STKIP St. Paulus Ruteng membuat terobosan menyenangkan. Mementaskan Teater Tradisi Lingko Randang di Lapangan Motang Rua, Ruteng.
5 Mei 2018
Hari Sabtu, 5 Mei 2018, STKIP St. Paulus Ruteng menggelar pentas kolosal di Lapangan Motang Rua Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur. Pentas teater tradisi berjudul “Lingko Randang” tersebut menampilkan cerita tentang Lodok di Manggarai.
Lodok adalah pola pembagian tanah ulayat di Manggarai yang menyerupai jaring laba-laba. Lodok adalah nama titik utama/tengah yang jadi pusat/asal pembagian. Lodok telah dikenal luas sebagai obyek wisata Manggarai.
Namun, bagaimana persisnya pembuatan suatu Lodok? Seperti apakah nilai-nilai yang melekat dalam bermacam ritual proses tersebut? Bagaimana memaknai Lodok dalam konteks pergaulan dengan kebudayaan lain?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang tertera dalam materi promo panitia (kecuali yang ditulis miring), dijawab dalam aksi gerak, tari, dan lagu, di Ruteng. Di Lapangan Motang Rua. Ratusan mahasiswa terlibat dalam pentas teater tradisi itu. Penulis naskah dan sutradara pentas teater tradisi Lingko Randang ini adalah Rm. Inosensius Sutam. Romo Ino, demikian dosen STKIP (sekarang Unika) St. Paulus Ruteng ini disapa, menulis naskahnya berdasarkan riset tentang kebudayaan Manggarai yang dilakukannya selama ini.
Pentas teater tradisi tersebut menyajikan tontonan menarik seperti Caci, Ndundu Ndake, Danding, Sanda, Mbata, dan lain-lain. Pentas Lingko Randang yang dihadirkan dalam rangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional 2018 di Kabupaten Manggarai itu menjadi agenda kota yang menarik.
Meski demikian, untuk yang membawa anak-anak mereka, durasi pentas teater tradisi tersebut terbilang lama. Perpindahan satu adegan ke adegan lain tentu saja masih dapat dicepatkan (jika akan dipentaskan kembali). Rasanya, perlu juga memertimbangkan peluang memasukkan ‘kejutan-kejutan’, baik dalam bentuk gerak pemain atau bunyi musik, jika memang durasi pentas diperkirakan lebih dari satu jam.
Baca juga: Pesan Moral Dongeng Anak, untuk Siapa?
Tetapi sebagai pentas teater tradisi pertama di Ruteng, usaha yang dilakukan oleh Romo Ino dan seluruh timnya tampak cukup berhasil. Penonton tampak puas mengetahui: jenis-jenis pukulan gong dan gendang di Manggarai, nama-nama untuk cara memecut larik dan memegang agang dan nggiling dalam tarian caci, serta jenis-jenis tari dan lagu dalam tradisi Manggarai.
Ini adalah gerbang pengetahuan yang baik bagi anak-anak Manggarai untuk mengenal lebih dekat budaya mereka. Parade kain-kain songke, bali-belo, sapu (destar), selendang, gong, gendang, larik, agang, nggiling dalam satu pentasan membuat proses belajar menjadi lebih cepat.
Mengenalkan Seni Budaya Nusantara kepada Anak
Sesungguhnya, menyaksikan pentas budaya seperti teater tradisi Lingko Randang yang digelar oleh STKIP (sekarang Unika) St. Paulus Ruteng di Lapangan Motang Rua itu adalah kesempatan yang baik bagi anak-anak untuk belajar.
Ya. Anak-anak yang menyaksikannya akan mulai mengenal, agar kemudian dapat mencintai kebudayaan/seni budaya/tradisi tanah sendiri. Karena itu saya merasa sangat gembira ketika menyaksikan para orang tua yang datang bersama anak-anak mereka pada acara seperti itu.
Baca juga: Bagaimana Ivan Nestorman Melihat World Music?
Selain melalui kegiatan menikmati pertunjukan seni, ada cara lain yang dapat dilakukan sebagai usaha mengenalkan anak pada seni budaya Nusantara. Banyak artikel telah mengulasnya, tulisan ini adalah salah satu pengingat.
Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orang tua agar anak-anak mengenal dan belajar mencintai budaya/tradisi Nusantara.
Satu, melakukan perjalanan. Ini memerlukan cukup banyak biaya. Barangkali. Tetapi bisa juga tidak. Perjalanan pulang kampung saat liburan adalah kesempatan yang baik. Di Manggarai, acara-acara kebudayaan kerap dilaksanakan saat liburan. Selain mengikuti pola panen, pertimbangan musim, dan hitungan-hitungan tradisi lainnya, juga agar seluruh klan bisa mengikutinya. Anak-anak harus diajak serta.
Dua, mengunjungi pameran. Yang seperti ini lebih mudah. Lahirnya Undang-undang Pemajuan Kebudayaan akan melahirkan banyak iven-iven kebudayaan, pameran budaya dan tradisi. Tentu akan baik sekali jika anak-anak diajak berkunjung. Sekolah-sekolah juga bisa merancang agenda khusus, mengunjungi lokasi pameran, sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler. Siswa-siswi kemudian diminta menceritakan pengalamannya.
Tiga, mendengar lagu daerah. Di setiap rumah, pasti ada koleksi lagu-lagu daerah. Sesekali dimainkan saat family time. Sesekali, Papa dan Mama mesti menyanyikannya. Sebagai lagu ninabobo atau dilagukan saat bermain bersama anak.
Baca juga: Kita adalah Komentator Sepak Bola (Bagian Kedua)
Empat, ke museum. Cara ini tentu hanya untuk anak-anak yang tinggal di tempat yang ada museumnya. Museum budaya, tentu saja. Atau setiap kota seharusnya memiliki satu.
Lima, melihat pertunjukan seni. Selain pertunjukan live, tayangan-tayangan kebudayaan di televisi, siaran-siaran radio, dan (ini yang paling penting) buku-buku cerita adalah bagian dari ‘melihat pertunjukan seni’. Bagaimana pengaruhnya, dapat dilihat pada penjelasan di atas.
Enam, melalui makanan tradisional. Bahwa Bika Ambon itu bukan dari Ambon, Rebok itu olahan tradisional Manggarai, sebaiknya diceritakan pada anak-anak saat mereka mencicipnya. Pada saat yang sama, Papa dan Mama bisa bercerita tentang hal-hal lain tentang kebudayaan di daerah tempat makanan itu berasal. Mudah bukan?
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
Tulisan ini sebelumnya disiarkan di Blog Ineame. Tetapi blog itu telah ditutup dan demi kepentingan pengarsipan, sebagian besar tulisan yang pernah ada di Blog Ineame dipindahkan ke Blog Ranalino. Blog Ineame kini adalah sebuah kanal youtube.
Teater yang sama dipentaskan juga di Labuan Bajo pada rangkaian Festival Golo Koe, Labuan Bajo bulan Agustus 2022 lalu dengan judul Randang Lingko. Foto di atas diambil dari facebook Romo Ino Sutam saat Randang Lingko dipentaskan di Water Front Labuan Bajo.