Blog ranalino.co selalu bersukacita mendapat dan berkesempatan menyiarkan catatan Ucique Klara Jehaun. Molas rigit penuh pesona ini adalah penulis yang lincah, dalam berjalan dan juga dalam kata-kata.
Kali ini, Ucique menulis tentang rambut keritingnya, berbagai cerita di seputarnya, dan pengalaman bad hair days yang membuatnya pernah bekerja dengan mata bengkak. Dia menangis, memarahi rambutnya yang betapa sulit diatur pada masa dia harus mengejar bus ke tempat kerja. Catatan ini dilengkapinya dengan tabel pro-kon rebonding.
Molas Rigit, Keriting Berbahaya dan Rambut Rebonding Jelang Natal di Ruteng
Oleh: Ucique Jehaun
Baru saja saya melihat seorang teman mengiklankan produk dagangan online di facebook. Sebuah rambut palsu a.k.a wig yang tergerai panjang, harganya Rp 150.000. Ini terhitung murah meriah karena sudah termasuk ongkos kirim untuk ukuran rambut palsu yang panjang dengan manfaat 3 in 1: lurus, wave dan curly.
Bisa ganti-ganti antara tiga penampilan yang berbeda dengan dalam satu produk yang praktis dan sekali bayar. Mau dooooong…! Tapi saya apes, sedang tak punya anggaran untuk itu. Padahal pengen; sesekali bolehlah saya punya pengalaman berambut lurus, meski palsu.
Rambut saya keriting. Panjang sebahu saat kering dan bisa sampai di punggung kalau disisir usai keramas, bergeming. Beberapa tahun belakangan ini, banyak yang bilang saya punya rambut yang keren dan bagus. Saya suka dibilang begitu. Ehm… Di saat yang sama banyak kenangan muncrat dalam ingatan tentang rambut.
Saat saya kecil, sering dipanggil rigit, istilah Manggarai untuk rambut keriting (kribo juga boleh). Konon awal tahun 90-an adalah “Klara” seorang wanita dengan gangguan jiwa di Ruteng. Saya tidak pernah bertemu atau mengetahui seperti apa dia. Tentu saja anak kecil yang duduk di bangku TK akan menangis saat nama tengahnya “Klara” dipasangkan dengan kata “rigit” dalam satu frasa.
Padahal sesungguhnya, dalam banyak situasi di Ruteng kata rigit mengandung ungkapan sayang dan cute. (Catatan ed: Banyak orang di Ruteng memanggil kekasihnya dengan ‘namasayang’ rigit (keriting), rimpet/lempe (hidung pesek), dan beberapa kata lagi yang berkesan mengejek namun justru menimbulkan reaksi yang lain seperti wajah merona merah, cubitan manja, atau sandaran di bahu. Ngeri to? *smile).
Tetapi ya, itu tadi. Namanya juga anak kecil. Belum banyak mengerti. Maka saya menangis. Hiburan dan peneguhan pun datang tiap kali saya ngambek. Salah satunya adalah ketika di suatu masa, kakak saya yang sulung selesai membelah nangka muda langsung menggosok-gosokan nanah nangka ke rambut saya yang saat itu (katanya) lurus. Tentu saja tangisan saya reda, namun ada sakit hati dan penyesalan.
Andaikan hal itu tidak terjadi–saya tidak berambut keriting, tentu saya bisa punya pengalaman gunting rambut bob dengan poni lempar yang bisa menari-nari tatkala ditiup angin.
Mati lampu jelang Natal, molas rigit dituduh jadi penyebab
Jaman SMA, ada akronim KRIDA. KRiting DAnger. Keriting yang berbahaya. Oh…! Banyak juga lelucon yang mengkambinghitamkan rambut rigit. Salah satunya hubungan antara rambut rebonding dan Jelang Natal di Ruteng. Di kota ini, kalau lampu mati menjelang perayaan Natal, pada masa Adventus, yang dituduh adalah gadis-gadis berambut keriting, para molas rigit. “Itu karena banyak perempuan rigit yang rebonding rambut.”
Sekarang, itu hanya jadi kisah lucu untuk diceritakan lagi saat kita dewasa. Saya yakin, kita semua hidup di dunia ini dengan masing-masing purpose of being (istilah yang saya bikin asal-asalan). Seiring waktu, saya mulai menerima bahwa kita dilahirkan dan ada di dunia dengan keunikan masing-masing. Dan untuk saya sepertinya: “I was born to be the curly girl.”
Tetapi sebenarnya saya juga struggling dengan berbagai macam impian, harapan dan percobaan atas rambut.
Saya pernah menangis saking kesalnya. Saat itu saya masih kerja di Jakarta, bangun telat dan harus mengejar bus. Pagi itu adalah salah satu dari bad hair days; sampai-sampai sisir patah. Saya marah pada diri sendiri lalu tersedu. Hari itu saya terlambat masuk kantor, saya bekerja dengan mata bengkak.
Pernah berencana me-rebonding namun karena saya ragu, jadilah ide untuk ‘catok saja dulu’. Seperti preview. Ternyata saya tidak nyaman karena muka saya menjadi aneh sekali. Struktur wajah saya memang.. ehm… agak bambas* dengan dahi lebar dan terdapat bagian yang besar pada lubang hidung.
Percayalah, perpaduan wajah dengan pola demikian dengan rambut kempis akan menghasilkan sesuatu yang canggung. Saya sedih. Saya ingin juga bergaya. Saya kan masih (bersemangat) muda.
Berdamai dengan rambut rigit
Seiring waktu saya mencoba berdamai dengan rambut rigit saya. Dan lagi, saya bukan orang yang telaten dengan perawatan. Begitulah usaha menghibur diri, meski tak ayal kadang sering kesal karena tidak bisa bergaya macam-macam atau seru-seruan.
Sampai sekarang saya belum pernah mencoba lagi untuk merubah struktur rambut saya. Sama sekali bukan karena alasan ideologis atau prinsip atau filosofi berat apalah yang mungkin dipikirkan orang. Ini hanya alasan praktis.
Dengan mengubah tampilan rambut, saya harus rajin melakukan perawatan. Pangkal rambut baru yang tumbuh dengan kepolosannya tentu tidak match dengan badan dan ujung rambut yang lurus, bukan? Mungkin suatu saat nanti akan saya coba. Entahlah! Saya hanya berusaha menelan pil (agak) pahit dalam kehidupan ini, #yaelaaaah.
Seperti kata pepatah: You do not know what you’ve got until someone tells that your hair is beautiful! #EhSalahYa? Apalagi setelah melihat si Whoopi Goldberg yang tenar dengan karena film “Sister Act” dan mulai menyukai lagu Macy Gray yang “I Try”.
Begitulah! Karena alasan tidak mau repot, berdamai dengan diri sendiri dan tidak peduli, maka saya sering membiarkan rambut rigit saya tergerai. Let it go, nothing to lose. Acceptance. Saya sering nyanyi “Let it Be”, untuk meneguhkan hati di kala bad hair days menimpa. Ikh, lebay ah!
Time goes by. It turns out making peace with my hair brings the new meaning of acceptance really is. Saat ini rambut curly – (kadang rigit) menjadi idola. Banyak yang suka. Saya senang karena dengan dengan dianggap kerennya rambut bergelombang, setidaknya anak-anak tidak merasa ada yang salah menjadi molas rigit. Malah semakin termotivasi untuk tetap mempertahankan keunikan atas ke-rigit-an itu. Setidaknya sampai saat usia mereka tepat untuk mengambil keputusan mengubah penampilan fisik, tidak ada yang perlu diubah.
Saya bukan anti rebonding. Sama sekali tidak. Saya malah berterimakasih kepada kemajuan teknologi atas penemuan alat hebat berupa catok. Kubersyukur atas para ahli kimia yang menemukan formula bahan pelurus rambut, sehingga kita tidak perlu berekperimen dengan tahang* dan sabun wings cream yang belum tentu aman bagi kulit.
Dengan rambut rebonding, beberapa dari kita tidak perlu menghabiskan 30 menit pagi hari untuk sisir rambut. Waktu sebanyak itu bisa dipakai untuk mengurus anak atau membuat sarapan bagi keluarga. Rambut rebonding memberi kesempatan akan terwujudnya mimpi, merasakan gairah exotic saat poni lempar bisa ditiup angin. Termasuk bebas dari belenggu jepit rambut di sana sini, karet, dan ikat rambut.
Berikut saya coba corat coret bikin pro-kon list rebonding dengan indikator sesuka saya:
Tabel Pro-Kon Rebonding, made by Ucique Klara Jehaun | Courtesy of: ranalino.co |
Nah, bagaimana? Anda ingin rebonding atau tidak? Natal su dekaaaatttt.
(*)
Ucique Klara Jehaun, tinggal di Ruteng. Sesekali rambutnya tertiup angin-bergerak-meski hanya sebentar. Sebagian besar gerakan rambutnya justru tercipta karena kecepatannya berjalan. Luar biasa, bukan? Ucique adalah anggota Petra Book Club Ruteng.
Notes:
- Bambas (Manggarai): Besar (pemahaman saya)
- Tahang (Manggarai): Kapur sirih.
- Kong ket nggoo ta… (Manggarai): Biar saja seperti ini.
Catatan ed:
- Di Ruteng, cukup banyak perempuan yang agak sulit dikenali pada Misa Malam Natal. Ada yang berubah. Ada apa gerangan? Oh, rambut mereka berubah. Menjadi sangat lurus. Di keluarga kami, Kakak saya menyebutnya dengan istilah “rambut jatuh”. Saya sendiri memberi nama pada fenomena perubahan penampilan tersebut dengan istilah yang saya rasa keren: Rebonding Natal. Mereka bahagia. Kita bisa apa? “Hanya Natal di Ruteng saja yang bisa bikin sa bahagia,” kata Lipooz si pemilik 16 Bar itu. Saya setuju. Saya bahagia melihat para pemilik rambut jatuh itu mengikut Misa dengan bahagia. Bayi Yesus pasti senang sekali. Itu!
- Catatan ini berjudul asli: ProKon Rebonding: Sebuah Pengalaman dan Cerita Tentang Rambut. Tanpa meminta persetujuan penulis, saya mengubahnya menjadi Molas Rigit, Keriting Berbahaya, dan Rambut Rebonding Jelang Natal di Ruteng. Kelak kalian akan mengerti mengapa saya melakukannya. Saat ini, marilah kita berdoa semoga strategi menulis judul ini tetap mampu menjaga kekhasan ranalino.co dan tidak menjebaknya menjadi blog pengejar klik dengan judul bombastis seumpama: Inilah Beberapa Alasan Rebonding, Kamu Akan Terharu dan Memeluk Bantal di Alasan Kelima.
Adik ucik yg manis..sadarlah kau tidak sendiri.. thousands of girls/women let their hair curly..because its beautiful.. juga krn alasan2 tertentu spt tidak ada anggaran rebonding ato krn tidak ada waktu buat catok..i was struggling too..mantap utk tulisannya��
Nah, itu Ucique. Keep that beautiful curly 😀
Sometimes, me too. Hidup RIGIT garis keras ! 😍😍😍😍😍😍
Mantaaaap.