Dalam dunia politik, ada dua bagian besar yang sama-sama disebut tim. Bagian pertama bernama tim bertahan, dan yang kedua adalah tim menyerang. Di mana posisi kampanye Tim Putih?
Di Indonesia, peran tim hitam dan tim putih kerap samar. Yang menyerang kadang-kadang menjadi pemain bertahan, yang bertahan sesekali ngotot menyerang. Jangan heran kalau timnas kita sering terlihat kurang koordinasi. Lha, politisi dan timnya kerap begitu e. Bagaimana suda?
Saya cenderung menyebut nama Tim Putih untuk yang bertahan. Tugas mereka adalah mengampanyekan kandidatnya sekaligus menyiapkan jawaban atas serangan terhadap kandidat mereka. Tim Hitam adalah mereka yang bertugas menyerang lawan politik, dari santun sampai brutal, dari kualitas visi misi sampai masalah keluarga.
Catat. Kampanye politik itu bisa begitu kejam membongkar hal-hal pribadi. Film tentang John McCain dan Sarah Palin di Pemilu Amerika adalah satu dari beberapa film yang dengan jelas menggambarkan bagaimana politik itu sangat kejam: menyerang ruang privat. Kita bisa menjadi sangat jengah. Kalau tidak percaya, silakan nonton Game Change (2012).
Di negeri kita sendiri, rasa-rasanya, tim hitamlah yang berkuasa. Maka betapa buruklah wajah politik di negeri ini karena para politisi lantas terbaca sebagai sekumpulan para pendosa dengan dosa paling sedikit, dan bukannya sekumpulan orang dengan keunggulan yang lebih banyak. Ckckckck.
Baca juga: Hitung Harga Otak Anda Sekarang
Tentang inilah saya mau cerita. Di Twitter beredar gambar yang berisi kutipan (atau pertanyaan?) menarik dari Gus Mus: Apakah tidak cukup dengan membuktikan kehebatan diri dan memuji diri sendiri, mengapa harus juga merendahkan orang lain?
Rasa-rasanya, ini persis dengan keluhan tentang betapa buruknya cara kita menjual ‘produk’ pada hari-hari terakhir ini. Setiap penjual merasa, menjelek-jelekkan produk saingan adalah strategi terbaik agar produk mereka sendiri diminati khalayak. Saya selalu merasa itu kebodohan. Tidak elok.
Berikut alasan mengapa metode tersebut tidak elok:
Pertama, yang seharusnya dikampanyekan adalah keunggulan calon yang kita usung. Dengan menempatkan calon kita pada posisi tinggi, secara otomatis calon lain akan dipersepsikan lemah. Tentu saja ini bergantung pada seberapa hebat komunikasi politik yang dibangun dalam ‘penjualan’ itu. Karena itulah tim pemenangan atau tim sukses sebaiknya lebih banyak terdiri dari orang-orang yang mampu berpikir.
Kedua, jika dengan kampanye negatif kita berhasil membuat calon lain terlihat buruk, bukankah itu artinya kita tidak unggul? Kita hebat karena bersaing dengan orang-orang yang buruk. Maka seandainya menang, kemenangan itu tentu saja tidak memuaskan. Tidak layak dirayakan. Minus malum dan malu-maluin. Barangkali seperti menyaksikan kemenangan klub besar di English Premier League atas sebuah klub tarkam di kampung saya di Rawuk – Kolang atau di Paurundang – Rego. Apanya yang harus dirayakan?
Ketiga, ketika kita sedang menuding yang lain sebagai orang yang salah, ribuan orang yang mendengar sebenarnya sedang berpikir bahwa kita tidak lebih hebat dari orang yang kita tuding. Misalnya, kita bilang, “Jangan memilih si A karena program-program yang dibuatnya bohong dan sulit diwujudkan.” Di saat yang sama orang-orang menunggu dengan pikiran, “Kalau demikian, program apa yang baik yang kau tawarkan? Toh kalian sama-sama berbohong juga.” Nah, ketika tidak ada program yang lebih baik yang kita tawarkan (dan saya yakin memang tidak ada ketika konsep dasar kampanye kita adalah menyerang lawan), maka kami yang mendengar akan bilang: Lha… kok gini kampanyenya?
Keempat, begini: Hanya orang lemah yang berharap agar orang lain terlihat lemah.
Baca juga: Inilah Empat Kesalahan Dasar Media Massa Indonesia
Misalkan model kampanye ‘tak elok’ terus dilakukan maka dengan mudah dapat ditebak bahwa tim komunikasi politik di Indonesia ini memang begitulah. Jangan heran kalau akhirnya masyarakat pemilih juga begitulah dan yang terpilih hanya yang begitulah.
Kampanye Tim Putih dan Tim Hitam
Saya sesungguhnya telah diingatkan bahwa dalam dunia politik, sudah jadi rahasia umum tim kampanye dibagi dalam dua kelompok besar yakni Tim Putih dan Tim Hitam. Sebenarnya saya tidak suka istilah ‘rahasia umum’. Kalau rahasia kenapa diketahui umum? Tapi itu dibahas nanti saja …
Saya beranggapan, tugas Tim Putih adalah mengkampanyekan kehebatan calonnya dan Tim Hitam yang bertugas membuat lawan politik tampak buram. Seandainya benar bahwa dua tim besar itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi keberadaannya, maka tentu saja menarik untuk bertanya: Seberapa besar energi Tim Putih di sekitar kita?
Kampanye tim putih nyaris tak terdengar di negeri ini. Seluruh materi kampanye atau komunikasi politik menjelang Pilpres atau pemilihan apa saja hanya berisi kalimat-kalimat menyerang lawan. Ada calon mencium kuda, ada calon tak beragama, ada petugas partai, ada yang hanya omon-omon, dan sebagainya dan sebagainya. Mamamia e.
Serangan terhadap agama dalam perhelatan politik mendapat perhatian kolumnis terkenal Indonesia Goenawan Mohamad. Di Twitternya, penulis Catatan Pinggir di Tempo ini berkicau: Untuk menyerang lawan, haruskah kita menyebut dia ‘bukan Islam’? Seakan-akan ‘bukan Islam’ berarti cacat.
GM mestilah kesal, seperti juga saya. Bayangkan, sudah kampanyenya hitam, materinya kuadrat hitam pula. Bermaksud menyerang lawan, di saat yang sama juga ‘menyerang’ agama lain. Sebagai orang yang ‘bukan Islam’ saya tentu saja berhak tersinggung dengan materi seburuk itu. Memangnya kenapa kalau bukan Islam? Tetapi sudahlah. Saya tidak sedang ingin membahas sisi ini.
Tidak cukupkah menjual keunggulan diri? Gus Mus bilang begitu.
Saya pikir seharusnya cukup jika memang kita merasa kita benar-benar memiliki keunggulan. Soal terbesar adalah apakah kita benar-benar memilikinya. Keunggulan itu. Jika tidak, tentu saja berbahaya. Menjual produk yang tidak unggul adalah investasi buruk dalam bisnis. Sebab kau hanya tinggal punya satu harapan yakni mendoakannya: semoga produk sejenis yang dibuat oleh pihak lain tidak lebih baik dari produk saya yang tidak unggul ini. Ini adalah cara paling rendah dalam kampanye dan tingkat kemampuan bertahannya juga mungkin rendah.
Baca juga: Kemenangan yang Tiba-Tiba dan Reaksi yang Buruk Rupa
Tentang memilih produk, saya tentu saja SEPAKAT menolak produk yang BERBAHAYA. Sayangnya, konsentrasi ‘produsen lain’ juga ikut-ikutan terseret pada produk lawan yang oleh publik dianggap berbahaya. Akibatnya jelas, produsen lain itu tadi lupa menjelaskan tentang hal baik yang bisa diperoleh khalayak dari produknya itu. Sehingga alasan khalayak memilih produknya itu juga menjadi rendah: asal tidak memilih produk berbahaya. Alasan itu tentu saja tidak cukup menjawab kebutuhan kita pada hadirnya produk yang unggul.
Begini. Benarkah calon yang akan kita pilih adalah calon yang benar-benar kita anggap tepat atau justru karena calon yang lain telanjur kita anggap buruk karena pengaruh komunikasi politik dari Tim Hitam?
Jika alasan kita masih sama, maka bertahun kemudian cara mereka berkampanye juga akan tetap sama. Menjelek-jelekkan lawan. Dan kita memilih orang yang kejelekannya paling sedikit. Akhirnya kita tidak akan pernah berjuang untuk menjadi unggul, atau mencari calon yang sangat unggul. Kita tinggal berharap semoga yang lain lebih jelek dari kita. Harapan yang rendah.
Saya mengusulkan: harus ada gerakan bersama menolak kampanye hitam dalam bentuk apa pun apalagi dalam bentuk murahan seperti memasang foto beberapa tokoh publik yang sedang mencium istrinya sementara seorang lagi mencium kuda.
Kita juga harus berhenti menyebarkan fitnah tentang agama seorang calon yang juga menyebabkan munculnya persepsi bahwa hanya ada satu agama yang benar dan yang lainnya hmmm… macam agak kurang benar. Rasanya itu adalah bentuk paling murah dari sebuah kampanye hitam dan bentuk murah tersebut hanya bisa dihasilkan oleh orang-orang yang dibayar murah.
Bahkan ketika harus melakukan kampanye hitam, sesungguhnya setiap orang diberi peluang untuk menciptakannya dengan cara yang elegan. Bermain mempengaruhi alam bawah sadar.
Misalnya calon beristri, ke mana-mana harus jalan dengan istrinya. Tidak harus bicara bahwa dia mencintai istrinya. Tunjukkan bahwa kau bisa berjalan bersama dengan istrimu dengan mesra, sehingga calon tidak beristri atau yang jarang berjalan bersama istrinya akan dipersepsikan negatif. Meski murah, cara ini tidak murahan. Tidak hitam-hitam amat.
Tetapi, cara seperti itu tentu hanya boleh dilakukan ketika kita sudah tidak tahu keunggulan apa lagi yang dimiliki oleh calon yang kita usung. Begitu, Om-Tanta Tim Sukses! Istri/suami bukan komoditi politik!
Sesungguhnya, ada hal menarik lain yang muncul di pentas politik negeri ini pada hari-hari terakhir ini. Rata-rata mereka memakai baju putih, meski mereka tahu sasaran mereka adalah membuat orang lain tampak hitam.
—
26 Mei 2014
Salam dari Ruteng
Armin Bell
—
Image dari Kompas.com (Film Game Change).