Bahwa hari-hari terakhir ini berita tentang Ratna Sarumpaet berisi sensasi hoax yang dia buat sendiri, itu hanya satu babak dari perjalanan hidupnya. Tetapi sekali berbohong kau harus jago menciptakan kebohongan lain.
Banyak yang bertanya, Siapa Ratna Sarumpaet? Apa yang pernah dia lakukan sehingga menjadi setenar sekarang ini? Mengapa dia jatuh ke lembah hoax?
Itu pertanyaan-pertanyaan wajar. Apalagi jika datang dari Generasi Z.
Generasi Z adalah orang-orang yang lahir di zaman internet. Menurut para sosiolog, generasi ini ada setelah generasi Y (kerap juga disebut sebagai generasi milenial). Nah, generasi Z ini lahir dan langsung menikmati keajaiban teknologi internet. Mengutip tulisan Aulia Adam di Tirto, “Jika Generasi Z pertama adalah mereka yang lahir pada 1995, artinya orang yang paling tua dari Generasi Z Indonesia sudah berumur 21 tahun.”
Di mana generasi Z ini pada tahun 1998? Generasi Z pertama ini baru berusia tiga tahun saat itu. Padahal di tahun itu, Ratna Sarumpaet meraih Female Human Rights Special Award dari The Asia Foundation For Human Rights di Tokyo, Jepang, 1998. Penghargaan spektakuler itu tidak terekam Gen-Z.
Tahun 2010, ketika Ratna Sarumpaet dianugerahi cukup banyak penghargaan atas karyanya di bidang kesenian, di antaranya sebagai Penulis Skenario Terpuji Festival Film Bandung untuk film Jamila dan Sang Presiden, setelah sebelumya diganjar penghargaan The Network for The Motion Asian Cinema dalam Festival Film Asiatica Mediale, Roma, Italia (2009), banyak generasi Z pertama masih belum memiliki alamat e-mail sendiri. Akses internet saat itu masih dilakukan di warnet-warnet, sebagian besar pengaksesnya justru lebih sibuk berhadapan dengan situs-situs seperti Ayamkampus.com atau 17tahun.com daripada Detik.com. Dan bukan pengguna dari generasi Z. Itu adalah kami dari generasi Y.
Baca juga: Aktivis juga Manusia, Mereka Berhak Sangat Lucu
Karena itulah tidak banyak dari generasi Z ini yang mengenal prestasi Ratna Sarumpaet; yang kemudian menjadikan pertanyaan-pertanyaan di bagian awal tulisan ini muncul. Generasi Z inilah yang sekarang menguasai teknologi, menguasai ruang-ruang media sosial, dan menjadi yang paling sering menyebar lelucon tentang figur-figur publik.
Maka, Ratna, yang seolah tanpa masa lalu baik di mata generasi Z, menjadi semakin dipermalukan ketika percakapan tentangnya di ruang publik lebih banyak diwarnai kontroversi. Pengguna internet dari generasi ini menganugerahi julukan Nenek Nyinyir. Hilanglah segala perjalanan hebat di masa lalu itu.
Mereka tentu akan sulit percaya bahwa Ratna Sarumpaet pernah menjadi Ketua DKJ (2003 – 2006), editor film bekerjasama dengan MGM, Los Angeles (1985 – 1986), penulis skenario dan sutradara, anggota/pengurus International Women Playwright, anggota Kehormatan PEN International, dan masih banyak lagi. Tokoh yang sekarang lebih sering memproklamirkan dirinya sebagai aktivis ini sesungguhnya sangat hebat di dunia teater. Dia menulis naskah dan menyutradari sejumlah pementasan teater, seperti Pelacur dan Presiden (2006), Anak-Anak Kegelapan (2003), Marsinah Menggugat (1997), dan Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1994).
Entah angin apa yang membawanya ke kisah hoax di Bandung itu. Bahwa dia dipukul dan diseret-seret preman. Saya sulit percaya. Maksudnya, dari sekian banyak pilihan untuk menjatuhkan lawan politik, kenapa Ratna memilih memainkan peran korban atau playing victim sebodoh itu?
Banyak yang menduga bahwa Ratna Sarumpaet tidak menyukai Presiden Jokowi. Setiap narasi publiknya berbicara tentang itu. Dibungkus dalam konsep kritik, memang. Tetapi cara Ratna menyampaikannya membuat segala kritik itu terlihat sebagai nyinyir. Sesungguhnya bukan masalah besar. Sampai ketika dia memilih jalan paling buruk. Foto operasi plastiknya disebar dengan kepsyen dia telah dianiaya. Pihak kemananan dengan sigap mencari kebenarannya. Ini masa politik dan seorang lawan politik teraniaya akan berdampak sangat buruk bagi Jokowi. Saya pikir hal itulah yang membuat seluruh tim (Jokowi) bekerja.
Periksa sana periksa sini, tak ada rekam jejak perawatan pasca-penganiayaan atas nama Ratna Sarumpaet di Bandung. Hasil investigasi itu disebar. Disambut generasi Z. Di-bully-lah ibu kita yang satu ini. Lalu dia buka suara. TIDAK ADA PENGANIAYAAN.
Baca juga: Kisah Sedih Lain dari Peristiwa 22 Mei 2019
Apa kabar tokoh-tokoh penting yang telah termakan hoax Ratna dan ikut menyudutkan Jokowi? Pasti malu berat. Malu sekali. Salah seorang anggota DPR RI dari NTT juga ikut dalam gelombang memalukan itu. Saya kaget. Kaget sekali.
Dan inilah pelajarannya. Jika kita bukan generasi Z, belajarlah bagaimana menggunakan teknologi ini. Yuk, pilah-pilih media bacaan kita dengan bijaksana. Jangan percaya hoax. Banyak situs yang membungkus dirinya dengan embel-embel kerja jurnalistik, tetapi kita tahu, mereka adalah peternak hoax.
Nah, tugas kita adalah jangan bikin malu. Tidak peduli kau datang dari generasi Y atau X atau baby boomer sekalipun, percayalah, dunia telah dikuasai generasi Z. Lihat geliat mereka.
Saya tetap menghargai Ratna Sarumpaet untuk setiap jejaknya di kesenian pada masa lalu. Saya hanya menyayangkan pilihannya sekarang. Bukan pilihan politik. Tetapi pilihan bersikapnya. Yang buruk. Yang membuat para penggemarnya dari masa lalu dengan mudah percaya padanya. Terlalu sekali.
Ini catatan apa? Sa hanya asal omong saja. Juga sekaligus menegaskan bahwa ketika kau sekali berbohong, melakukan kebohongan itu di ruang publik itu, siapkanlah kebohongan yang baik di hari berikutnya. Generasi Z tahu betul bagaimana memeriksa rekam jejak digital seseorang. Nanti kau dibikin telanjang.
Lihat Ratna Sarumpaet itu Sudah berbohong sebagai korban penganiayaan, kini harus berbohong lagi dengan mengatakan itu karena pengaruh setan. Terus, itu kamip orang penting yang ikut bereaksi buruk itu akan bikin kebohongan apa? Mama Mia e.
—
3 Oktober 2018
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Gambar dari Twitter.