Seorang Istri Migran di Manggarai bicara jujur tentang bagaimana dia memenuhi kebutuhan biologisnya. Video itu viral.
Pengantar Ed.
Istri Migran (ISMI) adalah terminologi yang mulai dipopulerkan di Manggarai oleh para pegiat advokasi buruh migran untuk mengganti sebutan Jamal yang dianggap sangat diskriminatif. Jamal adalah singkatan dari Janda Malaysia; para istri yang ditinggal suaminya bekerja ke Malaysia. Tetapi meski sebutan berganti, stigma bahwa mereka adalah perempuan yang haus belaian dan karenanya dapat dengan mudah menjadi obyek seksual para pria hidung belang, rasanya agak sulit diubah.
Maka, ketika ada perempuan, ISMI, yang secara jujur menyampaikan bahwa dirinya berkuasa atas hasratnya dan berkewajiban memenuhinya dengan cara yang dia temukan sendiri, dalam arti dia adalah subyek, semua orang menjadi kaget. Begitulah.
Para pengguna media sosial di Manggarai sedang ramai membicarakan sebuah video yang berisi pengakuan seorang perempuan tentang alasannya (sebut saja) berselingkuh. Video itu beredar luas, menjadi viral, karena keterusterangan yang tidak biasa; perempuan secara jujur bercerita bahwa dirinya memiliki kebutuhan biologis (hasrat seksual) yang harus dipenuhi.
Sesungguhnya tidak ada yang sangat istimewa dari pengakuan tersebut karena video ini (menurut dugaan saya) diambil pada saat acara/urusan adat. Siapa saja yang pernah mengikuti acara adat serupa di Manggarai, pasti pernah mendengar percakapan dan pengakuan segamblang dan sejujur itu. Yang membuatnya viral adalah karena momen dari ruang pribadi itu, entah untuk apa, diunggah ke media sosial oleh seseorang. Dari sanalah percakapan tentang video ini bermula. Video tersebut, atas alasan kepantasan dan penghargaan pada momen-momen pribadi orang lain, tidak diunggah kembali di sini.
Tetapi sebagai gambaran bagi yang belum menyaksikannya (atau sudah tetapi tidak mengerti isi dialognya), saya ceritakan secara singkat. Seorang ibu mengakui bahwa karena kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi sehubungan dengan suaminya yang telah lama merantau ke Malaysia, dia mencari pemenuhan dengan cara yang dia putuskan sendiri: berhubungan dengan laki-laki lain. Penyebutan vagina dalam bahasa Manggarai dan beberapa kalimat lain dalam video itu rupanya jadi santapan menarik warganet.
Tak lama setelah video itu viral, beranda Facebook orang-orang Manggarai penuh dengan perdebatan. Sebagian besar menganggap situasi dalam video itu sebagai sesuatu yang lucu. Sebagian lagi membuat tagar (hashtag) dari kata-kata yang disampaikan perempuan itu. Beberapa bahkan mengolok-olok, entah kepada perempuan itu, juga kepada suaminya yang merantau. Viral dan menjadi buruk.
Salah seorang teman saya, Roy Dampung, kemudian membuat empat status bersambung. Status-status tersebut sangat menarik sehingga atas izinnya saya unggah di Blog Ranalino.co. Mari simak catatannya berikut ini.
Empat Bagian tentang Hal-Hal di Balik Video Viral Istri Migran di Manggarai
Oleh: Roy Dampung
Bagian Satu
Video yang sedang viral saat ini, buat saya, seolah mau menggugah kita akan fenomena yang kurang lebih berlangsung 10 sampai 15 tahun terakhir. Di mana cukup banyak saudara-saudara kita yang mengadu peruntungan di tanah rantau, sebut saja Malaysia, dan lain-lain. Maka muncullah istilah-istilah baru yang mengiringi fenomena itu, seperti JaMal, JaKal, dan lain sebagainya.
Di sini ada beberapa persoalan yang muncul bersamaan, yakni: persoalan ekonomi, persoalan sosial, dan persoalan-persoalan lain yang mungkin tidak sedominan dua soal di atas. Fenomena ngo pala/ngo mbeot lau tana data (merantau, mencari kerja, ed.) tentu berangkat dari persoalan ekonomi. Namun persoalan ekonomi ini juga kadang masih bisa diperdebatkan.
Mengapa demikian? Karena kepergian saudara-saudara kita ke tanah rantau, tidak terjadi semata-mata karena sudah tidak punya sumber daya ekonomi yang bisa diandalkan untuk kehidupan. Sumber daya di sini bisa diartikan sebagai tanah, baik itu dalam bentuk Uma (kebun) maupun Galung (sawah). Tentu saja masih ada sumber-sumber daya lainnya, tetapi dalam konteks Manggarai atau juga negara agraris seperti Indonesia, sumber daya ini sering diartikan sebagai lahan pertanian.
Tidak semua saudara kita yang merantau itu karena memang sudah tidak punya tanah. Tidak sedikit dari mereka yang malah memiliki tanah yang cukup luas. Lalu, mengapa dengan kepemilikan sumber daya itu mereka masih memutuskan untuk ngo pala/ngo mbeot atau merantau?
Bagian Dua
Ada dua alasan ekonomi yang paling dominan yang membuat masyarakat kita memilih merantau bekerja (pala) ke luar negeri atau ke tempat lain. Pertama, luas lahan pertanian yang terbatas. Ini disebabkan karena jumlah keturunan (baca: penduduk) yang semakin bertambah, sementara lahan garapan tidak bertambah luas. Kedua, ase-kae kita dari desa yang mayoritas petani itu tidak melihat sektor pertanian sebagai sektor yang menjanjikan. Atau, profesi bertani itu (dipandang) bukan sebuah jaminan hidup cukup.
Pola pikir dan ketekunan berperan besar dalam hal ini. Masyarakat kita masih rendah dalam kesadaran memanfaatkan lahan produktif. Pemahaman akan intensifikasi dan lain sebagainya, masih rendah. Manajemen hasil panen masih rendah. Tidak heran para petani kita susah keluar dari kondisi terpuruk karena pasca-panen, mereka sudah dihadapkan dengan melunasi ijon, dan lain-lain.
Kualitas komoditi juga tidak terjaga karena kurangnya modal dan pengetahuan. Di sini, pemerintah dan lembaga nonpemerintah bisa mengintervensi dan memberi advokasi. Saya kira teman-teman saya di Dinas Pertanian lebih paham akan hal ini.
Bagian Tiga
Masalah sosial. Inilah yang terjadi sebagai (sebut saja) efek domino dari persoalan yang sudah saya sedikit uraikan bagian satu dan dua di atas. Mayoritas ase-kae kita yang merantau (pala) ke luar negeri/daerah meninggalkan istri dan anak. Bahwasanya kemudian persoalan ekonomi bisa diatasi, ada soal lain yg perlu didiskusikan bersama.
Istri punya kebutuhan yang sama layaknya kaum pria (suami). Seorang perempuan yang ditinggal merantau oleh suaminya cenderung mendapat stigma negatif. Makanya kemudian muncul istilah JaMal, dan lain-lain. Kehadiran seorang suami (Bapak Rumah Tangga) bukan saja soal kebutuhan biologis.
Kebutuhan sosial juga sangat vital. Dari sisi kebutuhan biologis (seksual), pria dan wanita punya kebutuhan yang sama dan sederajat. Dalam pandangan saya, masyarakat kita masih melihat kaum perempuan dalam posisi subordinat untuk hal ini. Pemenuhan kebutuhan biologis bagi kaum perempuan masih dilihat sebagai konsekuensi hasrat biologis kaum pria. Tidak heran jika kita pun masih berasumsi tidak adil dalam menilai perilaku perempuan dan pria ketika ingin memenuhi kebutuhan ini.
Baca juga: Analisis Cerpen “Lelaki dari Malaysia”
Mungkin tidak semua kaum pria yang merantau (pala) itu tipe yang setia. Maaf! Di sana mereka bisa saja memenuhi kebutuhan biologis dengan orang lain; pasangan yang tidak sah. Sementara kaum perempuan yang menunggu di kampung harus menanggung stigma kurang mengenakkan. Mereka tidak sebebas kaum pria ketika ingin memenuhi kebutuhan biologisnya. Tidak berzinah saja sudah jadi bahan gunjingan. Apalagi kalo berzinah. Cilaka 13! Itulah alasan saya mengapa tidak semata-mata menyalahkan perempuan yang ada dalam video yang sedang viral di dunia maya, khususnya di kalangan orang Manggarai itu.
Bahwa dia menggunakan bahasa yang kurang patut atau terlalu vulgar, itu saya akui. Tapi poinnya adalah: itu bentuk kejujuran dan saya yakin bukan cuma dia yang mengalami beban itu. Bukan cuma itu, masalah sosial lain adalah anak-anak. Itu akan kita bahas pada bagian berikut.
Bagian Empat
Anak-anak. Tidak semua anak-anak siap ketika ditinggal ayahnya merantau. Apalagi ketika mereka, anak-anak itu, masih dalam usia pertumbuhan. Dalam pergaulan seusianya, mereka tidak jarang jadi minder dengan teman sebayanya. Mereka seperti kehilangan sosok yang tangguh yang melindungi mereka.
Bukan saya menyangsikan peran ibu, tetapi sosok ayah, walau bukan sosok yang melahirkan, kehadirannya di tengah keluarga merupakan kekuatan tersendiri (secara psikologis). Teman-teman yang kuliah atau belajar khusus Psikologi tentu paham maksud saya. Sehingga ada benarnya kalimat yang saya pernah dengar beberapa tahun lalu: “Kehilangan ibu adalah kehilangan kasih sayang, dan kehilangan ayah adalah kehilangan kehormatan.”
Bayangkan saja perasaan anak yang ditinggal ayahnya merantau tanpa kejelasan apakah ayahnya akan pulang atau tidak. Beban psikologis pasti terasa, apalagi ketika mereka sudah paham beban psikologis dan stigma yang ibu mereka tanggung. Suka tidak suka, inilah wajah sebagian generasi penerus kita. Inilah potret besar seperti yang ceritakan dalam empat bagian tulisan di atas. Potret ini banyak terjadi di daerah kita, di kampung-kampung kita. Silakan disimpulkan sendiri. Tabe.
–
5 September 2018
Roy Dampung, tinggal di Leda, Ruteng.
–
Ed: Armin Bell
Catatan: Telah terjadi penyuntingan pada beberapa kata tanpa mengubah maksud tulisan Roy Dampung. Penyuntingan terutama dilakukan pada kata-kata yang pada status ditulis singkat, seperti yg menjadi yang, dsbx menjadi dan lain sebagainya, dan beberapa kata/bentuk penulisan lain. Tulisan ini, sebagaimana ditulis Roy pada statusnya, adalah bahan diskusi kita semua tentang hal-hal yang perlu dilakukan sebagai bentuk kepedulian kita pada nasib istri migran di Manggarai.
Gambar dari Aeroin.net.