Kehebatan The Two Popes adalah saat memasuki adegan-adegan dengan dialog yang serius di ruangan tempat konklaf dilangsungkan. I am so mesmerized saat mereka berdua saling mengaku dosa.
19 Januari 2020
Oleh: Ucique Jehaun
Begini. Saya baru saja selesai nonton “The Two Popes”, film yang direkomendasikan oleh dokter gigiku, drg. Celestin.
Saya biasanya panggil dia Kaka Etin. Istrinya Kaka Min (pemilik blog ini). Ada beberapa film yang menceritakan tentang seseorang yang mendapatkan rekomendasi dari dokter giginya–atau dokter lain–berkaitan dengan suatu hal, dan it works!
Dan ternyata, sungguh saya belum bisa move on dari The Two Popes itu. Biasanya film (atau hal lain) yang bikin kita sulit move on berkaitan dengan hal yang personal dan emosional. Misalnya yang bernuansa asmara atau film keluarga. Bukan berarti film yang diangkat dari sandiwara The Pope garapan Anthony McCarten (2017) ini tidak personal. Namun karena ini semacam biography, bahkan tentang Paus, pengganti Santo Petrus di dunia yang menjadi pemimpin 1,2 biliun umat Katolik di dunia, awalnya saya pikir pasti akan sangat “teological“.
Jadi, saya memutuskan nonton film ini semata-mata karena penasaran atas rekomendasi plus informasi dari portal berita online tentang film-film yang masuk nominasi Oscar. Saya sudah ajak Bapanya Jilis (suami saya) untuk nonton bareng, tapi dia menolak karena malam sebelumnya kami nostalgia dengan Bruce Willis di “Death Wish”.
Saya pun nonton sendirian.
Bagian awal saya langsung senyam-senyum dan memori saya sedikit flashback pada ‘Cinema Paradiso’ saat adegan seorang pemuda berjalan di gang yang bermural Bunda Maria. Musik latar dan narator (yang ternyata adalah kotbah Jorge Bertoglio) memberi kesan awal bahwa film ini akan asyik. Saya pun mulai serius menikmatinya.
Sepanjang film berdurasi 2 jam 5 menit ini, saya rasanya ingin memorize, bahkan kalau bisa, mencatat hampir semua bagian dialog sebagai quote. Kalau ini adalah buku, pasti sudah saya hilite pake stabilo semua. Luar biasa betul ini script. Detailnya juga membuat saya berpikir: kok bisaaaa mirip betul si Jonathan Pryce dan Anthony Hopkins dengan kedua Paus? Kalau secara fisik, bantuan make-up yang sudah canggih tentu saja tidak terlalu luar biasa bahkan jika aktornya tidak mirip. Tetapi sungguh: ekspresi dan gerak laku–le façon orang Perancis bilang–dari kedua aktor senior ini sudah pada tahap sempurna. Gilaaa… Mirip sekali! Aura Paus-nya dapat! Pas dan natural.
Pikiran konyol–atau barangkali tidak sebenarnya konyol jika dilihat dari kacamata iman–saya bermain-main: memang, kayaknya film yang ada hubungannya dengan Gereja, pasti Roh Kudus turun langsung ke TKP untuk menyempurnakan semua. Ameeeeen!
Baca juga: Rahasia Pengakuan di Katedral Ruteng dalam Analisis SWOT
Ekspresi Benedict XVI saat Jorge bilang kalau siulannya saat cuci tangan di wastafel adalah lagu Dancing Queen, oh-mai-gad, orang yang tidak tahu, bisa menebak bahwa Ratzinger ini orangnya sangaaatttt konservatif. Sebaliknya, Jorge langsung memberi kesan yang menyenangkan dan gaul. Suddenly, at the moment saya merasa terhubung dengan kemanusiaannya Kardinal Jorge. I like him! Saya sudah beberapa kali ngakak sampai pada adegan ini; film ini ternyata tidak seserius judulnya.
Nikmat sekali saya nonton sambil minum kopi satu mug besar, meski sesekali pause untuk mengecek Jilis yang masih lelap; apakah ada peran Roh Kudus juga dalam hal ini yang menginginkan saya menonton film ini? Who knows… Seperti kata Jorge saat baru saja menerima undangan Paus ke Roma: “Tidak ada yang kebetulan, Tuhan sudah atur semuanya.”
Si Jorge dalam film The Two Popes ini memang mengasyikkan sekaligus menjengkelkan. Kalau saya di posisi Bapa Paus, saya juga akan merajuk dan lebih baik jalan-jalan sendiri daripada ngobrol dengan orang yang selalu ada jawaban dan bantahan akan segalanya. Penghayatan karakter Anthony Hopkins memang luar biasa. Saya bisa ikut.merasakan betapa menjengkelkannya si Kardinal dari Argentina ini. Paling tidak dengar saja dulu Bapa Suci punya uneg-uneg, baru nanti jawab pas benar-benar ditanya. Toh dia sudah sangat tua. Begitu kira-kira excuse-nya toooo… Hehe.
Namun, keasyikan tokoh Jorge ini tidak serta-merta membuat saya menganggap Ratzinger sebagai antagonis. Saya justru punya pemamahan emosional yang kuat, sebagai pribadi maupun sebagai umat, dengan Paus Emeritus ini.
Ingat adegan di helikopter saat Benedict XVI menyinggung soal kepopuleran Kardinal Bergoglio dan yang disinggung menjawab dengan rileks: “I just be my self”. Memang jawaban ini santuy dan normal. Tetapi entah mengapa, saya melihat ada arogansi di sini yang tidak disadari Bergoglio. Saat Benediktus menimpali dengan jawaban yang kira-kira begini: “well, the last time I did that, people don’t like me”, saya sedih sekali. See? You know what I mean? If you don’t, saya hanya mau bilang bahwa Ratzinger adalah orang yang tough–justru dengan pernyataan itu sudah menunjukkan bahwa dia punya penerimaan diri yang sudah sampai di level “embracing my self just the way I am”; perfect!
Dan, sebagai umat, saya bangga bahwa Paus (Emeritus) Benediktus XVI tidak memaksakan dirinya berubah haluan menjadi reformis. Dia tetap orang yang percaya dengan ajaran konservatif, tapi dia yakin bahwa si Jorge yang progresif akan memperbaiki gereja. Duh!
Screenplay bagian dialog-dialog ini, saking kuatnya, membuat saya merasakan beberapa emosi dalam waktu yang sama: marah, jengkel, kaget, setuju, sedih, tersindir, sekaligus tertawa. Jago sekali si McCarten ini! Semacam lumpia–tahu isi juga boleh: isiannya macam-macam tapi dibungkus rapi oleh kulit lumpia. Isinya adalah macam-macam emosi tapi lelucon membungkusnya jadi enak sekali.
IMHO, terlepas dari jokes dan beberapa materi teologi Katolik, film The Two Popes bisa dinikmati juga oleh non-Katolik. Bahkan lelucon soal “smoking while praying“, rasanya ‘mashoookk Pak Ekooo!” Saya jadi penasaran dengan Ordo Yesuit, apakah benar juga kisah tentang tiga saudara Yesuit yang selalu mencicipi hidangan sebelum Paus memakannya?
Baca juga: Travelling Light dan Kekasih dalam Ransel
Saya makin terbawa pada kesukaan saya pada Jorge Bergoglio saat obrolan malam ketika Paus Benedict main piano. Yup! The Beatles. Namun tidak serta merta saya jadi tidak suka dengan Bapa Suci (ampun Tuhan). Saya justru sedih dan meneteskan air mata saat Paus bilang kalau dia lonely. Loneliness yang pahit dan sungguh menyedihkan adalah ketika kau merasa ditinggalkan oleh Tuhan yang kau anggap kuat dan maha segala-galanya.
Biarpun hafal Yesaya 41, seorang Paus tetap ‘menyedihkan’ saat bertanya-tanya: does He laugh?
Sepele mungkin tapi, bagi saya, bisa jadi Bennedict mundur karena hal ini. Kemudian kita tahu, Jorge tiba-tiba membisu, hilang semua kata-kata dunia persilatan. Saya menyadari mata saya berkaca-kaca. Seperti melihat Benenedict XVI sebagai kakek yang sangat menyedihkan. Paus juga manusia; mengutip dari film ini: Allah tinggal di dalam kita, tapi kita bukan Allah.
Kehebatan film ini, sekali lagi saya akui, saat memasuki adegan-adegan dengan dialog yang serius di ruangan tempat konklaf dilangsungkan. I am so mesmerized saat mereka berdua saling mengaku dosa. Memang ini diangkat dari kisah nyata, but maaann… Roh Kudus benar-benar turun di atas kepalanya McCarten saat dia tulis ini screenplay.
There are things I hilite after watching this movie, khusus sebagai orang Katolik.
Salah satunya bahwa saya baru paham betul betapa pentingnya kita berdoa bagi Bapa Paus, para imam, biarawan dan biarawati. Jujur, dari dulu saya tahu itu penting tapi dengan pemahaman yang tidak iklas dan tulus, sehingga tidak pernah merasa perlu berdoa untuk ujud ini saat doa pribadi. Sebelumnya saya ikut dalam ujud ini hanya ketika bagian konsekrasi dan kalau doa bersama. Sekarang? Saya juga berusaha menyelipkan dalam setiap doa pribadi: berdoa bagi Bapa Paus, para imam, biarawan dan biarawati.
Salah duanya: sakramen pengakuan itu penting sekali.
Dari semuanya itu, The Two Popes memberi afirmasi bahwa Tuhan itu baik, pengampun, dan penuh kasih. God is funny. God is good and merciful. God is love. (*)
.
Ucique Jehaun tinggal di Ruteng. Anggota Klub Buku Petra.
Identitas Film
Judul: The Two Popes | Tahun: 2019 | Genre: Drama/Comedy | Durasi: 2 jam 6 menit | Sutradara: Fernando Meirelles | Skenario: Anthony McCarten, berdasarkan naskah sandiwaranya sendiri “The Pope” (2017) | Penghargaan: Nominasi Oscar 2019 untuk Best Actor dan Best Actor in a Supporting Role | Deskripsi: Di balik tembok Vatikan, Paus Benediktur XVI dan Paus berikutnya (Fransiskus) harus menemukan landasan bersama untuk membentuk ‘jalan baru’ bagi Gereja Katolik.