Saya lahir di Oepura Kupang, menghabiskan masa kecil di Pateng, sekarang tinggal di Ruteng dan memperkenalkan diri sebagai Blogger Ruteng. Sebagai blogger saya senang berbagi cerita perjalanan. Kali ini, ke tempat lahir beta.
Ketika kecil saya selalu membangga-banggakan tempat saya lahir. Saya tinggal di sebuah kampung kecil bernama Pateng-Hamente Rego-Manggarai (Barat) ketika itu, sedangkan saya lahir di Kupang.
Bagi teman-teman kecil saya, tempat saya lahir itu terdengar begitu hebat dan mewah. Seumpama nasi padang bagi seorang anak yang harus selalu sabar melihat daun singkong yang digarap bening pada suatu makan siang di kardol mereka. Fyi, kardol adalah ruangan penghubung antara rumah besar dan dapur.
Pada masa-masa itu, dengan lantang saya menyebut Oepura Kupang setiap saat ada yang menanyakan lokasi persis tempat lahir beta itu. Mereka yang mendengar akan memuji, dan saya menikmati. Karena selain makan tiga kali sehari, anak-anak juga hidup dari pujian. Tetapi situasi perlahan berubah ketika saya beranjak besar. Suara saya tidak lagi selantang dahulu saat menjawab pertanyaan yang sama.
Alasannya, saya tidak ingat bentuk dan wajah tempat lahir beta itu. Bagaimana kalau penanya tidak berhenti di pertanyaan tentang tempat tetapi berharap saya bisa mendeskripsi tempat itu? Saya nol bulat besar pengetahuan tentang itu.
Demikianlah alasan saya mengecilkan suara setiap kali menjawab. Saya tidak pernah ke tempat itu lagi dan tidak tahu bagaimana rupanya. Saya bahkan khawatir tidak akan pernah melihatnya lagi.
Karenanya, meski ada rasa bangga tersisa di sudut hati sebagai yang dianggap hebat oleh Om Rafael karena saya lahir di Ibukota Prinsip–maksud beliau tentu saja Propinsi, saya tetap malu-malu menjelaskan tempat lahir beta itu. Barangkali karena merasa tertangkap basah sebagai lelaki yang tak mengenal tempat kuni-nya ditanam di dekat kalo.
Tetapi tak pernah ada yang menduga cara semesta bekerja. Beberapa tahun silam, saya dapat kesempatan melihat Oepura.
Bidan Etty yang membantu Muder Yuliana pada hari saya lahir, menemani perjalanan napak tilas saya ketika itu. Betapa saya terharu tetapi juga kecewa karena tidak sempat membuat dokumentasi. Kapan kesempatan seperti itu datang lagi?
Ternyata pada bulan Oktober 2016 lalu. Perlu waktu tiga puluh empat tahun lamanya untuk bisa membuat dokumentasi dalam bentuk gambar, bahwa seorang lelaki tak kan pernah lupa tanah tumpah darahnya. Perjalanan yang panjang. Tak ada pohon kalo yang bisa menjadi penunjuk jejak, tetapi saya kira saya mendengar kuni saya berbisik mesra, menyapa, dan menebar haru. Saya melihat karang di tanah itu. Mungkin ketika belajar bicara, saya menyebut mereka ‘kayang’.
Dan sekarang, betapa banyak kata yang berhasil saya ucapkan dengan sempurna; seperti kata ‘sayang’, kepada istri saya yang setia menemani perjalanan itu dan memberi kesempatan hening ketika saya mengalami momen sesak napas menahan haru saat ingatan berjuang melayang-layang ke masa yang tidak pernah sedikit pun ada dalam bayangan.
Betapa hebat semesta. Bekerja melalui tangan-tangan yang terbuka lebar memeluk saya ketika ‘pulang’. Saya senang dan berterima kasih seribu kali untuk Debi Angkasa yang memungkinkan perjalanan romantis ini terjadi. Juga Marvell dam Graciano yang ceria.
Saya senang bisa minum kopi bersama Bidan Etty yang membantu kelahiran saya, bersama Om Zakarias Angkasa, suaminya yang setia dan hebat. Tuhan pasti sedang menyiapkan kejutan manis untuk orang-orang sebaik kalian ketika saya menulis catatan kecil ini. Kita akan bertemu lagi dengan cerita yang tak pernah habis.
Malaikat Rafael pasti setia bersama kita dalam setiap perjalanan, seperti ketika dia menemani saya sepanjang jalan di Ibukota Prinsip eh… maksudnya Propinsi.
Setibanya di Ruteng saya menuturkan kisah perjalanan ini pada Muder Yuliana, dia senang sekali, dan saya bahagia. Neka ghemong kuni agu kalo. Saya lahir di bumi Sasando.
Pada perjalanan yang sama, saya sempat mampir ke Rumah Sasando. Melihat Jack Pah memainkan alat musik itu dan menikmati kesenangan yang lebih. Sungguh.
—
Salam dari Ruteng – Flores
Armin Bell
- Neka Hemong Kuni agu Kalo, adalah ungkapan Manggarai tentang kearifan personal untuk selalu mengingat tanah kelahiran. Ungkapan ini juga didengar dalam versi lain, Neka oke kuni agu kalo.
- Kuni adalah plasenta. Di Manggarai, plasenta dipercaya sebagai kakak, yang hidup bersama bayi di dalam rahim Ibu. Ketika persalinan, kakak akan dikubur dengan doa dan harapan.
- Kalo adalah pohon dadap. Pada generasi dahulu, di tempat kuni dikuburkan, sebuah kalo harus ditanam sebagai penanda. Dari sanalah ungkapan Manggarai Neka Oke Kuni agu Kalo itu berasal.
Gambar: Foto di tanah tempat rumah masa kecil kami berdiri.