Catatan ini adalah hasil mengutak-atik kembali status di akun facebook saya yang berjudul “Muhadjir dan Kecaplah Betapa Baiknya Kita; Dihina dan Memilih Introspeksi Sebagai Leraian” yang naik tanggal 7 Desember 2017, pukul 22:13.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sebagaimana dikutip koran Jawa Pos edisi 4 Desember 2017 memberi pernyataan mengejutkan. “Saya khawatir yang dijadikan sampel Indonesia adalah siswa dari NTT semua,” kata Muhadjir ketika dimintai komentarnya tentang hasil Programme for International Student Assessment (PISA) yang menempatkan Indonesia ada di posisi paling rendah. Menteri Muhadjir lalu dituding menimpakan kegagalannya mengelola pendidikan di Indonesia kepada NTT.
Dalam waktu yang singkat, Menteri Muhadjir dan pernyataannya itu menjadi percakapan populer di media sosial orang-orang NTT. Linimasa Facebook saya penuh dengan bahasan tentang Menteri yang beberapa waktu setelah dipilih sebagai pembantu presiden, secara mengejutkan menawarkan konsep full day school tanpa penjelasan memadai–Muhadjir juga populer ketika itu.
Sepanjang yang saya tahu, rasanya hanya dua topik itulah yang membuat nama Muhadjir jadi percakapan orang-orang di timeline saya. Lain, tidak! Berarti juga termasuk terobosan berarti di bidang pendidikan, domain di mana seharusnya beliau bekerja sangat keras membawa perubahan. Tidak ada berita.
Di kasus terakhir ini, reaksi paling awal yang muncul adalah kemarahan orang-orang NTT yang merasa bahwa menteri mereka menuduh para pelajar di NTT bodoh. Reaksi yang masuk akal. Saya juga memberi reaksi serupa, bahkan menulis ya’e, kata yang bahkan tidak ada dalam kamus bahasa Manggarai. Tetapi orang Manggarai pasti paham maksud kata itu dituliskan.
Beberapa jam setelah unggahan tentang pernyataan Muhadjir itu viral, muncul kebijaksanaan-kebijaksanaan baru sebagai sikap moderat: Muhadjir mungkin kasar tetapi dia benar. Kualitas pendidikan NTT memang paling buruk, bukan? Saya tenganga-boa ketika membaca komentar-komentar seperti itu. Pak Muhadjir telah membantu kita merefleksi diri rupanya. Terima kasih, Muhadjir! WHAT?
“Saya khawatir yang dijadikan sampel Indonesia adalah siswa-siswa dari NTT semua.”
Saya salin-ulang pernyataan Muhadjir itu agar kita bisa melihat beberapa hal ini:
Pertama, saya khawatir. Seorang menteri mengkhawatirkan posisi Indonesia yang buruk di peringkat internasional. Sungguh sesuatu yang tidak perlu. Tugas menteri adalah memakai hasil riset/survei sebagai bahan untuk memerbaiki diri, bukan malah merasa khawatir dengan metodologinya.
Kedua, sampel Indonesia adalah siswa-siswa dari NTT semua. Muhadjir mungkin berpikir bahwa kalau yang menjadi sampel Indonesia itu dari daerah lain maka hasilnya pasti akan berbeda. Saya lalu heran, bagaimana mungkin ada tokoh di bidang pendidikan yang meragukan pemilihan sampel dalam sebuah survei?
Kecuali untuk survei berbayar semacam survei Pilkada yang bertujuan asal calon yang membayar senang yang dilakukan oleh lembaga survei abal-abal pencari uang di perhelatan politi, saya selalu percaya bahwa para peneliti memiliki dan menggunakan sejumlah instrumen yang memastikan sampel mampu menjelaskan tentang populasi. Dalam konteks PISA, mau NTT, mau Jawa, mau Papua, mau Bangka Belitung, hasilnya pasti sama.
Bagaimana cara berpikir Menteri Muhadjir yang membuatnya mengeluarkan pernyataan itu, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tetapi membaca percakapan tentang pernyataan Muhadjir Effendy adalah sebuah pengalaman yang… entahlah… Maka saya menulis di facebook saya.
Muhadjir dan Kecaplah Betapa Baiknya Kita; Dihina dan Memilih Introspeksi Sebagai Leraian
Hampir semua orang yang memberi komentar soal Menteri Muhadjir menampilkan teori yang enak. Saya suka. Iklim diskusi seperti ini terasa baik. Yang ‘membela’ beliau juga omongnya enak-enak. Nikmat. Karena lengkap dengan pertimbangan dan kebajikan-kebajikan: kita harus menjadikan Muhadjir sebagai dasar refleksi. Seni to?
Tetapi saya tetap tidak suka pernyataan Menteri itu karena menguatkan stigma tentang “ketertinggalan” NTT. Sekian lama berteman dengan kaum rentan stigma, saya sadar bentuk dampak psikologis dari ‘itu barang’, dan yang paling parah adalah sikap pasrah; kami memang begini sudah. Ketika pejabat publik atau orang penting melakukan/mengatakannya, sikap pasrah bisa naik berkali-kali lipat.
Semoga semua pernah baca tentang pentingnya pujian bagi anak-anak. Alam bawah sadar lalu mengelola pujian itu dan melahirkan energi positif. Penghinaan juga berdampak selurus itu. Di sekolah, kalau seorang siswa diolok-olok sebagai ‘telmi’, dia akan menjadi benar-benar telat mikir sepanjang masa sekolah itu. Ada banyak contoh lain yang senada.
Okay, fine! Misalkan NTT benar-benar ‘tertinggal’, apakah penghinaan oleh seorang pejabat publik adalah sebenar-benarnya cambuk, atau justru seumpama menyiram bensin ke api ketertinggalan? Semoga kita tidak lupa bahwa Muhadjir adalah Menteri Pendidikan; sebuah wilayah di mana setiap pribadi diajarkan untuk tidak menghina orang lain bahkan jika bertujuan memotivasi. Sesekali, lihatlah berita atau cerita tentang beberapa anak yang memutuskan mengucilkan diri atau bahkan bunuh diri karena selalu dihina.
Untuk kasus pernyataan Pak Muhadjir, sikap saya tetap sama: beliau bersalah, orang salah harus minta maaf, kecuali kalau dia adalah seorang ya’e buta. Istilah tertinggal saja sudah cukup bikin napas sesak, kini ditambah lagi dengan tudingan bahwa di mata internasional, Indonesia bermuka buruk karena yang dijadikan sampel adalah kita. Atau?
Status itu ramai komentar. Dibagi-bagi pula. Sembari melihat perjalanannya, saya memantau percakapan lain seputar pernyataan Mendikbud itu. Ada perkelahian. Ya. Kita berkelahi. Yang terlibat adalah yang protes keras atas pelabelan Menteri Muhadjir dengan orang-orang yang beranggapan bahwa kualitas pendidikan NTT memang buruk dan pelabelan seperti itu adalah hal yang tidak harus mengundang emosi.
Di tengah perkelahian itu, muncul narasi baru. Manis sekali cara Muhadjir melawan protes NTT. Atau basi? Melalui Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM), Ari Santoso, Kemendikbud menjelaskan bahwa tidak ada maksud Muhadjir untuk merendahkan masyarakat NTT. Cara ngeles ini biasaaaa banget!
Yang tidak biasa adalah ketika Muhadjir memilih menampilkan narasi lain daripada berkutat dengan soal pelabelan. “Saat ini Kemendikbud fokus mengatasi kesenjangan melalui berbagai program afirmasi, khususnya untuk Indonesia di bagian timur,” jelas Santoso melalui siaran pers. Terima kasih, Muhadjir. WHAT? Ini mereka masuk dalam kategori ahli berlari.
Bisa lihat pergeserannya? Kita protes dengan pelabelan, Menteri Muhadjir menjelaskan tentang fokus Kemendikbud mengatasi kesenjangan. Ketemunya di mana? Tidak heran jika kita terus berkelahi. Lha, yang kini muncul adalah dua hal yang berbeda. Kalau di ujian zaman dulu, jawabannya pasti B, yakni: pernyataan benar, jawaban benar, tetapi keduanya tidak menunjukkan hubungan sebab akibat. Seperti ada kekeliruan logika yang parah.
Coba temukan hubungan sebab akibat antara: “Setidaknya sudah ada sekitar 400 miliar dana bantuan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan di NTT sejak tahun 2016,” dengan “Saya khawatir yang dijadikan sampel Indonesia adalah siswa-siswa dari NTT semua.” Kalau kalian bisa menemukannya, jelaskan dengan bahasa yang sederhana.
Percayalah, pesan-pesan agar pernyataan diskriminatif sebaiknya dipakai sebagai bahan refleksi, telah saya anggap sebagai ta’i bau. Bahan dasar refleksi adalah kritik, bukan penghinaan, bukan stigma. Kau pikir kau bisa reflektif kalau terus-terusan dihina?
Sesekali, lihatlah berita atau cerita tentang beberapa anak yang memutuskan mengucilkan diri atau bahkan bunuh diri karena selalu dihina. Atau jangan-jangan, bacaanmu terlalu banyak dan jalan-jalanmu terlalu jauh, sampai kau tak bisa melihat hal yang sangat dekat: menterimu menghina siswa-siswamu.
—
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Image dari Detik.com.
Keras, Yang disayangkan tidak ada satupun dari pihak Pemerintahan Provinsi dan Daerah (khususnya yg dibawah Pimpinan Kemendikbud) yang merasa tersinggung, yang sy rasa sindiran pak Mentri seolah-olah menilai kinerja aparat dan tenaga pengajar di NTT, Harusnya ada Petisi dari mereka langsung ke Presiden. kadang berpikir dan timbul pertanyaan, atau ada sesuatu yang mereka (PemProv/Pemda) tutupi? mengacu pada pernytaan beliau “Setidaknya sudah ada sekitar 400 miliar dana bantuan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan di NTT sejak tahun 2016,”#hanyasekedaropinitakcerdas#sedihmendengarfaktapendidikanNTTterbelakang#danHashTag”semuasalahpakmentribertebaran
Nah, itu dia soalnya e. Karena institusi resmi di NTT tidak bicara banyak soal ini, maka sebaiknya kita pakai jalur-jalur indie seperti blog atau media sosial. Meski dampak langsungnya tidak ada, minimal dia bisa jadi pemicu diskusi yang lebih luas. Tentu saja kita berhak curiga, ke mana dana sebesar itu? Mungkin orientasi pemanfaatannya yang masih berkutat di sarana dan prasarana e, sehingga alokasi anggaran untuk manusianya kecil. Ini hanya mungkin hehehehe