Yang sudah putus sekolah, apalagi jika alasannya adalah ketiadaan biaya, dan telah sangat mantap hidupnya sekarang. Yang sedang ragu-ragu, mari baca tentang Bill Gates ini!
Ruteng, 11 Juni 2019
Tiga nama kerap dipakai sebagai pembanding ketika para mahasiswa memasuki fase krisis—saat di mana mereka berada di titik kritis, antara lanjut menyelesaikan masa studi itu hingga sarjana, atau berhenti. Tiga pembanding itu adalah Bill Gates si pemilik Microsoft, Mark Zuckerberg yang menduniakan Facebook, dan Susi Pudjiastuti, Menteri Perikanan dan Kelautan, menteri paling populer di era Jokowi.
Tentang fase krisis di bangku kuliah, barangkali tidak semua mahasiswa mengalaminya. Tetapi, sebagian yang pernah (atau sedang) merasakannya, memiliki beberapa alasan/situasi: (1) jenuh karena ternyata jurusan yang dipilih tidak semenyenangkan yang dibayangkan, (2) kesadaran (yang terlambat) bahwa jurusan yang ditekuninya sesungguhnya tidak sesuai dengan panggilan jiwanya (passion), (3) terlibat konflik yang melelahkan, baik dengan dosen, dengan teman kuliah, maupun (yang paling sering) dengan dosen pembimbing skripsi.
Poin yang ketiga, berdasarkan pengamatan random, rasanya adalah alasan/situasi terbanyak yang paling sering disampaikan sehubungan dengan fase krisis tadi. Konflik yang melelahkan di kampus—terutama dengan dosen pembimbing skripsi—menjadi alasan mengapa banyak mahasiswa yang memutuskan terminal atau berhenti kuliah sama sekali.
Pada situasi itulah, nama-nama tadi disebut. Entah sekadar menghibur diri, menguatkan alasan pengambilan keputusan berhenti kuliah, atau berusaha optimis, cukup sering terdengar bagaimana pengalaman Gates, Zuckerberg, dan Susi Pujiastuti (serta beberapa tokoh lain) diceritakan kembali; tidak tamat kuliah tetapi meraih sukses besar.
Tentu saja baik. Membandingkan kisah hidup tokoh-tokoh terkenal dengan ‘situasi sulit’ yang kita hadapi. Tetapi, tentu saja, penting untuk menyadari hal lain. Gates, Zuckerberg, dan Pudjiastuti membuat keputusan tersebut karena melihat bahwa kehidupan mereka akan lebih bersinar di luar kampus. Dalam kalimat lain, mereka menjadi besar karena telah tahu bahwa jika bertahan di bangku kuliah, mereka akan terlambat memulai sesuatu yang mereka yakini akan membuat mereka hebat.
Susi Pudjiastuti dalam sebuah wawancara dengan detik.com bercerita: “Saya pikir, saya akan bisa bergerak lebih baik bila saya tidak terkungkung oleh waktu saya sekolah….” Dan itulah yang terjadi. Setelah memutuskan berhenti sekolah, Susi yang tidak lagi terkukung berhasil mewujudkan mimpinya dan sukses.
Pada situasi Susi ini—juga pada Bill Gates dan Mark Zuckerberg dan beberapa orang lainnya yang ‘tidak sarjana tapi sukses’, ada visi yang dirancang sendiri, ada misi yang dikerjakan dengan yakin, ada kesiapan diri yang besar untuk menghadapi/menerima risiko. Bandingkan dengan tiga alasan/situasi kita di atas tadi. Apakah sama? Tentu saja berbeda. Secara motif, secara keyakinan, dan secara nasib (setelahnya).
Baca juga: Illo Djeer, Musisi Asal Manggarai di Double Doors dan Panggung-Panggung Lain
Kompas.com edisi 26 April 2017 menayangkan artikel yang bersumber dari theconversation.com yang berjudul “Mengapa Hanya Sedikit Orang yang Berhenti Kuliah dan Hidupnya Sukses?”. Di dalamnya, terdapat beberapa penjelasan. Pertama, Gates dan Zuckerberg adalah anomali di dunia nyata. Faktanya, mayoritas pemimpin puncak di perusahaan bergelar sarjana dan memiliki prestasi akademik cemerlang. Kedua, dalam sebuah penelitian di Amerika Serikat terhadap lebih dari 11 ribu petinggi, termasuk CEO, politikus, orang terkaya, hakim, pemilik perusahaan internasional, dan orang-orang berpengaruh lainnya, baik pria dan wanita, adalah orang berpendidikan. Menurut survei tersebut, 94 persen pemimpin dan petinggi lulus kuliah dan 50 persennya merupakan lulusan universitas ternama.
Bill Gates sendiri tetap merasa bahwa menempuh pendidikan tinggi hingga selesai adalah hal yang penting. Dalam sebuah catatan di blognya pada tahun 2015 dia menulis: “Meskipun saya keluar dari kampus dan beruntung mengejar sebuah karier di bidang software, tetap saja, mendapatkan gelar sarjana adalah jalan terpasti menuju sukses.”
Sementara itu, baru beberapa hari yang lalu Mark Zuckerberg meraih gelar akademiknya. Doktor di bidang Hukum. Dari Universitas Harvard. Honoris Causa, memang. Tetapi dia telah memiliki gelar akademik. Susi Pudjiastuti sendiri sudah meraih gelar (kehormatan juga) akademik pada tahun 2017.
Artinya? Orang-orang yang putus kuliah/sekolah namun sukses tadi tetap percaya bahwa kesarjanaan adalah hal yang penting.
Baca juga: Kalau Mau Jadi Guru, Kamu Harus Lucu
Menurut Gates, lulusan perguruan tinggi lebih mudah mencari pekerjaan, penghasilan yang lebih tinggi, bahkan sejumlah bukti menunjukkan, dapat hidup lebih panjang dibanding yang tidak lulus perguruan tinggi. Kuliah juga memberikan pelatihan dan kemampuan dalam menghadapi dunia kerja. Dengan demikian, memakai alasan ‘toh meski tidak tamat, Gates-Zuckerberg-Pudjiastuti tetap sukses’ sesungguhnya tidak perlu dipakai ketika kita tiba di fase krisis. Kita bukan mereka.
Hanya saja, bagaimana mengatasi fase krisis ini adalah hal yang tak pernah mudah. Kejenuhan dan kesadaran akan passion yang datang terlambat tentu saja mengganggu kenyamanan bersekolah/kuliah. Ada kekhawatiran, jika dipaksakan hingga tamat, ijazah menjadi tidak berguna. Lalu takut bahwa, suatu saat akan tiba di masa di mana kita menyesal telah menghabiskan waktu empat sampai enam tahun di bangku kuliah. Ah, tau gini kan saya gak usah kuliah aja kemaren, pikir kita.
Sarjana di Indonesia
Jika ijazah memang dikejar agar bisa mendapat pekerjaan yang sesuai keahlian—atau berharap setelah tamat langsung menjadi ahli, baiklah menyimak penjelasan Mohamad Nasir, Menrisetdikti kita. Tentang situasi pendidikan tinggi di tanah air.
Menurut Nasir, integrasi antara perguruan tinggi dengan industri masih belum cukup baik di Indonesia. “Produktivitas kita belum tinggi kalau dilihat dari pendidikan tinggi ya. Katakan yang lulus di perguruan tinggi mereka bekerja tapi bukan pada bidang ilmunya. Nah ini masalah, bagaimana itu bisa nyambung,” papar Nasir di kantor Kemenristekdikti, Jakarta Selatan, Jumat (10/5/2019), sebagaimana ditulis Tirto.id.
Untuk itu, kata Nasir, pihaknya mendorong agar lulusan perguruan tinggi dapat menghasilkan tenaga yang profesional di bidangnya. Menristekdikti, saat ini sedang dalam proses mengharmonisasikan kedua aspek tersebut. Semoga informasi ini bisa dipahami sebagai: semua yang berhubungan dengan penciptaan keahlian atau tenaga ahli di negeri ini sedang dalam proses pengerjaan. Belum final.
Namun, tentu tidak bisa juga (semata dengan) hal itu dengan cepat dijadikan alasan pembenar bahwa kuliah itu tidak penting. Bukankah tadi Bill Gates telah mengingatkan—dan hampir sebagian besar pengalaman hidup kita membenarkannya—bahwa gelar sarjana adalah jalan terpasti menuju sukses. Jika belum percaya, perhatikan dengan saksama informasi lowongan kerja yang bertebaran di media sosial. Kuliah, dan menamatkannya adalah hal yang penting (dan diimpikan semua orang tua; semoga semua anak menjadi sarjana).
Baca juga:
Sebentar lagi, tahun ajaran baru akan dimulai. Ribuan lulusan sekolah menengah atas sedang berburu brosur. Mencari-cari, kira-kira kampus mana yang tepat dan sesuai dengan cita-cita mereka. Situasi yang sedang dialami oleh para calon mahasiswa baru ini adalah idealisme yang menggebu-gebu. Mimpi tentang masa depan yang cemerlang sedang mekar di kepala.
Suatu ketika, entah di tahun keberapa, mereka mungkin saja tiba di fase krisis. Soalnya adalah, apakah berhenti kuliah merupakan jalan keluar maksimal?
Jika sependapat bahwa Gates-Zuckberg-Susi adalah anomali, dan tetap sadar bahwa (mengutip Gates) lulusan perguruan tinggi lebih mudah mencari pekerjaan dan penghasilan yang lebih tinggi. Bahkan, sejumlah bukti menunjukkan, dapat hidup lebih panjang dibanding yang tidak lulus perguruan tinggi. Kuliah juga memberikan pelatihan dan kemampuan dalam menghadapi dunia kerja; seharusnya kita tahu jalan mana yang harus ditempuh.
Pada titik tertentu, memilih jurusan yang kita anggap sesuai passion adalah sesuatu yang hebat. Tetapi kuliah, sesungguhnya, bukan semata tentang passion. Kuliah juga tentang: bertemu orang yang lebih banyak dan beragam serta menimba pengalaman dari dari mereka; memahami konsep berpikir yang baru (terbuka dan terstruktur); belajar menjadi mandiri; dan (terutama), ijazahnya lebih ‘menjual’.
Bahwa kemudian, berbekal pemahaman tentang teknologi digital di era Revolusi Industri 4.0 di mana setiap orang bisa menjadi digital nomad dan hidup darinya, pengetahuan tentang hal tersebut akan lebih banyak diperoleh di bangku kuliah. Tentu saja ini tidak berlaku untuk mereka yang datang, isi absen, duduk, dengar dosen, lalu diwisuda.
Yang harus dilakukan adalah, jika beruntung dan dibiayai kuliah, selesaikan! Sampai kelar. Sembari meningkatkan keahlian melalui interaksi di kampus. Setelahnya, jika ijazah ternyata tak bisa digunakan, keahlian tertentu akan menghidupkan. Juga berlaku sebaliknya.
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell