Misa Tahbisan Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat akan dihadiri oleh jauh, jauh, jauh lebih banyak orang. Dari seluruh penjuru. Mengapa kami harus pergi dan mengikuti ‘pertemuan’ seakbar itu?
Kamis, 19 Maret 2020
Pagi tadi kami bersiap-siap ke Gereja Katedral Ruteng. Saya dan istri. Anak-anak tidak kami ajak sebab kami telah tahu bahwa Covid 19 sedang menyebar dan telah disarankan: pertemuan publik yang melibatkan lebih dari 30 orang sebaiknya tidak dilakukan. Di berita-berita tertulis begitu. Beberapa edaran juga begitu. Corona berbahaya. Kita tahu!
Misa Tahbisan Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat akan dihadiri oleh jauh, jauh, jauh lebih banyak dari 30 orang. Ribuan orang yang akan berkumpul. Dari seluruh penjuru negeri. Mengapa kami harus pergi dan mengikuti ‘pertemuan’ seakbar itu?
Istri saya bertugas di Pojok Sehat. Bersama puluhan tenaga medis lainnya. Mereka, oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, diberi tugas untuk memastikan bahwa seluruh protokol kesehatan yang telah ditetapkan sebelumnya sebagai antisipasi virus corona dapat dijalankan; setiap orang yang hendak mengikuti misa pentahbisan itu wajib menjalani pemeriksaan suhu tubuh dan tangan mereka ‘di-hand sanitizer-kan’. Itu protapnya. Tentu saja tidak akan pernah menjamin bahwa segalanya akan beres dengan dua hal itu sebab kita sungguh-sungguh tahu bagaimana corona ini bekerja. Mendapat tugas artinya, Celestin harus ke gereja.
Saya? Mengapa harus ikut juga? Duh… Bagaimana menjelaskannya? Sejak beberapa bulan silam, saya adalah bagian (kecil) dari perayaan pada hari Kamis ini. Anggota panitia. Yang pada beberapa hari menjelang hari puncak, mau tidak mau, harus selalu ada di lokasi; memastikan bahwa acara berlangsung, memastikan bahwa para tamu duduk pada tempat yang telah ditentukan, memastikan bahwa beberapa pihak yang membutuhkan informasi tentang pentahbisan itu dapat segera memperolehnya dari sumber yang tepat. Semacam penghubung (sebut saja begitu). Artinya, saya harus ke gereja.
Selain ‘alasan pekerjaan’ itu, menghadiri misa tahbisan adalah alasan tersendiri dan yang utama. Sampai kami menyiapkan diri pada Kamis pagi itu, tidak ada informasi bahwa misa dibatalkan. Beberapa menit sebelum tidur pada malam sebelumnya pun tak ada.
Tak adakah satu saja informasi yang berhubungan dengan Corona dan Tahbisan Uskup Ruteng ini? Ada! Satu atau dua hari sebelumnya, Mgr Silvester San, dalam hari-hari terakhir bertugas sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng telah mengeluarkan Himbauan Pastoral. Di dalamnya terdapat beberapa hal yang wajib diperhatikan. Termasuk tidak bersalaman ketika menyambut tamu yang datang dari jauh; menggantinya dengan mengatupkan dua tangan di depan dada sambil setengah membungkuk. Tidak mengurangi rasa hormat dan tetap menunjukkan keramahan.
Hal lain adalah himbauan agar yang sedang ‘tidak enak badan’ sebaiknya tidak menghadiri Misa Pentahbisan. Poin ini berangkat dari kesadaran bahwa yang imun-nya tidak baik akan lebih mudah terpapar corona. Tak ada yang mampu memastikan bahwa tak seorang pun di misa itu yang adalah carrier, bukan? Tetapi badan kami sedang enak-enak saja. Artinya, kami harus ke gereja.
Ada juga informasi lainnya, yakni: Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai melakukan pengecekan suhu tubuh dengan menggunakan thermo-gun kepada setiap orang yang masuk ke Kabupaten Manggarai melalui jalur darat, laut, dan udara. Sebuah keputusan yang baik meski juga membuat saya bersedih sebab tak bisa bersalaman dengan Kardinal ketika menyambutnya di Bandara Frans Sales Lega. Demi kesehatan. Juga karena saya berjuang mematuhi protokol khusus yang telah diputuskan.
Baca juga: Saya Novena, Saya Berhasil, Mereka Tertawa
Tiba di gereja, setelah memastikan bahwa tugas saya di bagian awal sudah beres dan misa belum dimulai, saya lihat HP dan di sana ada berita: BNPB meminta agar agenda pentahbisan ini, yang melibatkan ribuan orang, dibatalkan. Saya kaget, sedih, terpukul, dan macam-macam lagi. Negara telah meminta (secara resmi?) tetapi kami melanggarnya. Duh…
Saya cari lebih banyak informasi. Hendak memastikan bahwa larangan itu telah tiba sejak lama dan panitia dengan sengaja mengabaikannya. Tidak ada informasi yang saya butuhkan itu. Belakangan saya tahu bahwa hingga berita itu viral dan beberapa jam setelahnya, tak ada surat seperti itu yang masuk, baik ke panitia, ke Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng, pun ke KWI. Barangkali pesan itu datang dalam bentuk pesan WhatsApp yang dikirim dan tiba dinihari, sesuatu yang membuatnya menjadi begitu dilematis.
Maksud saya, misalkan benar begitu, bahwa pesan soal larangan menggelar misa itu datang dinihari, bagaimana melaksanakannya? Bagaimana menunjukkan kepatuhan kami pada negara?
Pertama, katakanlah Mgr. Silvester San memutuskan untuk melakukan langkah ‘pembatalan’, pada jam berapakah pada hari Kamis pagi itu pengumuman pembatalan itu disiarkan? Umat-umat barangkali sedang bersiap-siap ke gereja, sedang dalam perjalanan ke gereja, atau bahkan sudah ada di gereja ketika pengumuman itu keluar. Secara publikasi, tentu saja itu (mengumumkan pembatalan sesuai anjuran pemerintah pusat) akan membuat Gereja Lokal Keuskupen Ruteng tampak heroik, tetapi sudah banyak orang berkumpul. Kemungkinan risiko tetap tak terhindarkan.
Kedua, yang terjadi adalah Misa Tahbisan Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat tetap dijalankan. Dan oleh karena kesadaran bahwa pertemuan besar ini terjadi di masa dunia sedang diserang pandemi Corona, protokol kesehatan (yang telah disiapkan beberapa hari sebelumnya) dijalankan dengan sangat maksimal. Saya berjalan di samping rombongan para imam yang berarak menuju Gereja dan melihat para petugas kesehatan melakukan tugas mereka: menyemprot hand sanitizer ke tangan para imam itu, ke tangan saya, juga ke tangan umat-umat yang mulai berdatangan. Tenaga kesehatan yang memegang thermo gun juga melaksanakan tugasnya.
Misa berlangsung. Agung. Koor menyanyi indah sekali. Saya pikir, saya terharu. Entahlah. Bukankah telah saya ceritakan bahwa perasaan saya kacau?
Saya senang mendapati berderet-deret kursi yang disiapkan panitia tampak kosong. Banyak yang tidak datang. Mungkin sedang kurang fit dan mematuhi Himbauan Pastoral yang telah disebar sebelumnya. Bisa juga karena kesadaran bahwa mereka tak perlu hadir karena bahaya Corona mengintai. Tetapi saya sedih membayangkan Gereja Lokal Keuskupan Ruteng akan ‘dibantai’ di media sosial karena ‘tidak pro kemanusiaan’. Saya juga menggoyang-goyangkan kepala dengan riang sebab pukulan gendang pada beberapa lagu liturgi–sebagian besar lagu misa dalam bahasa Manggarai–begitu indah. Perasaan saya sedang campur aduk pada Misa Tahbisan Uskup Ruteng itu.
Baca juga: The Two Popes, Naskah yang Hebat dan Dua Aktor yang Sempurna
Saya ceritakan situasi ‘perasaan kacau’ itu pada istri saya setelah misa. Setelah membaca komentar-komentar (yang telah saya duga sebelumnya) pedas: demi tahbisan uskup, gereja menempatkan ribuan nyawa dalam bahaya. Komentar yang tentu saja secara maksud sangatlah benar, tetapi mungkin, sekali lagi: mungkin, begitu emosional dan terburu-buru.
Ada situasi-situasi dilematis. Beberapa orang, atau pihak-pihak yang memiliki otoritas yang tepat pasti akan mampu menjelaskan ini dengan baik. Terutama tentang mengapa gereja mesti menunggu surat resmi? Atau, mengapa yang berkewenangan membuat surat resmi itu tidak menulis surat itu jauh-jauh hari sebelumnya padahal rencana tahbisan ini sudah berulang kali tersiar di berbagai media massa sejak beberapa waktu yang lalu?
Celestin terdiam. Perasaannya tentu saja sedang kacau juga. Jika benar begitu maka saya pasti lebih kacau lagi sebab saya mencintainya dan jika dia bersedih maka saya akan dua kali lebih bersedih berarti dia akan empat kali lebih bersedih lagi dan saya enam belas kali lagi jumlahnya, dan sampai kapan? Tambahkan jumlah kekacauan itu dengan melihat betapa ‘ngerinya’ kita beradu pendapat tentang peristiwa ini dan lupa bahwa dia sudah terjadi dan seharusnya yang kita pikirkan adalah hari-hari berikutnya.
Ya! Hari-hari berikutnya. Ketika kita, dengan kesadaran masing-masing, memutuskan untuk membuat social distancing; dapatkah kita melakukannya dengan baik?
Hari-hari berikutnya akan sedikit sulit di rumah kami. Beberapa hari sebelum pentahbisan ini, saya dan Celestin bicara tentang hal lain.
“Istirahat dulu praktik, Ma.”
“Berapa lama?” Tanyanya. “Saya juga pikir begitu. Sudah ada himbauan juga dari PDGI. Tapi berapa lama?”
Kami sama-sama terdiam. Berapa lama? Ini pertanyaan yang penting. Istirahat praktik berarti pendapatan rumah tangga akan serentak berhenti. Bagaimana tagihan-tagihan kami? Di lembaga-lembaga keuangan, di toko-toko bahan bangunan, dan lain-lain. Bagaimana beras?
“Pa, saya istirahat praktik mulai hari ini,” katanya siang tadi. Setelah Misa Tahbisan Uskup Ruteng. Dia dokter gigi.
Saya setuju. Tidak juga bertanya: Untuk berapa lama?
Baca juga: Di Koperasi Kita Ditolong, di Koperasi Kita Menolong
Dan, yang tertinggal adalah betapa kacaunya perasaan saya. Bagaimana mengatasinya? Saya kirim pesan WA kepada seorang pastor. Meminta doa. Bukan semata agar ‘situasi corona’ ini segera berlalu. Yang terutama adalah agar saya tidak hidup dalam kecemasan. Sebab hidup dalam kecemasan itu kacau sekali. Padahal kekacauan akan membuat kita sulit berpikir dengan baik sedangkan pikiran yang baik adalah yang paling kita butuhkan pada saat-saat seperti ini.
Saya tidak tahu bagaimana wajah tulisan ini. Saya ingin sekali menulis peristiwa hari ini dengan jernih. Untuk itu, seharusnya saya mengambil jarak. Tidak segera menulis pada saat ini. Tetapi, Misa Tahbisan Uskup Ruteng itu terjadi hari ini dan betapa kacaunya perasaan saya pun terjadi hari ini. Saya harus menulis segera. Saya berharap bisa mengalami sedikit kelegaan setelah melakukannya. Setelah mengatakannya. Setelah menuliskannya. Meski barangkali dengan struktur yang amburadul dan dengan perspektif yang tidak jernih. Lalu kita berdoa. Menyembuhkan kecemasan masing-masing.
.
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
Mantap Tulisannya kae.semoga hari kedepanya semakin Terberkati,apalagi semangat panitia juga luar biasa…Memang kedengarannya sangat menantang,ketika saya juga melihat beberapa surat yang beredar di media,saya disini yang jauh dari rumah Ruteng sangat merasakannya juga,ketika melihat isi surat tentang pembatalan itu…Tetapi mau bilang apa lagi Misa yang dihadirkan seluruh penjuru itu,di batalkan cukup terdengar asing…Memang semua orang tau,Apa yang kita hadapi sekarang.semoga saja untuk hari ini,dan seterusnya tidak terdengar hal yang tidak diinginkan.Hanya Tuhan yang tau..Dan di berkati para panitia,dan jajaran pemerintah yang melaksanakan dengan baik,terutama bagi para tim medis yang benar-benar siap untuk melancarkan pemeriksaan dari hari kemarin.Tuhan memberkati.Tabe kae….
Mantap tulisannya Kae. Memang sdh tak relevan memperdebatkan kontroversi tahbisan Uskup di tengah pandemi Corona yang sudah dihelat. Benar bahwa saat ini yang terpenting langkah antisipasi pada masing-masing kita, entah sebagai pribadi, lembaga, atau pemerintah untuk memastikan virus ini tidak menyebar.Semua pihak harus satu komitmen utk melakukan hal ini. Social distancing dan membangun pola hidup sehat harus menjadi gerakan bersama mulai dari pemerintah, gereja, lembaga pendidikan, dunia usaha, dan keluarga. Diperlukan langkah dan kebijakan yang progresif dari semua piham sbg bentuk sikap awas dan antisipatif. Imbauan untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah dari rumah harus ditindaklanjuti dengan kebijakan yang nyata.
Ulasan yang super, Semoga Tuhan akan melindungi kita semua…
Reaksi-reaksi cepat dan spontan tentu tak dapat dihindari. Mari sama bersiap-siap menghadapi merebaknya wabah corona ini ke depannya. Semoga segera bisa diatasi.
Terima kasih. Semoga kita akan tetap baik-baik saja di hari-hari selanjutnya.
Mari sama-sama saling dukung. Wabah ini harus dihadapi dengan semangat yang sama dan saling menguatkan.
Aminnnn
Terima kasih. Amin.
Senang membacanya,panitia apalagi yg menulis seorang menggambarkanorgpanitia, yg SDH mempersiapkan ini sejak lama. Kami, seperti org lain di sana, sungguh bersuka cita karena kita SDH memiliki Uskup baru..kesenangan itu, maaf…tidak mau terusik dan terusak olehnpendapat sebagain org menginginkan agar acara ini dibatalkan. bagaimana mungkin pembatalan H-1? Geli dengan petnyataan org2, ke mana mereka saat berita pentahbisan ini diinformasikan? Mungkin kalau mereka peduli, jauh2 hari ngobrol, diskusi dan hasilnya disampaikan secara resmi. Malah pas begini, bebas komentar, terjun bebas tanpa pikir perasaan org lain..pahlawan kesiangan..tabe.
Terimakasih Tulisannya kak, sudah mewakili rasa dari setiap lapisan umt yg hadir dengan sukacita tpi diliputi rasa was2 😇 Semoga semuanya selalu dalam lindungan Tuhan