kritik ranalino tak pernah sepedas kripik

Kritik Tak Pernah Sepedas Keripik

Kita tak pernah suka dikritik. Salah satu penyebabnya barangkali karena kita menduga kritik datang dalam kerangka subjektivitas.


Saat mendapat kritik, banyak yang merasa sedang diserang secara pribadi. Benarkah perasaan itu? Apakah benar kritik yang sebagian besar kita dengar saat ini adalah serangan personal. Kita bisa jadi akan terjebak pada debat yang panjang tentang hal itu. Lalu bagaimana?

Dengan melepaskan diri dari semua persoalan itu, saya sesungguhnya percaya bahwa ada hal-hal baik yang dapat kita temui pada setiap kritik; sebrutal apa pun itu disampaikan.

Adakah Kritik yang Salah?

Merujuk pada pengertiannya, sepertinya tidak ada satu pun kritik di muka bumi ini yang pantas disebut sebagai kritik yang salah. Kritik adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Artinya jelas, kritik bertujuan positif. Maka ‘sebrutal’ apa pun dia datang, seharusnya tetap dilihat sebagai niat membantu memperbaiki pekerjaan.

Tetapi persoalan kemudian muncul ketika dalam keseharian kita cenderung ‘memberi perhatian lebih’ pada siapa yang mengkritik, bukan pada materinya.

Sederhananya begini. Ketika tulisan saya dikritik, yang pertama kali saya lihat adalah siapa yang memberi kritik. Pada tahapan selanjutnya, yang saya lakukan adalah memikirkan apakah orang itu cukup pantas memberikan kritik. Artinya, ketika dia memberi kritik pada karya saya, saya akan bertanya apakah dia sudah menghasilkan karya yang lebih baik dari saya? Kemudian saya akan mengutak-atik latar belakang orang itu; ketika ternyata saya temukan bahwa dia tidak menghasilkan karya yang lebih baik maka kritikannya akan saya abaikan. Tir pernah tulis cerpen tapi brani skali kritik tulisan. Begitu yang saya pikirkan.

BACA JUGA
KBBI adalah Prolog, Alkitab itu Inti Cerita, Sepak Bola Jadi Epilog

Akibatnya? Kritikan tersebut lewat begitu saja tanpa saya baca poinnya dengan jelas. Padahal bisa jadi, materi kritikannya adalah sesuatu yang sangat bermanfaat untuk pengembangan karya saya, kepengrajinan saya, dan lain-lain. Tetapi saya tidak memedulikannya dengan alasan dia tidak pantas memberi kritik karena tidak menghasilkan karya seperti yang saya lakukan. Begitu yang sering saya temui dalam keseharian saya.

Baca juga: Jurnalistik Dasar – Komunikasi

Pada tahap tertentu, kita kadang berharap (atau mengharuskan) si pemberi kritik menyertakan solusi. Padahal, kritik itu bertujuan meningkatkan pemahaman. Bukan menyelesaikan masalah. Seorang kritikus, tidak harus dibebani dengan pekerjaan tambahan untuk menyelesaikan pekerjaan kita. Dia hanya bertugas membantu kita menemukan jalan memperbaiki pekerjaan; kita sendiri yang harus memperbaikinya dan kritikus membantu kita ‘melihat’ apa yang harus diperbaiki.

Tetapi begitulah. Kita kadang terjebak pada ungkapan “kritik yang membangun” sehingga merasa kalau ada orang yang memberikan kritik lepas (apa pun itu artinya) kita lantas menyalahkannya sebagai tukang cari gara-gara. Yang kita lakukan kemudian adalah membalas mengkritiknya dengan lebih membabi buta; kita melepas diri dari konteks. Awalnya yang dilihat adalah karya kita (agar menjadi lebih baik) tetapi kemudian berubah menjadi kita berniat sungguh mengkritik karya orang lain, sesuatu yang tiba-tiba muncul begitu saja–sehingga jangan heran kalau kritikan kita kadang tidak memiliki landasan yang cukup kuat. Situasi menjadi kabur. Self defense mechanism dibangun sehingga kita tidak lagi punya kesempatan memperbaiki karya kita dan malah memperbaiki karya orang lain.

Akibat Sikap Defensif

Pada situasi bahwa kita akhirnya mengkritik orang lain pada saat seharusnya kita menggunakan lebih banyak waktu untuk menyerap masukan orang lain, karya kita berakhir dengan diam di tempat. Karya orang lain bergerak maju. Siapa yang kalah?

BACA JUGA
Agama Apa Saja adalah Agama yang Baik

Menyadari kondisi ini, saya kira sikap yang baik adalah menghargai setiap kritik, sebrutal apa pun itu disampaikan pasti tetap bermanfaat. Karena, kritik adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Pekerjaan kita.

Baca juga: Agama Apa Saja adalah Agama yang Baik

Bayangkan ini!

Suatu ketika, putra atau cucumu yang bahkan belum bisa merapikan rambutnya sendiri, memperhatikan kau berdandan. Kau akan ke pesta. Setelah waktu setengah jam di depan cermin, kau puas dengan penampilan terkinimu dan siap berangkat. Tiba-tiba dia bergumam, “Aduh, rambutnya jelek kalau disisir begitu. Jadi kelihatan tua sekali.”

Apa yang harus dilakukan? Menurut saya, pilihan terbaik adalah mencoba model penataan yang lain, karena dia yang memang belum bisa merapikan rambutnya sendiri itu mau dan yakin bahwa bisa tampil lebih muda (baik). Dia hanya melakukan evaluasi. Dia tidak bisa diminta memperbaiki rambut kita, kan?

Kenneth Peacock Tynan, seorang penulis dan kritikus teater asal Inggris pernah bilang, “A critic is a man who knows the way, but can’t drive the car.” Begitu kira-kira. Bahwa kritik itu seperti orang yang tahu arah jalan, tetapi tidak bisa mengemudi. Maka, mari ke ‘sana’ bersama-sama. Jika kita rasa itu baik, tentu saja. Dia tak pernah sepedas keripik.

31 Agustus 2012

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Bagikan ke:

10 Comments

  1. Trima kasih utk artikel ini.. Saya msh berjuang utk 'berdamai' dg kritik (apalg yg negatif).. tll sering dapat pujian buat saya jadi 'mabok' pak armin! Sy jd tdk 'waspada' dan merasa diserang pake pedang yg menghunjam sampe ke ulu hati waktu dapat kritik.. sy jd mendadak insomnia bermalam2 om! Dan merasa jd manusia paling gagal sekabupaten…separah itulah… skl lg terima kasih utk artikel lama rasa ((selalu) baru ini pak armin… tabe…

  2. Kritik pedas dan kripik pedas sama2 bikin muka merah pak armin! Hehehhee..salam sukses selamat berkarya(terus) … biar kami jadi penikmat dan tukang krip(t)ik saja.. ����

  3. Tidak mudah berdamai dengan kritik terutama jika kita hidup terlalu lama dipuja-puja. Barangkali yang perlu selalu diingat adalah _we are not the center of the universe_ 😉

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *