cinta yang terlalu dan plagiarisme yang berlalu ranalino armin bell

Cinta yang Terlalu dan Plagiarisme yang Berlalu

Apa itu plagiarisme? Apakah ada hubungannya dengan lagu-lagu berlirik hampir mirip? Siapa menulis apa dan siapa memplagiat siapa?


Ruteng, 12 Juni 2017

Jatuh cinta jangan terlalu/ bila berpisah hancurlah hati// Itu adalah penggalan lirik lagu “Sabda Cinta” yang dipopulerkan oleh Erie Suzan dan Iyeth Bustami. Jauh sebelum itu, Queen merilis “Too Much Love Will Kill You” dalam album mereka “Made in Heaven”. Apa hubungan kedua lagu cinta itu dengan plagiarisme?

Lagu Sabda Cinta dan Too Much Love Will Kill You mengambil tema yang sama; cinta yang terlalu bisa bikin bahaya. Apakah “Sabda Cinta” menjiplak lagu Queen? Tidak. Semangatnya yang sama karena (mungkin) berangkat dari kesadaran yang sama bahwa terlampau mencintai kadang bisa bikin soal di kemudian hari. Soal paling standar adalah risiko sakit hati ketika akhirnya berpisah dan yang mau diingatkan Queen adalah tentang kesediaan menjual diri karena cinta (You’d give your life, you’d sell your soul).

Dalam hal ini, saya berani menegaskan bahwa Erie Suzan dan Iyeth Bustami terbebas dari tuduhan plagiarisme. Satu-satunya yang sama dalam dua lagu itu adalah semangat atau ladang inspirasi. Selebihnya, mereka adalah dua karya yang berdiri masing-masing dengan merdeka.

Yang sesungguhnya sedang ingin saya bagi dalam catatan ini adalah perasaan cinta yang besar pada sesuatu melahirkan kecendrungan ‘malas berpikir’ dan di saat yang sama menilai orang yang berpikir sebagai ‘cari jalan agar mudah terkenal’. Kita mengenal beberapa cerita dalam nuansa yang sama.

Ini, misalnya.

Ribuan orang begitu mengagumi tulisan seseorang, memujanya dan menempatkannya pada jajaran top ten tokoh idola. Segelintir orang lalu sadar bahwa yang ditulis oleh seseorang yang dipuja itu adalah hasil plagiarisme. Yang ribuan orang tadi sudah kadung jatuh cinta, menolak untuk percaya bahwa selama ini mereka telah mengagumi seorang penjiplak. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa karya yang dikagumi itu adalah hasil menyontek, copas, curi ide, dan lain-lain. “Tetapi kami sudah telanjur jatuh cinta. Kami harus bagaimana? Dia tidak boleh mengakui itu sebagai plagiarisme atau kami hanya akan menjadi ribuan orang yang patah hati dalam malu-malu.”

Baca juga: Membaca itu Penting bagi Penulis

Nah, jatuh cinta itu bisa begitu. Patah hati dalam malu-malu itu berbahaya, lebih berbahaya dan mereka yang patah hati lalu mengumbarnya di media sosial. Bisa jadi seseorang akan begitu tertekan, merasa bersalah karena mengagumi seseorang yang salah. Untungnya, kita hidup di negara yang dengan mudah membiarkan kasus plagiarisme berlalu begitu saja seumpama aroma kaus kaki tak dicuci yang mampir sejenak lalu menghilang bersama perginya si pemilik kaki.

BACA JUGA
Untuk Bahagia, Kita Hanya Butuh Orang Lain Menderita

10 Reaksi Umum atas Dugaan Plagiarisme

Beberapa waktu setelah seorang mendadak inspirasional (halaah, ini istilah dari mana coba?) karena tulisannya, seseorang yang lain menulis dugaan bahwa tulisan yang mendadak inspirasional itu adalah hasil jiplakan. Ramailah kita di media sosial. Para pemujanya berharap bahwa tuduhan itu tidak benar. Kalau tuduhan itu benar, semoga kisahnya segera berlalu. Itu reaksi umum seperti juga 10 reaksi berikut ini.

10 Reaksi umum di Negeri Kita Atas Dugaan Plagiarisme:

  1. Meragukan kebenaran yang ditawarkan ‘penduga’;
  2. Jika penduga ‘tidak setenar’ yang diduga, penduga dianggap sedang berusaha naik kelas;
  3. Jika penduga adalah masyarakat biasa dan yang diduga adalah kesayangan media besar, media besar akan berusaha abai;
  4. Jika dugaan semakin dekat pada kebenaran, media besar dengan kekuasaan yang dimilikinya memilih melakukan dua hal: memublikasi karya yang dituduh dalam bentuk lain sebagai usaha menegaskan bahwa dugaan itu salah, atau, menghentikan percakapan tentang yang diduga;
  5. Jika yang diduga membuat klarifikasi, yang kita temukan adalah usaha melarikan diri;
  6. Jika yang diduga mengakui itu sebagai plagiarisme, kita memaafkannya dengan alasan, “Tidak ada manusia yang sempurna.” Kita adalah anak bangsa yang ramah dan pemaaf;
  7. Jika penduga dianggap terlampau keras kita akan menyerangnya secara personal, menganggapnya sebagai orang yang cari-cari kesalahan dan mengutak-atik kehidupan pribadi atau karyanya;
  8. Jika yang diduga berkarya lagi, akan butuh waktu yang sangat lama untuk memperoleh pengakuan;
  9. Jika yang diduga adalah “orang besar”, JANGAN SEKALI-KALI MENDUGA DEMIKIAN;
  10. Jika penduga adalah “orang besar”, dia pasti benar.

Dugaan Plagiarisme yang Menimpa Afi Nihaya Faradisa

Pada suatu masa, mau tidak mau saya mendengar percakapan tentang seorang remaja yang mampu menulis dengan sangat baik dan inspiratif. Afi Nihaya Faradisa namanya. Kabar yang baik tentu saja karena berita itu muncul ketika sebagian remaja lain bahkan tidak bisa menulis surat cinta dan cenderung menjiplak puisi Sapardi Djoko Damono lalu menulis namanya sendiri di bawah kalimat: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

BACA JUGA
Membedakan Kritik dan Ungkapan Sakit Hati Bertopeng Kritikan

Afi menjadi idola baru. Televisi akhirnya punya satu lagi ‘penyebab rating naik’; mengundang Afi di program talkshow berarti menyerap lebih banyak jumlah pemirsa. Media-media daring menulis tentang Afi, jumlah klik mendadak ribuan. Lalu datang dugaan. Di Kompasiana, seseorang mengunggah tulisan yang membahas tentang kemungkinan Afi melakukan plagiarisme . Semua makhluk pembaca dan pengagum serentak memperbincangkan dugaan itu.

Dalam perjalanan, ketika gelombang dugaan plagiarisme membesar, Afi angkat bicara dan bilang bahwa dia tidak bisa menjawabnya kepada publik, bahwa inspirasi bisa datang dari mana saja, bahwa dia akan membuat tanggapan atas tudingan tersebut tetapi mungkin tidak akan menyebarkannya kepada publik. Lalu? Seperti biasa. Cerita tentang Afi mendadak hilang. Yang tersisa adalah pertanyaan yang tidak terjawab tentang Afi Nihaya Faradisa dan dugaan plagiarisme itu. Benarkah itu? Salahkah itu? Bagaimana ini? Apa yang harus kami lakukan pada rasa cinta yang sudah terlalu ini?

Saya mengikuti beberapa percakapan besar tentang dugaan plagiarisme di Indonesia. Dari zaman H.B. Jassin menduduh Chairil Anwar melakukan plagiarisme ketika menulis puisi Kerawang-Bekasi, tentang Anggito Abimanyu yang akhirnya mundur dari dosen karena salah satu artikelnya yang disiarkan Kompas adalah hasil plagiarisme, juga tentang Guntur Alam.

Yup! Cerpenis Guntur Alam pernah diguncang isu plagiarisme. Beberapa waktu setelahnya, cerpennya yang digugat itu masuk dalam buku antologi cerpen terbaik Kompas. Kita bisa apa? Leraian yang paling mudah ditebak oleh bangsa yang pemaaf seperti ini pada dugaan plagiarisme adalah: itu parafrase.

Baca juga: Pergilah ke Sanur dan Mulai Menulis

Tentang dugaan plagiarisme di Indonesia, saya mengusulkan agar kita mulai membiasakan diri membicarakan plagiarisme dalam ide besar: Menghindari ‘membesarnya para penjiplak’. Plagiarisme adalah sesuatu yang tidak saja buruk tetapi juga menyedihkan dan karenanya pelaku plagiarisme tidak perlu dibela. Mengapa kita kesulitan bilang salah pada sesuatu yang salah hanya karena alasan seremeh: yang melakukannya masih muda, atau, yang melakukannya lupa mencantumkan sumber? Mau sampai kapan?

Hal menarik lain soal dugaan plagiarisme yang dilakukan oleh Afi Nihaya Faradisa adalah usaha para pencintanya meminta pemakluman dengan bilang: “Untuk apa repot-repot mengetahui apakah Afi menjiplak atau tidak? Toh, tujuannya baik, tulisannya menginspirasi banyak orang dan bla bla bla.” Kita membuat pertanyaan yang sama pada hal-hal lain. Asal tujuan tulisan itu baik, kita tidak perlu merepotkan sumbernya. Atau begini: Tulisan yang disiarkan Afi di akun facebooknya memang inspiratif dan karenanya kita semua diminta mengambil poin-poin inspiratif itu saja. Abaikan keaslian tulisan. Heh!

BACA JUGA
Asal Ikut "Trending Topic", Jalan Pintas Menuju Puncak Kebebalan Bermartabat

Jadi begitukah selama ini semua berjalan; yang penting tujuannya baik, caranya boleh salah? Saya jadi ingat Robin Hood, mencuri dari orang berada dan membaginya kepada para warga. Warisan seperti itukah yang mau kita abadikan? Robin Hood telah lama mati. Saya juga ingat beberapa tokoh penyumbang terbesar pembangunan rumah-rumah ibadah. Tokoh-tokoh itu ternyata pelaku korupsi. Bagaimana?

Ini bukan semata tentang dugaan plagiarisme yang dilakukan barangkali adalah Afi, atau Guntur Alam, atau Anggito Abimanyu, atau Om Rafael, atau siapa saja yang telanjur kita cintai. Ini tentang plagiarisme pada umumnya yang harus dengan tegas disebut sebagai tindakan mencuri. Dilarang! Bahkan jika mencuri dari pencuri, tetap saja salah. Yang ikut terseret dalam kesalahan itu adalah kita yang mengagumi seseorang yang telah mencuri dan karena sudah telalu cinta kita menolak membicarakannya secara jernih.

Dalam dunia tulis menulis, saya pasti pernah melakukan plagiarisme, sadar atau tidak. Karenanya, saya berusaha menyunting tulisan saya secara berkala dan memberi informasi tambahan jika dalam penelusuran menemukan bahwa yang saya tulis ternyata pernah ditulis orang lain. Karena kalau meminta maaf saja sudah cukup, setiap hari kita akan membaca ribuan permintaan maaf di layar komputer, netbook, atau handphone kita dan keesokan harinya dia akan menjiplak lagi karena dua atau tiga hari berikutnya dia bisa meminta maaf lagi.

Tetapi barangkali soal kita adalah karena rasa cinta yang terlalu, berharap percakapan tentang plagiarisme segera berlalu atau kita akan patah hati dengan malu-malu padahal Erie Suzan dan Iyeth Bustami sudah bilang jatuh cinta jangan terlalu/ bila berpisah hancurlah hati// #ApaSih?

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

PS: Catatan ini diolah lagi dari dua status facebook di akun saya beberapa saat setelah tulisan dugaan plagiarisme oleh Afi ramai dibicarakan di media sosial. Diunggah ke ranalino.co sebagai usaha mengingatkan diri sendiri.

Gambar dari Narabahasa.

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *