Pengalaman membaca buku cerpen Perjalanan Mencari Ayam (Dusun Flobamora, 2018) kali ini dibagikan Yuliana Jetia Moon (Olik Moon), dosen di STKIP St. Paulus Ruteng.
Ruteng, 25 Agustus 2022
Olik adalah satu dari beberapa pembaca yang dipilih Komunitas Saeh Go Lino untuk menyampaikan resepsinya pada tanggal 11 Agustus 2018 silam di LG Corner Ruteng.
Dari Perjalanan Mencari Ayam ke Cerpen Lelaki dari Malaysia
Oleh: Yuliana Jetia Moon
Tentang Pengalaman Membaca Secara Umum
Membaca kumpulan cerpen Perjalanan Mencari Ayam memberikan refleksi tersendiri bagi saya sebagai seorang pembaca. Setelah membaca karya ini, saya merasa seperti anak yang hilang, tamu di rumah sendiri, atau istilah apa pun yang tepat untuk menunjukkan suasana keterasingan.
Awalnya saya membaca karena wajib membaca. Membaca karena wajib sering kali memberi rasa lelah. Namun, saya tidak merasa lelah, bahkan rasanya sulit menunda sampai ke hari berikutnya. Pada halaman-halaman berikutnya, saya telah berpindah dari ruang kerja ke teras dengan secangkir kopi sambil menikmati hangatnya sinar matahari pagi, lalu berpindah ke ruang tamu dengan secangkir kopi lainnya, dan berakhir di bawah selimut. Satu-satunya buku yang berakhir di tempat tidur setelah sepuluh tahun berlalu.
Saya dan mungkin kebanyakan orang, entah kapan mulai menggeser hobi membaca karya sastra dengan membaca media sosial, menonton film, menonton drama, membaca kolom gosip, sesekali membaca berita politik, dan dikarenakan sebuah kewajiban harus membaca buku referensi, jurnal, skripsi, dan modul. Tujuan membaca untuk memperoleh kesenangan menjadi mahal dan langka. Membaca yang dilakukan umumnya hanya untuk memperoleh informasi atau membaca kritis. Saya hampir, mungkin sedikit lagi membenci “membaca” jika kegiatan membaca itu tidak lagi terasa ringan dan menyenangkan.
Membaca hanya karena wajib membaca. Membaca cepat, sekilas, dan kritis, itu tanda positif karena kemampuan membaca sudah pada tahap yang baik tetapi di sisi lainnya, akan kehilangan kenikmatan membaca. Jadi, saya mengucapkan terima kasih pada kumpulan cerpen Perjalanan Mencari Ayam yang secara tidak langsung telah membawa saya pulang.
Pengalaman Secara Umum Saat Membaca Buku Cerpen Perjalanan Mencari Ayam
Saat mulai membaca, saya melahap cerpen pertama. Saya belum menemukan chemistry. Mungkin karena saya hanya mampu menangkap kisah cinta pada teks; menurut saya kisah cinta itu sangat “kebanyakan” dan cukup panjang untuk sebuah cerpen. Di sisi lain, kelebihan cerpen ini adalah permainan plot yang sangat menarik. Ketika selesai membacanya, saya akhiri dengan kesimpulan pasti ada hal lain yang disembunyikan dalam cerita itu.
Saat membaca kisah-kisah selanjutnya, saya merasakan hal-hal luar biasa. Perasaan yang berganti-ganti. Hampir berganti pada setiap halamannya. Perasaan yang mendominasi adalah perasaan sedih, empati, dan bahagia. Banyak hal menarik dalam cerpen. Namun saya hanya akan menceritakan dua hal. Pertama, cerpen “Kopi” (latar kisah penebangan kopi Colol), “Dua Ibu” (latar kesenjangan sosial di kota Labuan Bajo), “Radiogram” (latar perang tanding), “Lapak di Atas Tulang Kekasih” (latar penembakan PKI di Puni 1965) memiliki kesamaan ciri latar sosialnya. Penulis lihai memanfaatkan situasi sosial lalu menyelipkan cerita yang bersifat khusus. Saat membacanya orang akan berpikir, “Apakah ini fakta? Atau imajinasi pengarang?”
Baca juga: Festival Sastra Santarang 2015, Orang-Orang Muda Hebat
Kedua, salah satu keberhasilan sebuah cerita adalah mampu membuat hati pembaca berganti suasana dengan cepat, misalnya di antara perasaan sedih tiba-tiba pembaca tertawa. Pada kutipan cerpen “Neti dan Seorang Pastor” terdapat kutipan berikut: “Kami jatuh cinta padanya, Neti kami yang sering tak memakai bra. Bongkah yang sehat menantang itulah yang kerap kami berdua ceritakan di bawah pohon Mangga […] lalu merasa berdosa telah berbicara tak pantas tentang seorang perempuan. Bisa ditebak, tak bertahan lama dosa itu. (Bell, 2018:94). Cerpen itu secara umum cukup tragis. Namun di antara kisah itu ada kutipan-kutipan yang cukup lucu. Menurut saya lucu, karena terkadang dosa yang nikmat membuat si pendosa bingung apakah itu dosa atau bukan dosa.
Pengalaman Membaca Cerpen “Lelaki dari Malaysia”
Cerpen ini berkisah tentang seorang laki-laki yang merantau ke Malaysia. Ia pulang karena sepucuk surat dari istrinya yang mengabarkan anak perempuannya, yang dia tinggalkan saat ia berusia tiga tahun, akan menikah.
Perasaan yang saya alami saat membaca cerpen “Lelaki dari Malaysia” bercampur-aduk. Saya berusaha mengidentifikasi apa yang saya rasakan. Awalnya saya merasa sedih, lalu kesal, bahagia, lalu ditutup rasa lucu. Saya akan mengidentifikasinya dari yang paling sedikit sampai yang paling dominan.
Lucu. Suasana cerita yang diciptakan adalah kisah sedih karena berkaitan dengan kisah seorang ayah yang lama tak berjumpa anak perempuannya. Ditambah dengan kisah cinta dengan istrinya yang lama berpisah serta kemiskinan yang melilit. Namun pada bagian akhir, saya (mungkin pembaca lainnya juga) tertawa karena sebuah kutipan: “Ayah mempelai pria adalah mantan kepala desa yang hari itu tak henti menebar senyum pada seluruh undangan […] Bisik-bisik terdengar bahwa senyum yang tak berhenti itu berhubungan erat dengan niatnya mencalonkan diri pada pemilihan yang akan datang” (Bell, 2018).
Itu terasa lucu karena kalimat itu sangat tidak penting, bukan tentang tokoh utama, dan tidak benar-benar berhubungan dengan tema utama. Namun kehadirannya memberi klimaks tersendiri yang menarik, kontekstual, dan cerdas.
Baca juga: Skenario Alternatif untuk Film Ada Apa dengan Cinta Remake
Kesal. Pertama, tokoh utama dikisahkan bertahun-tahun di Malaysia dan berpisah dengan keluarga. Namun pengorbanan yang besar itu sama sekali tidak membawa dampak ekonomi. Keluarga itu tetap miskin. Saya kesal. Mengapa ia tidak pulang saja? Kedua, tokoh istri digambarkan sebagai tokoh perempuan Manggarai yang sering di-bully sebagai Jamal atau Janda Malaysia. Namun dia tidak melalukan perlawanan. Ketiga, Wella, tokoh anak perempuan yang tidak menghargai dirinya sebagai perempuan Manggarai. Ia tidak menempatkan dirinya sebagai perempuan yang berharga dan perlu dipersunting dengan cara-cara yang layak sebagai perempuan Manggarai. Idealisme saya tidak terwakilkan dalam diri Wella.
Sedih. Jika orang saling mencintai, seharusnya mereka tidak berpisah oleh alasan apa pun. Tokoh suami-istri dalam cerpen ini digambarkan saling mencintai, setia, dan saling merindukan. Namun cinta mereka berpisah, sepi, tidak bisa berbagi karena jarak, dan bertemu saat gairah sudah di penghujung usia.
Saya juga merasa sedih karena hubungan ayah dan anak digambarkan tidak memiliki kedekatan emosional. Hal yang berharga bagi orang tua adalah melihat tumbuh kembang anak. Namun tokoh ayah kehilangan kesempatan itu. Sebaliknya, anak tidak pernah merasakan kehadiran sosok ayah.
Rindu. Saya rindu pada latar, pada sebuah kutipan: “Hening. Mereka beranjak ke tempat tidur. Derit panjang dari ranjang tua yang termakan usia. Cahaya dari pelita yang perlahan mulai meredup dan selesai. Minyak telah habis ketika mereka telah terlelap. Gelap dari luar telah meluaskan wilayahnya ke dalam rumah dan kamar. Sepi.” (Bell, 2018).
Saya membayangkan sinar bulan menembus celah-celah dinding anyaman bambu dengan suara jangkrik yang terus bernyanyi di antara gelap (efek kangen kampung). Selain itu, saya juga rindu pada kutipan suasana ngobrol yang digambarkan pada cerpen. Obrolan ringan suami istri, berdua saja tentang berbagai tema mulai dari tema yang ringan seperti tentang sayur, makanan sampai dengan tema yang penuh emosional, seperti penderitaan, rindu. Dalam kenyataannya, banyak suami-istri lupa ngobrol.
Bahagia. Perasaan saya yang dominan saat membaca adalah bahagia karena sesungguhnya cerita ini happy ending. Pada bagian awal sudah dikisahkan tentang kebahagiaan. Bagimanapun “pulang ke rumah”, “bertemu kembali”, “melepas rindu”, “kesetiaan”, “sederhana”, adalah kata kunci bahagia dalam cerita ini. Hal-hal yang bersifat sedih hanya alur flash back yang sudah dilalui tokoh. Tokoh-tokoh dalam cerita ini masing-masing sedang berada di puncak kebahagiaanya.
Sebagai penutup, tokoh-tokoh yang diciptakan Armin Bell dalam cerpen ini sangat realistis. Jika digolongkan dalam penokohan atau perwatakan, sangat sulit dan mungkin tidak ada tokoh antagonis, karena semua tokoh beraksi secara wajar sesuai aksi dan reaksinya masing-masing. Saya suka tokoh-tokoh seperti ini karena manusia selalu punya alasan dalam setiap lakunya.
–
Olik Moon adalah dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI) STKIP St. Paulus Ruteng, mengelola personal blog: olikmoon.blogspot.com.
Terima kasih sudah membuat artikel yang sedap dibaca ini.Jika ada waktu luang silakan mampir ke blog kami.
Terima kasih sudah mampir. Terima kasih juga untuk undangannya. Salam blogging.