sampah di kota ruteng ranalino

Sampah di Kota Ruteng

Sampah di kota Ruteng jelas adalah masalah bersama. Lalu bagaimana? Tulisan ini dibuat pada tahun 2018 silam sebagai status facebook. Diunggah di Blog Ranalino ini untuk kepentingan dokumentasi.


27 Maret 2022

Kota Ruteng pernah mendapat predikat sebagai kota terkotor. Banyak yang menduga bahwa alasan ‘anugerah’ kota terkotor itu karena banyak sampah bertebaran di kota ini. Padahal tidak demikian.

Ada beberapa indikator dalam penilaian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait predikat itu. Salah satunya, dan ini yang dialami oleh Ruteng dan Bajawa, adalah karena belum ada kebijakan terkait tempat pembuangan akhir sampah. Kira-kira begitu. Tetapi apakah itu berarti bahwa sampah di kota Ruteng tidak ada? Belum tentu, Kakak.

Oh, iya. Peristiwa penganugerahan terkait kebersihan kota itu diketahui publik pada bulan Januari 2019. Kala itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati mencatat sejumlah kota terkotor karena mendapat nilai paling rendah pada saat penilaian program Adipura periode 2017-2018.

Beberapa saat setelahnya, linimasa media sosial saya ramai oleh komentar-komentar khas netizen mahatahu. Dan sebagai mahatahu, mereka benar-benar merasa bahwa mereka tidak berkontribusi apa-apa pada predikat negatif itu. Hissssh… Padahal? 14 September 2018 saya menulis status panjang di facebook.

Begini:

Kemarin, saya dan Alamani membawa berkarung-karung sampah ke tempat pembuangan sampah sementara di pertigaan TK Inviolata. Itu sampah rumah tangga. Kami antar sendiri ke sana setelah mendapat kabar bahwa truk sampah yang biasanya sekali sepekan mengambil sampah di rumah kami sedang rusak.

Tibalah kami di tempat itu. Luar biasa. Sampah-sampah berserakan di luar kotak sampah besar yang sudah diparkir di sana. Saya sempat menduga bahwa itu terjadi karena kotak sampah besar itu telah penuh. Ternyata tidak. Kotak sampah (badan truk) itu masih kosong. Yang mengantar sampah mereka ke titik itu yang barangkali malas memasukkan sampah-sampah mereka ke dalamnya. Menganggap bahwa seluruh area itu adalah tempat terluas di dunia untuk sampah-sampah mereka.

BACA JUGA
Ivan Nestorman: Budaya Kita, Masa Depan Kita

Alamani membongkar muatan kami dan langsung memindahkannya ke dalam kotak sampah yang masih kosong itu.

Tadi, saya berkendara santai di belakang sebuah sepeda motor yang melaju perlahan. Sepasang kekasih sepertinya, karena mereka berkendara santai dan perempuan di boncengan menempel mesra ke punggung sang pengendara lelaki yang memakai kacamata gelap yang sesekali menoleh. Sepertinya sedang ngobrol. Mungkin tentang masa depan. Atau tentang hal-hal sampah?

Lalu melayanglah bungkusan kosong, kemasan kripik berwarna hijau dari arah mereka. Si perempuan tampak menepuk-nepuk dua tangannya, membereskan remah-remah kripik yang menempel di telapak tangannya. Lalu melanjutkan pekerjaannya, menempel mesra di punggung lelakinya yang tetap sesekali menoleh. Sepertinya sedang ngobrol. Tetapi pasti bukan tentang kebiasaan membuang sampah pada tempatnya.

Saya jengkel sekali. Dan teringat bahwa kejengkelan serupa juga saya alami beberapa waktu lalu. Di lampu merah, jendela mobil berkaca riben 80 persen diturunkan setengah. Di samping saya. Dari dalamnya, sebuah tangan putih mulus menjulur keluar. Membuang sesuatu. Tisu. Puiiih. Di facebook, berbagai kritikan tentang penangangan sampah di kota ini terus bermunculan.

Apakah anggota pasukan kuning harus melakukan patroli setiap saat di belakang mobil mewah atau sepeda motor yang memuat sepasang kekasih dan memungut sampah-sampah yang mereka titipkan di jalan umum?

Tentu saja, soal sampah di kota ini harus menjadi perhatian serius. Di Lawir, para warganya sudah membuat tempat sampah yang banyak. Bagus sekali. Tetapi di jalanan, sejumlah besar pengendara masih merasa bahwa seluruh kota merupakan tempat sampah yang asyik.

Dalam perjalanan pulang, saya dan Alamani bicara tentang itu. “Bahkan di tempat yang ada tempat sampahnya, kita membuang sampah di luar tempat sampah.” Sampai kapan?

BACA JUGA
Menjadi Blogger Tidak Akan Buat Seseorang Mendadak Keren Bagian Kesembilan

Begitu. Itu dulu. Sekarang? Ya… Sekarang, di tahun 2022 ini, tempat pembuangan sementara yang saya tulis di status tadi sudah tidak ada lagi. Lokasi itu kini jadi tempat nongkrong yang asyik. TPS-TPS di Ruteng kini ada di beberapa lokasi: Pasar Puni, perbatasan Lawir dan Dongang, dan Pasar Inpres Ruteng. Tetapi pemandangannya juga tidak terlampau jauh berbeda. Sampah di kota Ruteng tetap saja bertebaran di mana-mana.

Beberapa orang masih enggan membuang sampah di kota Ruteng ke dalam bak penampungan sampah. Mereka barangkali merasa telah menjadi sangat heroik untuk kebersihan kota ini hanya dengan mengantar sampah-sampahnya ke lokasi TPS meski tidak mengisinya ke dalam bak sampah. Mereka barangkali menduga bahwa itu adalah tugas pegawai Dinas Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Manggarai.

Dude! Please! Kalau kau merasa bahwa Ruteng adalah kota yang harus bersih, kau mulai dari kau sendiri ka… Dari kau punya keluarga, kau punya anak-anak, kau punya kekasih, dan kau punya mulut. Eh?

Maksud saya begini. Kalau suatu ketika kau ada di boncengan dan baru saja selesai makan-makan sambil melaju di atas sepeda motor, peluk kekasihmu mesra dan masukkan tanganmu yang lembut itu ke saku jaket atau saku celana kekasihmu: titip sampahmu di sana. Bukan di jalan. Sebab bukan hanya kau yang bisa beli makanan jenis itu (seandainya kau membuangnya untuk pamer kekayaan). Begitu, warga kota Ruteng yang budiman. Sebab sesungguhnya perilaku kita adalah penyumbang terutama bertebarannya sampah di kota Ruteng.

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *