Saya dan Maria minum kopi sambil bicara tentang buku gratis yang sedang jadi gerakan baru. Buku gratis? Hmmm …
Ruteng, 21 Juli 2018
Maria adalah seorang teman yang ikut ambil bagian dalam usaha baik menyediakan buku-buku gratis bagi anak-anak NTT. Saya mengagumi usaha semacam itu. Buku gratis bagi mereka yang membutuhkannya. Usaha yang mulia. Siapa tidak kagum? Tetapi saya juga cemas dengan hari esoknya. Saya katakan itu pada Maria.
Di Kupang, di sebuah tempat minum kopi, yang setiap gelas kertas-plastiknya akan ditulisi nama-nama pemesan, membuat kita merasa benar-benar disapa–strategi jitu menjalin keakraban yang palsu karena toh para baristanya tidak mengenal kita dan tidak juga berusaha menyapa, saya ngobrol dengan seorang pegiat literasi. Tidak persis. Teman saya ini sesungguhnya bergiat di mana saja. Mungkin masih famili dengan Nobita sehingga merasa seluruh kota merupakan tempat bermain yang asyik. Tetapi tak ada baling-baling bambu di kepalanya.
Yang ada hanyalah wajahnya yang tampak menderita di sepanjang acara minum kopi itu. Dia tidak suka sampah plastik dan sedang membayangkan bahwa malam itu, karena acara minum kopi tanpa rencana itu, dia akan menyumbang sesuatu yang dia benci kepada bumi yang dia cintai (semoga dia akan selalu begitu pada bumi). Saya cuek saja. Dia mengenal Kupang tetapi tidak berhasil menawarkan tempat minum kopi lain yang memakai gelas biasa padahal saya dari Ruteng, Manggarai dan harus segera minum kopi. Saya juga cinta bumi, tetapi saat itu saya harus minum kopi.
Tidak ada solusi lain selain minum kopi di tempat yang diolah oleh orang yang kau duga barista tetapi kau tahu bukan. Wajah orang itu datar saja ketika membuat kopi. Tidak seperti barista atau brewista yang selalu menyeduh kopi dengan wajah cinta. Hmmm… Semua wajah akan begitu barangkali. Datar. Kalau semua pekerjaan dilakukan mesin. Yang di belakang meja hanya bertugas pencet tombol ini-itu lalu menerima bayaran dengan wajah yang sama datarnya. Ckckck.
Dan kopi hasil olahan mesin itu saya minum saja. Dengan wajah biasa-biasa saja. Tanpa ekpektasi. Rasa unik apa yang dapat diharapkan dari kopi yang seluruhnya dikerjakan mesin? Untunglah ada sesuatu bernama percakapan. Yang menarik. Yang membuat apa saja yang hambar dengan cepat terabaikan.
Bagi Buku Gratis
Kami bicara tentang salah satu ‘cabang’ kegiatannya. Cabang buku-buku. Lebih tepat lagi adalah tentang usaha membagi buku-buku gratis bagi anak di seluruh kota dan desa di provinsi kami. Sebuah usaha yang mulia. Yang saya kagumi juga. Saya sudah bilang itu tadi to?
Tetapi saat itu saya bilang, “Cukup sudah bagi-bagi buku gratis, Maria. Kalau orang NTT mau baca, dia harus beli. Kalau ada sumbangan buku gratis untuk diteruskan, jual dengan harga murah. Harus ada gerakan membeli dari setiap calon pembaca. Uangnya bisa dipakai untuk bantu biaya pengiriman buku gratis dari seluruh orang baik ke sasaran yang tepat. Atau untuk orang lain.”
Dia memandang saya dengan tatapan kenapa-orang-ini-kapitalis-sekali dan saya membalasnya dengan tatapan kita-sedang-nongkrong-di-tempat-minum-kopi-yang-dijalankan-kap…-ah-sudahlah. Dialog tentang kapitalis itu berhenti di bahasa non-verbal. Karena selanjutnya saya ceritakan tentang nasib banyak sekali buku gratis yang saya siapkan untuk seluruh kota.
Baca juga: Orang-orang Muda Hebat di Kupang
Beberapa tahun lalu, atas inisiatif Romo Beben Gaguk, kami mendirikan taman baca di Ruteng. Tepatnya di LG Corner, salah satu tempat yang dimiliki dan dikelola oleh Paroki Katedral Ruteng. LG Corner luas. Ada toko buku, ada stan penjual makanan, dan ada ruang kosong yang besar. Ruang kosong itu disiapkan sebagai salah satu tempat berkumpul bagi kelompok-kelompok kategorial di Katedral Ruteng.
“Bagaimana kalau kita isi dengan taman baca?” Tanya saya pada Romo Beben, pastor rekan di Katedral Ruteng saat itu. Setuju. Ide lalu disampaikan ke Pastor Paroki dan Dewan Pastoral Paroki atau DPP Katedral Ruteng. Setuju. Asal bisa dilaksanakan, silakan gunakan LG Corner. Kira-kira begitu kalimat yang kami dengar.
Buku-buku dikumpulkan. Sebagian besar adalah koleksi pribadi saya dan Romo Beben. Lalu kami bergerilya mencari judul-judul lain. Lungsuran dari perpustakaan Le Gejur juga ikut dibawa ke LG Corner. LG yang taman baca ini bukan Le Gejur, tetapi Lumen Gratiae, nama yang saat ini menjadi penanda sebagian besar hal seputar Paroki Katedral Ruteng.
Lemari buku kami di awal adalah milik Romo Beben. Karpet dan tikar adalah sumbangan dari orang-orang baik. Promo disebar via berbagai media. Pengunjung berdatangan. Anak-anak sekolah, mahasiswa, dan kalangan lainnya. Kami senang. Bersemangat menjaga. DPP Katedral Ruteng senang melihat kemajuan itu. Mereka mengadakan lemari/rak buku. Bagus-bagus.
Singkat cerita, di tahun pertamanya, Taman Baca LG Corner di Ruteng ini hidup cerah-ceria. Tahun kedua juga begitu. Bersama Ujack Demang dari Komunitas Saeh Go Lino Ruteng, saya membuat kegiatan pendukung. Sore Cerita – Dongeng untuk Anak. Jalan dengan baik. Dua tahun kami mendongeng.
Di tengah tahun ketiga kami masih mendongeng juga, tetapi koleksi buku-buku di LG Corner menipis perlahan. Banyak judul hilang lenyap tak berbekas. Bukan salah pengunjung, tetapi salah kami pengelola. Romo Beben pindah ke Jerman, saya memiliki pekerjaan lain yang membuat tak lagi punya cukup waktu mengelolanya. Kegiatan dongeng untuk anak-anak di tempat itu juga perlahan hilang.
Pada titik inilah saya sadar bahwa mengelola taman baca itu bukan sesuatu yang main-main. Kau tak bisa mendatangkan buku gratis dari sangat banyak orang baik dan meletakkannya di satu tempat tanpa diawasi. Dan kau tidak bisa menjadi baik hanya karena telah berhasil mengumpulkan buku-buku dari berbagai tempat tanpa memastikan bahwa buku-buku itu dibaca, dijaga, dan dicintai banyak orang. Ada usaha lain yang harus dilakukan agar baca-jaga-cinta buku itu menjadi semacam keyakinan dan gerakan bersama.
Usaha lain itu bernama kesungguhan; pikiran, perkataan, perbuatan. Mengelola taman baca itu tidak bisa setengah-setengah. Di tempat di mana sesuatu yang gratis dibaca sebagai sesuatu yang boleh dibawa pulang, taman baca yang tidak dikelola dengan serius tidak akan berusia panjang. Seperti taman baca kami di Ruteng.
Tahun 2018 ini saya memutuskan membawa pulang buku-buku tersisa. Tidak banyak. Tidak akan dipromosikan gratis juga. Saya simpan saja. Kalau ada yang mau baca, datanglah ke rumah. Kalau mau buku murah, pesan di Felix. Kalau mau tahu judul-judul buku yang sebaiknya dibaca, tanya ke Mario. Intinya, kau harus bergerak, berusaha, melakukan sesuatu jika ingin mendapat buku, membaca buku, tentu tidak dengan mencuri atau menunggu orang baik menghibahkannya. Karena masih umum, barang yang diperoleh secara gratis, tidak akan dihargai/diperlakukan dengan baik.
“Cukup sudah bagi-bagi buku gratis, Maria. Kalau orang NTT mau baca, dia harus beli,” kata saya lalu minum kopi menggunakan pipet. Manja sekali. Tetapi Maria tidak pakai pipet. Selain karena dia tidak cocok bermanja-manja, dia tidak suka plastik. Sa su bilang ini tadi to?
Bagaimana Menumbuhkan Minat Baca di NTT
Kegagalan saya mengelola taman baca dan penyedia buku gratis tentu saja tidak dapat dipakai untuk mengadili taman baca lainnya di negeri ini. Ada yang berhasil (baca: berjalan dengan baik), dan ada yang eksposur pengelolanya baik sekali meski dia jarang baca buku, ada yang papan namanya baik sekali tetapi pintunya selalu tertutup.
Beberapa teman yang mengelola taman baca ternyata mengalami masalah serupa. Ramainya pengunjung taman baca di awal masa buka, diduga sebagai bagian dari gaya hidup. Instagram membutuhkan unggahan baru, dan mengunggah foto ketika memegang buku itu rasanya kekinian sekali. Mengunjungi taman baca gratis semacam tiket menuju dunia modern meski ketika melakukannya kepala kita dipenuhi pertanyaan: “Apa itu membaca?”
Maka akibatnya dapat ditebak. Setelah semua buku di taman baca akhirnya selesai diajak foto bersama, apalagi kalau yang diajak adalah buku-buku Pram, telah tuntaslah tugas menjadi modern itu. Atau belum?
Pram dan kawan-kawannya perlu diajak ke kamar. Foto bersama di sana. Dan setelahnya menjadi alas kaki meja yang miring sebelah. Purna sudah. Selanjutnya adalah memeriksa notifikasi secara rutin, berapa yang bilang keren, berapa jumlah love dan like serta wow yang terkumpul di facebook dan instagram.
Saya cenderung menduga buku-buku itu tidak dibaca. Kemarin, waktu Hanung diberitakan akan menggarap novel Bumi Manusia menjadi, ada yang tanya: “Apa itu novel?” See? Dia tidak nonton televisi ka? Novel Baswedan telah diberitakan berulang-ulang di tivi wan.
Baca juga: Jurnalistik Dasar – Komunikasi
Minat baca kita memang parah sekali. Bukan hanya NTT. Tetapi Indonesia. Tahun 2016, ranking minat baca di Indonesia adalah peringkat 60 dari 61 negara. Ini hasil dari survey Most Littered Nation In the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity. Setingkat di atas kita itu Thailand dan kita lebih baik dari Botswana. Bukan karena infrastruktur macam toko buku, perpustakaan keliling, atau buku-buku di taman baca gratis.
Soal infrastruktur literasi, Indonesia berada di peringkat yang baik menurut survey itu. Peringkat 34 dari 61, ada di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru, dan Korea Selatan. Masalahnya mestilah pada budaya baca. Kita tidak (belum) punya.
Prestasi Indonesia di bidang membaca adalah rata-rata 0 sampai 1 buku per tahun. Ini data dari tahun 2014. Saat itu, di Amerika 10 sampai 20 buku, dan di Jepang 10 sampai 15 buku. Negara Asia lain rata-rata tiga buku per tahun. Tahun 2016, ada data lain. UNESCO merilis, persentase minat baca Indonesia sebesar 0,01 persen.Artinya dari 10.000 orang hanya satu saja yang memiliki minat baca. Jumlah penduduk NTT itu sekitar 3.800 orang. Bisa tangkap arahnya?
Merujuk pada berbagai ulasan tak penting di atas, termasuk bahwa infrastruktur kita baik tetapi budaya baca kita yang buruk, saya pikir ada benarnya sedikitlah saya bilang, “Cukup sudah bagi buku-buku gratis, Maria. Kalau orang NTT mau baca, dia harus beli.”
Membagi buku-buku secara gratis, membuka taman baca di mana-mana (yang dikelola dengan baik), dapatlah dilakukan kemudian. Yang paling penting sekarang adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
- Berapa banyak guru yang meminta muridnya membuat resensi buku?
- Berapa banyak guru yang merasa resensi buku hanyalah tugas di mata pelajaran Bahasa Indonesia?
- Berapa banyak sekolah yang memiliki buku cerita wajib per angkatan?
- Berapa banyak orang tua yang memilih buku sebagai hadiah ulang tahun?
- Berapa banyak buku di rumah kita selain kitab suci, buku-buku doa, dan buku-buku pelajaran?
- Berapa banyak jumlah influencer yang dibayar bukan untuk promosi jaket, sepatu kw, atau tempat wisata tetapi untuk menumbuhkan minat baca?
- Berapa banyak pengelola taman baca yang didukung oleh alokasi anggaran yang memadai?
- Berapa banyak lagi pertanyaan yang harus disusun?
Oh, iya. Indeks minat baca di dunia tidak memasukkan buku-buku pelajaran dalam daftar hitungan. Jika itu dimasukkan, peringkat kita pasti baik karena jumlah mata pelajaran di negara ini banyak sekali, bukan?
Begini. Program buku gratis pasti akan membantu. Yang dikerjakan oleh buku gratis adalah menyuburkan dan bukan memulai budaya baca. Tesis yang buruk? Hmmm … membagi buku secara gratis sebenarnya baik-baik saja. Tetapi perlu juga sesekali dievaluasi.
Harus ada alat untuk mengukur bahwa buku-buku gratis yang disebar itu dibaca. Jangan-jangan buku-buku itu hanya berdebu di lemari pengelola atau para pencuri buku. Atau paling sial, buku gratis akan tiba di tangan orang-orang yang bertanya: “Apa itu buku?”
Saya jelas mengagumi kerja keras para pegiat literasi di tanah air tercinta ini. Hadir dengan berbagai nama, bentuk kegiatan, dan kelompok-kelompok binaan, kerja keras itu membuat Presiden Jokowi merasa penting menyiapkan (sebut saja) kebijakan khusus: pengiriman buku gratis ke berbagai taman baca yang terdaftar. Via kantor pos. Sekali dalam sebulan. Setiap tanggal 17. Sebuah pernyataan bahwa negara hadir di sektor minat baca ini.
Tetapi barangkali seperti memberi pupuk pada tanah yang tidak ditanami apa-apa. Bukunya tersebar luas tetapi tak ada pohon yang tumbuh. Analogi yang aneh? Saya memang buruk dalam bidang analogi. Kalau anatomi, saya lumayan. Halaaaah. Maka kepada Maria saya bilang bahwa kegiatan bagi buku gratis itu baik sekali, tetapi bisa dicoba untuk mengubah sedikit formatnya menjadi jual buku yang diperoleh gratis itu dengan harga murah sekali.
Ada dua hal yang dapat dicapai. Pertama, buku akan sampai di tangan yang tepat, dan kedua, hasil penjualannya dapat dipakai untuk membiaya riset literasi. Hasil riset akan membantu kita menyusun langkah berikutnya. Misalnya dengan membayar Raisa atau Mimi Peri sebagai duta budaya baca. Followers mereka banyak sekali. Kan aneh. Bukan aneh soal followers yang banyak. Tetapi aneh karena para selebgram tidak diajak untuk menanam tumbuhan penting ini.
Obrolan selesai. Tidak saya ceritakan bahwa setahun terakhir saya hanya mampu membaca sembilan buku. Dari target 25 buku. Kadang begitu. Kita terlalu bersemangat menjadi motivator lalu lupa bahwa kita belum melakukan apa-apa. Atau bahkan melangkah ke arah yang berlawanan.
Seperti ketika setiap tanggal 23 April, yang adalah peringatan Hari Buku Sedunia, yang peringatannya dimulai tahun 1995, tagar yang ramai di Indonesia adalah #selamatharibukusedunia dan kita belum sekalipun membeli buku. Untuk itulah kita harus minta maaf. Sa minta maaf.
.
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
Ps: Seharusnya catatan ini disiarkan tanggal 23 April 2018 lalu. Pada peringatan Hari Buku Sedunia. Tetapi urung. Saat itu, bentuk catatan ini amburadul sekali. Maka baru diunggah sekarang. Dalam bentuk yang lebih amburadul. Begitulah.