Ketika dipercaya menyutradarai pementasan teater Rahasia Pengakuan yang ditulis oleh Romo Edy Menori, saya melaksanakan saja tugas itu. Setelahnya baru saya menyadari sesuatu.
Latihan teater Rahasia Pengakuan | Dok. Saeh Go Lino, Ruteng |
Pada Sebuah Panggung
Mari berandai. Selain prasangka ada benang kebijaksanaan, ketakutan, kelemahlembutan, kerakusan, kemarahan, kemalasan, kekuatan, kecerdasan, keterbukaan, dan macam-macam lainnya.
Lelaki itu tidak pernah ramah. Wajahnya penuh kemurungan. Demikianlah dia tidak tersenyum saat melihat anaknya bermain, sesuatu yang tidak seharusnya dia lakukan; atau saya terlalu berharap lebih?
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Saya selalu berpikir (atau berharap?), seorang ayah selalu dekat dengan anak perempuannya. Paling tidak dalam Novel Romo Mangun “Burung-burung Rantau” hal tersebut digambarkan. Marineti Dianwidhi begitu dekat dengan ayahnya. Ayahnya adalah seorang Jenderal bernama Wiranto. Ya, Jenderal.
Sesuatu yang oleh orde baru dicitrakan begitu sangar dan membekas dalam ingatan anak-anak dari generasi itu: tentara itu kejam. Tetapi Wiranto begitu baik pada anak perempuannya. Saya tidak akan bilang Y. B. Mangunwijaya yang begitu baik melukiskannya karena saya sedang membahas dunia cerita, lepas dari tangan penciptanya.
Baca juga: Jika KPI Tidak Mampu, Televisi Tidak Mau, Siapkan Sensor Pribadi
Di panggung, Pak Jigur sedang duduk di ruang tamu. Baru pulang berjudi tampaknya. Anaknya masuk, Jigur tidak memerhatikannya sedikit pun. Sibuk membaca koran.
Baca juga: Saya dan Panggung Kecil yang Manis
Mengapa pastor yang dipenjara? Karena ketika melakukan pembunuhan, Pak Jigur mengenakan jubah yang dicurinya dari pastoran. Skenario Jigur dalam skenario Romo Edy Menori tersebut mungkin begini: Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui, sekali membunuh dua tiga orang menjadi korban.
Saya hanya mengenang Jigur, yang hidup dengan benang-benang prasangka yang tidak terbahasakan dan lalu disampaikan lewat pisau yang berlumur darah istrinya sendiri. Prasangka yang disemai dalam diam akan tumbuh menjadi pisau.
Dalam kasus Jigur, Linda dan Romo, pisau akhirnya menjadi pisau saat di matanya ada darah Ibu Linda. Hadir dari prasangka yang tidak terbahasakan dalam tanya.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Saya lalu ingat pada beberapa kesempatan dalam hidup pernah mengenakan jalinan benang-benang prasangka sebagai pelindung tubuh. Hasilnya? Betapa susah hidup dengan baju demikian. Diam hanya mengetatkan ikatannya dan membuat sesak napas diam sesungguhnya hanya mendorong pencarian pada pisau. Dan pisau-barulah pisa kalau ada darah di matanya.
Baca juga: Gratitude Box – Beberapa Langkah
Bertanya dengan wajar maksudnya tidak tendensius, tanpa prasangka. Karena jika sedang bertanya dengan prasangka, penjelasan sebaik apapun mungkin adalah sia-sia belaka. Beruntung memang bahwa Jigur hanya ada di dunia cerita sebagai lelaki pada sebuah panggung.
Sesungguhnya saya hanya mengenang Pak Jigur pada sebuah panggung. Lelaki pada sebuah panggung yang enggan bertanya dengan wajar, lalu menghakimi dengan pisau.