Surat dari Sahabat pada awalnya tidak diniatkan untuk menjadi cerita yang panjang. Saya hanya ingin membagi (sebut saja) refleksi atas cara kita memandang ‘orang lain’. Ketika menulisnya, saya sedang mengawas ujian di tempat saya mengajar.
Kota | Foto: Armin Bell |
Surat dari Sahabat
Kau pernah bilang: “Bukankah aneh bahwa ada saat-saat dalam hidup ketika kita lebih merindukan reaksi yang biasa meski itu ditujukan untuk menghina kita, daripada mendapatkan reaksi tak biasa meski itu diniatkan sebagai tawaran kebaikan.”
Maka kau pasti mengerti kalau aku ingin ditertawai seperti biasa hari itu. Tentu saja mereka tidak harus terpingkal-pingkal berair mata. Juga tak kuberharap mereka memukul-mukul meja. Ruangan ini terlampau beradab untuk reaksi seperti di taman kota tempat orang boleh melompat-lompat dan berteriak-teriak ketika tertawa–aku masih heran mengapa ada orang sedemikian lucunya kalau tertawa?
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Dan kau tahu? Hari itu semua menjadi tidak biasa ketika mereka serempak berdiri saat aku masuk ke ruangan itu. Selamat siang, Bu, kata mereka setelah beberapa detik sebelumnya berdiri dengan manis. Setelah kubalas sapaan itu setelah sebelumnya sempat sejenak tercekat karena tidak tahu harus bereaksi apa, setelah itu semua, dengan kemanisan yang sama mereka duduk dan mendengarkanku bicara.
Pakaian ini, lipstik ini, payudara yang kau pesankan untukku setelah aku mengagumi fotomu dengan payudara baru yang menantang seolah melawan gravitasi itu, sepatu berhak tinggi ini, apakah sesungguhnya telah disiapkan agar aku layak disapa Ibu?
Baca juga: FF100K Karina – Kejutan
“Akika banci ye,” katamu menyibak rambut dan berlalu. Mereka tertawa di belakang kita dan kita tertawa berdua untuk kebodohan mereka.
Awesome 🙂
Terima kasih 🙂