs Thailand di Fox Sports. Bukan apa-apa. saya hanya tidak rela mendengar ada orang yang lebih lebay dari saya kalau omong soal bola. Komentator sepak bola di televisi kita sendiri saya anggap lebih lebay. Saya tidak rela mendengarnya. Bayangkan, ada komentar yang bunyinya “peluang emas bercampur intan berlian”. Saya heran. Kenapa dia tidak mendahuluinya dengan batu akik? Pokoknya, begitulah alasan saya memutuskan nongkrong di depan stasiun milik salah salah satu kerajaan media dunia itu.
Tetapi nonton di Fox Sports juga bukan berarti perasaan tirenak hilang seratus persen. Pada sisi yang berseberangan dengan televisi kita, komentator Fox Sports kerap mengeluarkan kalimat yang bikin sa dongkol matipunya. Beberapa saat setelah Hansamu mencetak gol yang membuat kita unggul 2 – 1 atas Thailand, satu dari dua komentator pertandingan itu bilang, “Suddenly everybody is comfortable on Indonesia’s side.” Yang lain menyambut dengan tawa, diikuti setumpuk kalimat yang menjelaskan persetujuannya atas pandangan temannya itu. Mereka berdua tidak percaya bahwa situasi Indonesia unggul atas Thailand itu bukan situasi suddenly, bahwa semua sudah didesain, bukan tiba-tiba.
Meski sebenarnya tidak terlalu percaya bahwa kita unggul karena desain yang baik, tetapi mendengar kalimat itu dari mulut bukan Indoensia, sungguh bukan situasi yang nyaman. “Jan terlalu juga kalo mau jujur ka, Om Komentator. Tipis-tipis saja, to!”
Sesungguhnya, semua hal di sisi Indonesia ketika itu memang adalah tumpang tindih suddenly moments. Tiba-tiba saja tendangan Rizky Pora menjadi gol. Tiba-tiba saja Indonesia main bagus di pertengahan babak kedua bahkan tanpa perubahan strategi yang terlalu hebat dari Reidl. Saya juga merasa kita tiba-tiba saja ada di final. Dengan materi pemain yang pas-pas saja, kita melewati Vietnam yang adalah tim dengan koordinasi lapangan tengah terbaik sepanjang turnamen.
Sejak zaman Fachri Husaini dan Eduard Ivak Dalam, rasanya lapangan tengah Indonesia lebih banyak menampilkan ‘asal main bola’. Maen saja ini, ka. Main, tendang, lari, potong tidur, sikut, over, jatuh, lompat, eh, tiba-tiba gol. Lalu lelah.
Tetapi kita bisa menang. Dan tidak ada satu setan dua binatang pun yang boleh bilang bahwa kemenangan hasil lari-lompat-lempar sekenanya itu sebagai suddenly win. Siapa saja orang Indonesia yang bilang bahwa kemenangan kita adalah kemenangan yang tiba-tiba adalah orang tidak nasionalis. Itu reaksi buruk rupa.
Barangkali karena itulah saya menjadi sangat terganggu ketika komentator Fox Sports tadi bilang, “Ujug-ujug pemaen-pemaen e Endonesa dadi nyaman kabeh“. Mereka terlampau jujur sedangkan saya hidup di negeri yang lebih mengedepankan harmoni daripada kejujuran.
Pertanyaan apakah kita benar-benar layak berada di partai puncak adalah verboden. Dilarang! Keras! Kita harus larut dalam nikmat kata-kata seperti: kedigdayaan timnas, gol yang cerdas, strategi jitu memainkan Zulham dan Sinaga, umpan terukur, tangan dingin Reidl, dan lain-lain. There is no such a thing called suddenly win because win is win, period! Kalimat Indonesia suddenly win itu kalimat yang hanya keluar dari siapa saja yang nasionalismenya rendah. Dalam hal ini, kata suddenly hanya cocok dipakai di lagu “Yesterday”; suddenly I’m not the man that I used to be…
Barangkali begitu seharusnya berlaku di negeri ini. Apa saja boleh disampaikan asal bukan kejujuran tentang kita, karena kejujuran mengganggu harmoni. Itu sudah. Jangan bikin reaksi buruk rupa.
Baca juga: Mengapa Kita Harus Bicara?
Konsep kejujuran barangkali menjadi semakin mirip dengan harapan agar orang yang tidak kita sukai menderita: tidak boleh disampaikan dengan gamblang. Ah, ini analogi yang buruk dan mungkin akan menimbulkan reaksi yang buruk rupa. Kita (semoga) sependapat bahwa kejujuran itu memuat paling tidak tiga hal berikut:
Pertama, jika itu tentang kebaikan, maka orang lain harus jujur tentang kita dan tidak perlu bicara blak-blakan tentang kebaikannya sendiri karena itu berarti sombong.
Kedua, jika itu tentang keburukan, orang lain harus jujur tentang keburukannya sendiri agar seluruh konsentrasi publik terserap ke sana, dan keburukan kita tertutupi.
Ketiga, jika itu tentang sepak bola, maka kekeliruan wasit yang menyebabkan keuntungan di pihak lawan adalah sesuatu yang disengaja karena wasit telah disogok, sedangkan kekeliruan wasit yang menyebabkan keuntungan di pihak kita adalah bentuk lumrah dari kalimat: wasit juga manusia, sesekali bisa melakukan kesalahan.
Ketika tulisan ini terbaca sampai pada bagian ini dan Anda berpikir bahwa beberapa paragraf tidak menunjukkan hubungan sebab akibat, mengabaikan koherensi, terjebak anakronisme akut, pertimbangkan untuk mulai membaca dengan memahami dunia di dalam teks, dunia di belakang teks, dan dunia di depan teks. Bahwa ternyata kesimpulan Anda tetap sama, maka benarlah sudah bahwa tulisan ini dihasilkan ketika saya sedang lelah.
Pada laga leg pertama itu, Indonesia berhasil menundukkan Thailand dengan skor 2-1. Rizky Pora dan Hansamu Yama Pranata jadi pahlawan setelah sebelumnya tertinggal 0-1 melalui gol Teerasil Dangda. Di leg kedua, Thailand membalikkan keadaan dan memegang piala dengan bangga. 2-0. Dua gol itu dicetak Siroch Catthong. Alih-alih dibalas, Muhammad Abduh Lestaluhu kita yang tercinta malah dapat kartu merah di menit akhir.
Tentu saja sebagian orang berpikir bahwa beberapa keputusan wasit yang menguntungkan Thailand adalah hasil sogokan. Hanya sedikit yang berpikir bahwa peristiwa itu terjadi karena kita terlampau gembira dengan kemenangan pada leg pertama sehingga lupa menyiapkan diri dengan baik pada leg penentu. Seolah-olah, kemenangan pihak lawan pada laga penentu adalah sesuatu yang tiba-tiba. Banyak yang begitu! Cukaminyak e!
—
12 Oktober 2017
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Konteks: Tulisan ini dibuat setelah beberapa agenda politik nasional dan lokal kerap melahirkan reaksi-reaksi keras: tuduhan kecurangan, sulitnya menerima kekalahan, saling bermusuhan, menyimpan dendam, dan lain-lain.
—
Gambar dari CNNIndoensia.com.